The Last Green Leaves

I left you when the last warm wind blew from the mountains.
You were standing from a far, watching, until my back disappeared at the corner of the street.
Your eyes were tears and you waved in silence.
But, you didn't say goodbye.

I left you when the last sound from the last student in the classroom slowly disappeared.
You sat down in front of me, watching, until my eyes couldn't hold the tears anymore.
Your glasses slowly blurred.
You told me you were afraid you wouldn't have the chance to meet me again.
You knew it would break my heart but I knew it broke your heart more.

I left you when I could still feel the warmth of your palms.
You made me promise things I wasn't sure I could keep.
Your loving smile did nothing to hide the teary eyes you had.
I wore my biggest smile for you but you knew how much I faked it.
Then we both fell to a silent cry.

I left you when the first cold air brushed our face.
You stood a meter away from me trying to grasp everything.
When I hugged you, you wouldn't let me go.
And after that we didn't know whose tears were on our face.

I turned my back from you and got on that bus
when the last green leaves fell to earth.
You knew how much I wanted to turned back again and ran to you
for I didn't want to leave.
But you also knew it was not my call to make, nor yours.
And the bus door closed when I closed my eyes in tears.
I thought home was the right way to go, but I knew I was home already.

Nobody told me it was this difficult.
Three years passed and I'm still longing for you.
I keep telling myself that time will teach me to forget.
Somehow I want it to fail this time.

You.
Please wait for me.
I will come no matter what.
Or how long it will take.
And I will curse anyone who tell me I can't.
I miss you.
I promise you that.

Kehabisan Alasan

Setiap musim hujan datang, level cerewet dan ngomel saya mendadak bertambah beberapa senti. Penyebabnya bukan banjir, jalanan macet, mobil kotor, jemuran gak kering, becek yang gak ada ojek, atau atap bocor.
Bukan itu!
....................
Oke lah itu juga.
Tapi satu hal lain yang membuat saya darah tinggi di musim hujan adalah fenomena pindahnya koloni semut ke dalam rumah: kamar tidur, kamar mandi, meja makan, sofa, sampai di bawah rak tivi! Mulai dari semut hitam yang besar, semut rang-rang, semut hitam kecil, sampai semut merah halus. Terutama semut merah halus!

Setelah itu, saya lantas mempersenjatai asisten di rumah dengan sabun lantai khusus antiseptik dan kapur pengusir semut. Hasilnya? Ibarat pejuang 45, semut-semut itu mati satu tumbuh seribu. *sigh*
Kalau sudah begitu, saya hanya bisa mengomel sambil nyapu (not necessarily in that order) kepada si Papap.
"Tiap musim hujan, semut-semut masuk rumah lagi, masuk rumah lagi! Huh! Rumahnya kebanjiran kali ye?!"
Eh, tadi, si Papap yang biasanya belagak budek, menjawab, "ah. Musim panas juga pada masuk rumah tuh. Tanahnya panas, rumahnya kepanasan, jadi mereka ngungsi ke dalam rumah."
"Ah, pas musim hujan aja banyak semut."
"Musim panas juga!"
"Ah? Masa'?"
"Iya!"
Saya lalu diam dulu. Sudah lama saya mencari-cari alasan kenapa semut-semut itu menyebalkan. Lalu saya pikir saya mendapatkan penyebabnya: musim hujan. Ternyata papap bilang mereka juga sama menyebalkannya di musim panas. Sementara negara ini cuma punya panas dan hujan. Go figure that out.

So, sometimes, when one thing sucks, it just sucks. Our defense mechanism usually struggles to find an excuse why that something sucks because it often comforts our emotional state. But oftentimes the excuses we are trying to find are not there. Some things simply suck for no reason at all.

Saya jadi ingat seseorang menyebalkan yang saya temui beberapa minggu belakangan. Demi mendamaikan emosi saya, saya tadinya berusaha mencari-cari alasan kenapa dia bisa semenyebalkan itu. Dan sampai sore ini saya tidak bisa menemukan alasannya. Sampai semut-semut memperlihatkannya pada saya.

