Mudik

Saya bukan orang Jakarta asli tak perduli bahwa saya lahir-besar-hidup di Jakarta. Emak Babe pun bukan orang Jakarta walau sebagian besar hidup mereka dihabiskan di Jakarta. Tapi ketika sebagian besar penghuni Jakarta –baik yang ngontrak maupun beli putus- berduyun-duyun meninggalkan Jakarta untuk pulang ke kampung masing-masing di hari-hari Lebaran begini, saya sekeluarga tetap setia dengan kota ini. Keluarga saya tak punya tradisi mudik –entah ini adalah suatu berkah atau musibah- karena kami tak punya kampung yang bisa diaku sebagai halaman kami. Kok bisa? Yaaa…. Begimana lagi? Alasan pertama: kedua orang tua saya itu berbeda kampung beda propinsi beda bahasa beda kelakuan. Jadi, menentukan kampung halaman buat keluarga saya agak susah juga. Kedua: Eyang saya yang kampung halamannya sudah jelas bukan di Jakarta, tiap Lebaran malah mudik ke Jakarta karena semua anak-anak, cucu-cucu (dan cicitnya yaitu Hikari), keponakan-keponakan, dsb dll, ada di Jakarta. Ketiga: Nenek-Kakek saya sudah meninggal dunia sebelum saya sempat kenal mereka yang membuat kata ‘kampung halaman’ menjadi kata-kata tanpa makna. Singkatnya, tidak ada hal sekecil apapun yang bisa memberikan alasan kepada saya untuk berkata, “saya mau mudik Lebaran ini.”

Kalau saya bukan orang Jakarta, sebaliknya si Papap itu malah aseli yang punya Jakarta, walau logat bicara saya lebih Betawi daripada si Papap. Menikah dengan orang Betawi berkonsekuensi pada semakin bertambahnya alasan untuk tidak bisa mudik, atau sekedar pergi ke kampung orang. Maka dulu itu ketika kami harus berlebaran di negeri orang, tidak ada kerinduan-kepanikan-kericuhan-keinginan-keterpaksaan untuk pulang kampung. Perasaan ini biasa saja. Lebaran disini disitu disana, ya, sama saja. Hanya minus orang tua dan saudara kandung saja. Apa gak kangen orang tua dan saudara? Ya, kangen lah, tapi kan ada internet plus webcam, ada telpon, ada pak pos. Kami malah merasa sengsara lahir batin gara-gara satu hal: gak ada makanan khas Lebaran…

Tapi, terus terang saja. Kelakuan kami yang ini jangan ditiru. Akibat kecuekan kami pada tradisi mudik ini kami pun sukses diomelin oleh orang se-Jakarta yang punya hubungan darah dengan kami. Menurut mereka, kami tak punya rasa kasihan dan hormat pada orang tua dan saudara kandung yang ber-Lebaran tanpa kami. Lucunya, orang yang dikasihani mereka justru cuek abis aja dan malah sibuk melarang-larang kami pulang karena, “tiket pesawat mahal kan? Mending beliin kita oleh-oleh aja.”
Yyyeeeeeeeeeeyyyyyyyyy…………..

Menonton berita Lebaran di tivi membuat saya penasaran. Seperti apa sih rasanya harus mudik?

Eniwei, selamat kembali mudik ya teman-teman. Semoga mudik kemarin membawa rahmat lahir batin dunia akhirat.

HAPPY EID EL FITR
TO ALL OF YOU


Bantal dan Guling

Dulu, ketika pertama kali datang ke Jepang, waktu tidur adalah saat yang menderitakan. Kami memang tidak (mau) pakai perlengkapan tidur ala Jepang, semisal: futon, sejenis ‘tempat tidur’ khas Jepang yang sebenarnya hanya berupa beberapa buah ‘kasur’ tipis yang disarungi, dan ‘bantal’ yang gak beda jauh sama bakiak itu. Perlengkapan tidur kami, standar saja: kasur biasa plus bantal. Nah, disini lah masalah bermula.

Kasur dan bantal ternyata belum cukup menambah kenyamanan tidur. Kalau gak ada Guling, kok, rasanya belum mantafff… Kaki ini jadinya menyepak kesana kemari mencari posisi yang enak karena ketiadaan guling. Untuk mengakalinya, saya pun membeli dua buah bantal mungil berbentuk tabung pendek yang saya jahit, eh, Papap jahit menjadi satu. Walau rasanya gak se-pol pakai guling beneran, masalah pun untuk sementara teratasi.

Kemarin itu, sewaktu kita kembali ke tanah air tercinta, masalah guling tentunya tak jadi masalah. Mau tempat tidur isinya guling semua pun bisa. Beragam pula pilihan gulingnya. Dari yang empuk yang isinya kapuk berumur 100 tahun sampai yang keras yang isinya kapuk fresh from the tree campur bijinya. Tapi, seminggu setelah mendapat kenyamanan berguling, masalah baru muncul.

Ketika saat pergantian seprai terjadi, saya pun mulai ‘nggratak’ koleksi seprai emak. Apalagi si emak mempersilahkan saya memakai seprai manapun sesuka saya. Eh, ada seprai bunga-bunga nih. Ih, ada yang bulan bintang. Aduuuh, ada yang gambarnya abstrak gini. Ceilee, si emak, ada yang motif pink heart looh (yang disahutin oleh emak dengan “itu kan seprai kawinan kamu dulu!”)… Serunya ngelebihin sale baju Lebaran deh!

Akhirnya setelah se-jam-an saya memilih-milih, saya mengambil satu seprai berwarna biru polos…. Tapi… loh kok…???
“Miiiii, seprai yang ini kok sarung gulingnya hanya satu?”
“Emang.”

Hah, udah susyeh-susyeh! Ya sud, yang ini aja kalow begitu… Tapi, loh, loh…
“Miiii, yang ini kok sarung gulingnya juga hanya satu?”
“Emang.”

Loh!? Yang itu juga?! Yang ini juga kok?! Loh? LOH?! KOK SEMUANYA HANYA ADA SATU SARUNG GULING?
“Miiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii! Masa’ semuanya cuma punya satu sarung guling? Guling ogut kan ada duaaaaaaa!!!”
Si emak pun nongol di kamar, “emang dari sononya begituuuuu.”

Wah! Ini diskriminasi terselubung namanya! Kalau sarung guling hanya diberi satu dari pabriknya itu berarti kan guling di tempat tidur pun hanya boleh satu. Lalu, siapa dong yang berhak mendapat guling berharga itu? Sang suami? Sang istri?
Apakah ini dimaksudkan untuk mengetes siapa yang lebih sayang dan tidak egois diantara pasangan suami istri? Kalau si suami memberi si guling kepada si istri, itu berarti sang suami sayang banget sama istrinya? Kalau si istri menyerahkan kepemilikan guling kepada suami, apakah itu berarti si istri sangat setia dan hormat kepada suaminya?

Hayaaaaaahhhhh…. Kok susah banget!!!

“Maaaamiiiiiiiii!”
“Apa SIH?!”
“Laen kali kita bikin seprai sendiri aja lah!”
“Kenapa memangnya?”
“Untuk mengajarkan Hikari arti equality, egalitarianism, fairness….”


“Niiihh, gulingnya buat kamu aja,” kata Papap sambil ngeloyor ke luar kamar.

A Mother's Privilege

A-h, this is so classic. A working-out-of-home mother feels guilty because she cannot be with her children 24-7. I know for sure there are so many blogs that have discussed this, scientifically or personally. I don’t know which category mine belongs to. I don’t care. I just want to tell you that no matter how classic it is, the problem never seems to cease.

I thought after having a ‘long vacation’ from work would free me from the guilty feeling, but I was wrong. So wrong.