Now, I have made peace with myself. That person simply sucks. Period.


Sent from my E71 Nokia phone

Pity yourself!

Ketika berada pada kondisi terjepit dimana seorang manusia di kantor saya harus membuat saya mau bekerjasama dengannya, dia berkata begini:
"You don't have to like me. But you still have to do the job!"
Saya spontan nyengir lebar tanpa bisa ditahan.
Respon saya langsung membuat dia layu dan balik kanan bubar jalan. Mungkin dia pikir saya meremehkan intimidasinya. Seandainya dia mendengar gumaman saya saat itu...

If you think working with you while not liking you is a punishment for me, imagine yourself! You have to work with your own self AND you have to like yourself! Ha! Who is more miserable now?


Sent from my E71 Nokia phone

Look Who's Talking

Hujan dari semalam di pagi ini belum juga reda. And I thought I could have a nice comfortable sleep from the sound of the rain.
Jam 6 pagi, hujan masih mengguyur tapi saya sudah harus bangun dan mandi. Kepala yang nyut-nyut karena migrain dan bayangan akan jalanan yang pasti macet berat membuat persiapan saya ke kantor tidak ikhlas. Tidak sepenuh hati. Tapi saya harus bangun karena kewajiban mengantar Hikari ke sekolah.

Jam 7 pagi, saya selesai bersiap dan Hikari selesai makan pagi. Mungkin karena dingin dan kurang tidur, Hikari juga terlihat lesu. Toh dia masih sempat menarik saya segera berangkat karena takut terlambat. Dia masuk jam 7:30. Diantara kelesuannya, dia masih terlihat ikhlas akan kewajiban masuk sekolah.

Keluar dari komplek, saya lihat antrian di jalan Alternatif Cibubur sudah mengular. Sekali lagi saya mengeluh. Saya sudah bisa membayangkan jalanan yang hanya 5 kilometer ke sekolah Hikari pasti juga macet. Apalagi, para polisi senang sekali menutup belokan ke kanan ke arah Cikeas sehingga saya harus menyetir dua kilometer lebih jauh hanya untuk U-turn.

Mendengar saya menghela napas berkali-kali, Hikari bertanya. "Mama kenapa?"
Jawaban saya singkat, "sakit kepala, Nak. Macet lagi."
Hikari diam lagi dan sibuk dengan coretan-coretan gambar dinosaurusnya.

Beberapa ratus meter mendekati belokan ke Cikeas yang ditutup palang, jalanan sudah tersendat. Padahal U-turn masih 4 kilometer lagi. Diseberang belokan, saya bisa melihat seorang polantas mengatur jalan. Tiga mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu berjalan menyebrang ke arah palang jalan. Mata saya terpincing ke arahnya tidak bergerak. Hati saya berdebar keras.
Dua mobil di depan saya mendekati belokan Cikeas, polantas itu dalam gerakan lambat menarik palang-palang dari belokan. Saya spontan melambatkan mobil yang sudah lambat karena harus mengantri.
Satu mobil di depan saya, dalam satu sentakan, polantas itu membuka belokan dari palang-palang penghalang! Saya memberi sen kanan dan Pak Polantas yang melihat sen saya melambaikan tangan untuk menyuruh saya berbelok.
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!
Alhamdulillah!

Mendengar saya terus-terusan berkata Alhamdulillah, Hikari menegakkan tubuhnya melihat ke depan mobil dan bertanya ke saya.
"Kenapa, Ma?"
"Kita bisa belok, Nak. Alhamdulillah."
"Kenapa? Pak Presiden mau lewat?"
(Ya, biasanya belokan dibuka bila Presiden akan pulang ke rumahnya)
"Enggak, Nak. Pak Polisi itu baik hati. Kita dibolehkan lewat."
"Kenapa boleh?"
Saya tersenyum dan tanpa sadar mengeluarkan ceramah khas emak-emak.
"Karena Hikari ikhlas mau sekolah. Kita dibantu Allah. Kalau kita ikhlas, Allah akan bantu."
Hikari menoleh ke arah saya lama.
"Kenapa, Nak?"
"Mama juga ke kantor harus ikhlas..."