One week after I started working (and it is only four days a week, four hours a day plus 3 hours on the road), Hikari also began his long-gone-long-cured tantrums. Then he wouldn’t let me out of his sight for a sec. He also started to ask me do thing for him like putting on his clothes, feeding him, etc. I don’t mind, really, except for his new-be-dependent habit. I mean I’d missed him too. As soon as I stepped in the house and saw his longing face, I forgot being exhausted and worn out. I think a mother doesn’t have the privilege to feel exhausted, sad, worn out, drained, sleepy, anyting except being happy and cheerful all the time. The second week I worked, he fell sick. His flu and cold that he got two days after arriving in Jakarta haven’t cured yet, now he is throwing up, having an abdominal pain, and minor diarrhea. As if his sickness hadn’t made me felt guiltier and more panicky, everyone around blames me for what is happening. Now, I say this is really a mother’s privilege!

While working (now, out of home) is still something that I MUST do for survival, I haven’t been able to put aside the guilty feeling. At the same time, I know I am not alone because there are million of mothers all over the planet feel the same way, still it doesn’t cheer me up.

I’m just wondering if fathers are also blessed with this kind of feeling…

Sembalap

2 tahun kurang hidup di Jepun membuat insting sembalap saya menguap. Di negeri itu jangankan punya mobil atawa nyetir mobil, bisa numpak mobil beroda empat –termasuk taksi- adalah suatu kemewahan. Alasannya bukan hanya karena gak boleh melakukan kegiatan nyetir menyetir kendaraan bermotor oleh agen pemberi beasiswa si Papap, tapi juga karena…… MAHASISWA PANJERAN, gitu loh. Mana myungkiiiinnn punya duit lebih buat bermewah-mewah. Lagipula, misalkan –misalkan- disana saya bisa menyetir pun, saya pasti akan menyetir dengan baik dan benar (baca: tak bisa nyalip, tak bisa ngebut). Hilang juga lah insting sembalap saya itu. Dulu itu, jarak Halim-Pramuka bisa saya tempuh kurang dari 15 menit, kalau perlu (sayangnya, setiap hari, ya, perlu melulu).

Ketika balik ke kampung halaman tercinta yang selalu saya grundelin melulu, mau gak mau saya harus balik menyetir. Alasannya hanya satu: angkot yang beredar di perumahan sini tidak user-friendly.

Sayangnyaaaaaa…. (hmm… sekarang soundtrack suara sapa yang bisa saya pake ya? Bang Rhoma?), jalanan di dunia bagian sini ternyata juga sudah menjadi tidak user-friendly. Pertama, jalanan sekarang sudah dipenuhi oleh laler-laler kamikaze yang nyali bunuh dirinya (atau bunuh orang laennya) lebih serem dari pasukan Jepun jaman dulu itu. Motor-motor berani mati ini gila-gilaan maen serempetannya. Paling ngeri kalau lampu lalin sudah berubah jadi ijo karena deru suara ribuan laler ini yang saling berlomba dulu-duluan. Wong, lampu belum ijo aja mereka sudah maju duluan. Lalu kenapa saya gak ikut balapan dengan mereka? Nggilani. Walau saya sudah kawin, saya juga masih betah hidup. Lagipula jumlah mereka itu tak terhingga. Beraninya main keroyokan lagi. Alhasil mimpi lama saya muncul lagi. Dulu itu saya sempat bermimpi untuk membuat body mobil saya dialiri aliran listrik, sehingga kalau ada motor yang coba-coba mepet sejarak setengah meter motor itu akan terpentul-pentul. Jahat ya? Abis keki berat sih! Papap jelas tidak setuju dengan ide saya ini. Dia kan naek motor juga…

Alasan kedua yang membuat insting sembalap saya keder setelah laler kamikaze adalah jalanan akses dari rumah (emak) saya ke kantor yang hanya selebar tali jemuran. Hanya bisa dua setengah mobil, dua arah pulak! Kalo soal hanya bisa dua mobil, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalo jalanan selebar (para pesimis menyebutnya dengan: sesempit) itu juga dipake oleh pejalan kaki, motor slow-kagak-ngebut-kagak, tukang somay dan gerobaknya, tukang mangga dan motor olengnya, truk-truk nyasar salah jalan, anak kecil maen sepeda, dan anak balita maen gundu, sapa yang sanggup balapan???

Mau saya tuh, biar saja jalanan mobil hanya untuk dua setengah mobil, tapiiii di samping jalanan mobil ada jalanan khusus motor, lalu ada jalanan khusus pejalan kaki dan sepeda, lalu ada tanah kosong sedikit buat anak-anak maen gundu (maen layangan juga boleh lah). Dengan begitu kan saya tak perlu mengandalkan insting sembalap saya untuk bisa sampai kantor tepat waktu tanpa harus berangkat sedetik setelah shubuh….

Kenapa, Pap? Ngimpi?
Loh, kata orang bijak kan, I dream therefore many things exist toh???

Blogging never dies...

Koneksi internet yang lebih menyiksa daripada puasa di hari panas terus di depan kita ada orang minum segelas gede es kelapa muda ini sudah sukses mematikan hampir semua jiwa ngeblog saya. Buktinya? Saya kehilangan kata-kata untuk melaporkan:
1. Papap ulang tahun tanggal 2 kemarin.
2. Kita ulang tahun pernikahan kelima tanggal 14 ini.
3. Hikari ngambek keluar rumah untuk urusan apapun dengan alasan OKAASAN, ATSUI DA YO (Mak, panas neh!) sambil menjerit 10 oktaf.
4. Saya dipaksa masuk kantor lebih cepat tiga bulan dari rencana. Kata dipaksa harap digaris bawahi, ditebalkan, dimiringkan, dikasih koma atas, lalu diketok mati.
5. Pembantu pulang kampung lebih awal dan meninggalkan pesan, “kalau kita mau balik kesini, nanti kita telpon deh.”
6. Sudah 20 hari saya gak kepingin motret-motret apapun. Kehilangan jiwa narsis merupakan tanda-tanda speechless yang akut.
7. Papap memonopoli laptop satu-satunya walaupun pernah bersumpe-sumpe kalo dia kagak mau nyentuh laptop ini.
8. Kemanapun kaki melangkah, saya diberondong dengan pertanyaan basi, “kapan punya anak lagi?”
9. Silaturahmi ke seluruh penjuru dunia yang menghabiskan tenaga dan ide karena tiap kali ditanya: Satu, disana ada salju ya? Dua, disana makan apa? Tiga, disana gak ada rumah makan padang?
10. Ternyata(!) papan pengumuman di depan calon sekolah anak saya bertuliskan ‘Kawasan Berbusana Muslim’.

Mau diceritain yang mana?

Alien at Home

Versi: NORAK

Satu-satunya orang di dunia ini yang mengatakan kalau saya ini orangnya kalem dan pendiam adalah (hanya!) penguji psikotes saya di suatu hari 3 tahun lalu. Kalau menurut teman-teman saya yang lain, asumsi si penguji itu –tentu saja- salah besar. Teman-teman saya bahkan sampai meminta nama lengkap si penguji untuk memastikan mereka tidak akan pernah mau diuji oleh beliau, berdasarkan diagnosis beliau atas saya. Walau rada-rada dongkol karena teman-teman saya tak mau percaya diagnosis seorang ahli atas kepribadian saya, saya diam-diam setuju juga sih sama mereka itu. Wong saya aja kontan cekikikan tak terkontrol begitu si penguji mengutarakan diagnosisnya…
Tapi kenyataan berbicara lain.

Sejak saya mendarat kembali ke tanah air tercinta tumpah darahku, saya mendadak sontak jadi pendiam. Bukan, bukan karena saya berubah kepribadian. Saya jadi pendiam karena saya t-a-k-u-t kalau saya memangapkan mulut ini maka seluruh imej C-O-O-L saya langsung hancur lebur… Gimana enggak, setiap kali mulut ini hendak mangap yang akan keluar adalah rentetan pertanyaan ini itu begini begitu.
“Loh, kok, disini udah ada mall?”
“He? Disini ada plaza juga?”
“Hoh? Ada Square apa tuh disitu?”
Dan menyemburlah cemooh dari mulut adik saya. “Nanya mulu lo. Kayak tamu.”