Astagfirullah....

Honestly?

Dear you. Yes, you.

Do you honestly believe I would say, "no problem. Perfectly understood." when you were late to pick up your child at my house again for the 101 times?
Do you really think I'd be okay and understanding watching my son's tired face because he missed his nap whenever you failed to show up on time?
Do you honestly expect me to give you my sweet smiles after you fail your promises for the 101 times?
And, do you actually think I can be ignorant with the fact that your child was ruining my no-maid-available-place because your child was bored waiting for you?

Geee... Where do all manners go?
Darling, going shopping, watching a movie at the cinema, having a guest at home, cooking an early dinner at 2pm are not, let me repeat, are not good excuses.
So please believe me when I say I do mind your manners, I want you come right row right then, and I don't do lipservicing. If you think otherwise, you are in a deep denial.

Yours truly.


Sent from my E71 Nokia phone

Senyummu Mahal

Sebagai pelanggan jalan tol Jagorawi terus ke tol Wiyoto Wiyono sampai mentok, saya hapal betul kelakuan ruas-ruas tol itu. Jarang cakepnya. Sampai-sampai para host di radio yang rajin menginformasikan kondisi jalan tol (mudah-mudahan amalan mereka diterima Tuhan!) cuma punya kosakata terbatas mulai dari 'antri, padat, padat-banget-percaya-deh-sama-gue'.

Kondisi ruas tol seperti itu ya wajar bila dilihat dari latar belakangnya: jumlah mobil yang luar biasa dan ketiadaan jalan arteri. Karena itulah saya tidak mengharapkan petugas loket tol yang setiap jamnya mengurusi pengguna ruas tol yang ribuan jumlahnya bisa-mampu-mau tersenyum pasa saya. Forget customer service 101. Masih bagus mereka gak asma kena asap hitam dari ribuan mobil yang lewat.

Saya pun maklum dengan ketiadaan senyum dan wajah lurus petugas loket yang tidak merespon ucapan terima kasih saya. Sampai saya menemukan senyum terhangat di gerbang tol Cimanggis.

Kalau anda pernah lewat gerbang tol Cimanggis dari Jakarta atau ke Jakarta, anda akan menemukan petugas-petugas loket penuh senyum dan rajin berucap terima kasih. Malah sapaan Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam tidak pernah lupa diberikan. Suatu kehangatan yang seringkali membuat hari saya cerah. Thank you, you guys. Your smile has probably helped a lot of people survive another day.

Smile, and the world smiles with you.

Sent from my E71 Nokia phone

Mohon Kebijaksanaannya

Hari ini, setelah bertahun-tahun hidup di negeri ini, saya menyadari bahwa orang-orang Indonesia lebih banyak yang bijak daripada yang tidak. Apa buktinya? Dalam jangka waktu dua minggu saja, saya bisa mendengar kata kebijaksanaan disebut berkali-kali...

"Nilai saya kan hanya kurang satu poin saja. Minta kebijaksanaannya lah. Jangan kaku begitu."
"Anak saya kan hanya lupa bawa persyaratannya saja. Minta kebijaksanaannya supaya bisa ikut ujian."
"Mohon kebijaksanaannya. Saya mau anak saya belajar disini aja. Jangan di cabang lain."
"Minta kebijaksanaannya, Bu. Masa' cuma gara-gara telat melakukan pembayaran, kursi anak saya hilang?"
"Kalau poin saya kurang dari segitu, saya gak naik pangkat. Tolong kebijaksanaannya dong."
"...kebijaksanaannya..."
"...kebijaksanaannya..."

Be careful with what you wish for. Saya hampir tidak tahan untuk tidak menjawab, "Pak, Bu, Dek, Mbak, Mas, karena saya bijaksana makanya saya harus menolak semua permintaan anda!"


Mbok ya kalau minta orang lain bijaksana itu, tengok diri sendiri dulu. Sudah bijaksana belum permintaannya?

Blogger Templates by Blog Forum