Kenorakan saya belum berhenti disitu. Begitu saya selesai sungkeman di kantor dan kemudian pulang bersama dengan teman-teman kantor yang lain, rentetan pertanyaan saya pun mulai lagi.
“Jadi, kalau dari rumah emak saya ke kantor itu saya mendingan naik apa?”
“Trus, nyambung bis apa?”
“Bayarnya berapa?”
“Pool bisnya dimana?”
“Apa tadi nama angkotnya?”
“Naiknya dari mana tadi?”
“Eh, bayarnya berapa tadi?”
Weleh… kalau bagian yang ini, saya bukan hanya norak tapi juga lemot.

Setelah beberapa kali sempat mangap tanpa sengaja, saya pun berusaha mengerem kenorakan saya. Takut juga kalau saya disambit karena mulut mangap saya berkata,
“Jakarta panas banget yak?!”
“Gile, tempat ini masih macet aja.”
“Duh, servisnya lama amat sih.”
“Naro tas disini aman gak ya?”
“Internet ini BISA LEBIH CEPET GAAAAKKKK?!”

Dan adek saya pun berkomentar, “kirain orang kampung aja yang bisa norak kalo dateng ke Jakarta...”
Yang dibales oleh saya, “kapan elu pergi keluar kota lagi? Gak sekarang aja?”

Back Home

Hi, there, it’s me again. I’m back in Jakcity (as Jeng Ratu called it) with internet connection that is more irritating than the traffic jam in the city (at least the traffic is not 24 hours). Where shall I start my first posting hometown?

First, thank you guys for your patience waiting for me to blog again. I know, I know, it’s rather unpleasant to come to this blog everytime (as if *wink wink*) only to find out that I haven’t updated anything yet. Been there too. Trust me, I tried to blog once I arrived but ended up yelling at the computer. When it comes to internet-things, gosh, this country hasn’t changed much… Anyway, I arrived in Jakarta in the evening of the 26. On the same day, that early morning, we left the hotel in Shinjuku and 5 minutes after Hikari set foot in the plane, he started his never ending question, “have we arrived in Indonesia yet?” for 8 straight hours! My mom picked us up in the airport and the first thing she did was taking Hikari in her arms (mind you, Hikari is 1 meter tall) and left us behind. I guess she must have missed my son that much…Oh, just FYI, there was no red carpet. Just a bunch of uniform men asking what we had been doing in Japan.

The next couple of days are boring and tiring days. Almost collapsed from the heat (Jakarta is in the middle of SUMMER, my mom said), we had to deal with the annoying fact that our Driving licenses, our ID cards, our ATM cards, all of them are expired. And now, the story of how to renew these things: guess which card is the easier to renew? ATM? I thought so but I was wrong. It was the driving license! It only took me 5 minutes to get a new one! Yippieee!!! How about the ATM? Bah! I almost jumped onto the CS’s desk and broke her neck for giving me that horrible service…

For a couple of days too Papap and I had been sleeping alone in our room. No Hikari. Here’s the story: my mom already prepared one room upstairs for us. And then… she prepared another room downstairs, next to my parents’ bedroom, for Hikari. After that, they have been keeping Hikari for themselves. I guess they must have really really missed my son that much…
Now, what I am doing is basically trying to locate where I am. It’s like this: my parents moved to this recent house while I was in Japan. This new house is in the middle of nowhere it doesn’t even have a postal code. And now, Papap and I are struggling to remember the so many small roads that can take us to civilization. The only problem is not one road can get us there faster.

Ooaaaaaaahh... I miss my high-speed-free-of-charge internet connection TOO!!!

Blogger Templates by Blog Forum