Hujan


Di dalam kelas, di antara suara deras hujan di hutan Depok, dosen Jepang saya yang native speaker itu bertanya heran kepada kami, "kenapa orang Indonesia selalu menggunakan Hujan sebagai alasan untuk terlambat datang?"

Kami malah balik memandang dosen cantik itu dengan heran. Seakan-akan Sensei kami itu baru saja menanyakan hal yang tidak logis.

Keheranan saya terbayar saat saya tinggal di Jepang.
Di tengah-tengah musim topan dan hujan deras di Honjo, pagi-pagi sekali saya, Papap, dan Hikari mengayuh sepeda menuju sekolah Hikari. Senin, 22 Juli 2005 jam 8 pagi. Hari itu hari pertama Hikari masuk sekolah. Tidak ada alasan untuk terlambat. Tidak ada alasan untuk tidak masuk. Hanya gara-gara Hujan...

Pada waktu yang berbeda, kami dijadwalkan untuk outing ke kota sebelah. Beberapa hari sebelum hari H, ramalan cuaca sudah terdeteksi: Hujan akan turun pas hari outing kami.
Saya mengirim email ke panitia mengkonfirmasikan acara itu. Apa iya sih outing tetap diadakan kalau hujan?!

Hari itu, kami outing dengan menggunakan jas hujan.
Tidak ada alasan untuk membatalkan acara. Hanya gara-gara Hujan...

Kemarin, hujan turun deras sekali. Suara petir dan air hujan yang tumpah menderu-deru di luar ruangan kaca yang dingin itu. Dua puluh empat murid saya duduk dengan gelisah. Sebentar-sebentar mereka menoleh ke luar. Sebentar-sebentar mereka mendesah.
"Hujan, Ma'am," keluh mereka.
Dalam hati saya juga mengeluh. Sial, pasti macet nih pulangnya!
Lengkingan klakson terdengar nyaring dari jalanan di seberang gedung!
Semua gara-gara Hujan...

Hujan.
Dicaci maki karena satu hal yang bukan kesalahannya.
Padahal ia hanya menjalankan kodratnya.

Pesan moral untuk saya:
Aneh. This reminds me of something. Or someone?

Si Kumendan dan Popor Senjata

Salah satu telinga si Kumendan sudah agak rusak. Tidak jelas juga yang mana: yang kiri atau kanan. Menurut Kumendan, dua-duanya sama-sama tak dengar, karena. Menurut dokter, salah satunya memang sudah out of date.

Ceritanya si Kumendan, telinganya itu rusak karena terkena popor senapan waktu latihan lapangan jaman dulu banget. Jaman Kumendan belum jadi kumendan, jaman Kumendan masih disuruh pake baju loreng, jaman Kumendan masih pakai helm baja (yang menjadi bernilai sejarah akibat terkena popor senjata itu), jaman Kumendan masih disuruh latihan tiarap-tiarap (yang gak ada hubungannya dengan job desk-nya), jaman Kumendan -katanya- masih muda dan ganteng. Perkara gantengnya memang gak bisa digubris, karena saya toh terkena keturunan gantengnya...

Rupanya, si Kumendan memendam rahasia telinga rusak karena popor senjata itu kepada dunia. Termasuk kepada si Mami. Alhasil, sejak pacaran-menikah-punya anak-sampai menikahkan anaknya (baca: saya), si Mami sering kali menangis berdarah-darah dalam hati (gak pernah nangis terang-terangan karena katanya gengsi). Ya, Mami pikir Kumendan itu laki-laki yang tidak sensitif terhadap perasaan perempuan yang butuh dimanja dan dibelai (yeah, right!). Si Mami pikir Kumendan sering nyuekin tumpahan perasaan Mami. Si Mami pikir Kumendan sering tidak mau tenggang rasa pada keinginan dan aspirasi perempuan. Padahal.....

Padahal si Kumendan mengalami penderitaan kurang dengar.

Karena itu lah saat saya pacaran saya mengecek indera pendengaran si Papap. Takut kalau-kalau pas saya sedang hot-hotnya sok romantis berbisik-bisik ria, si Papap cuma dengar angin suwir-suwir lewat...

Saya sendiri tidak pernah mengalami sakit hati nangis bombai diam-diam (karena gengsi) kepada si Kumendan, seperti yang dialami si Mami. Ini bukan karena saya punya hati setebal rompi anti peluru. Ini karena saya dan Kumendan tidak pernah bicara lemah lembut.
"De! Sudah jam 6. Siap berangkat ke sekolah!"
"Siap, Kumendan!"
atau
"Jam 9. Waktunya tidur! Masuk kamar!"
"Baik, Kumendan!"
Nah, kan gak perlu berbisik-bisik kalau begitu. Kumendan dan saya pun saling memahami. Bahkan sampai sekarang.
Kring... Kring...
"Halo? Kumendan?"
"Ya! Hikari demam pulang sekolah."
"Demam?!"

"Iya! Cepat pulang!"
"Pul...?"
Tuuuuutttt.........

Masalah pendengaran si Kumendan ini baru terungkap setelah si Kumendan jadi Eyang Kung dan rasa jaimnya berkurang. Itu berarti gak lebih dari 5 tahun yang lalu (padahal si Mami dan Kumendan sudah menikah selama 33 tahun). Setelah mendengar pengakuan si Kumendan, si Mami langsung uring-uringan selama seminggu. Memang gak baik main rahasia-rahasia-an dengan partner hidup...

Belakangan ini, seisi rumah dibuat puyeng dengan Kumendan. Kadang-kadang karena informasi ngawur yang diberikan oleh Kumendan, kadang-kadang karena pernyataan Kumendan yang gak nyambung dengan topik diskusi, kadang-kadang karena mood Kumendan yang tiba-tiba memburuk karena salah tangkap. Untung kita tahu penyebabnya sehingga dengan menaikkan nada bicara satu dua oktaf lebih tinggi, semua masalah bisa diatasi. Semua? Nanti dulu!

Kumendan: "Baterai hpnya sering habis nih. Padahal gak pernah dipake."
Mami: "Apanya yang gak dipake?! Papa kan sering otak-atik ringtone-nya. Ya habis dipake lah namanya!"
Kumendan, nada tinggi: "Loh? Saya kan pake hp hanya nelpon ke kamu aja. Pake kemana lagi?!"
Mami, menghela napas, menaikkan oktaf: "Itu, otak-atik ringtone sama artinya dengan pake hp juga!"
Kumendan: "Ring apa? Aku nelpon cuma ke kamu kok."
Adik: "Pi, Papi tuh gak denger atau gatek sih?!"
Kumendan, polos: "Gatek ada di tombol yang mana?"

Pesan moral saya kali ini adalah:
1) Jauhkan telinga anda dari popor senjata.
2) Jangan berikan hp pada orang yang, kurang pendengaran atau kurang tau teknologi.
3) Cinta memang harus jadi kadar tertinggi dalam suatu pernikahan.

Peace!

Agenda

Tanggal 12 Januari. Masih ada lah bau-baunya Tahun Baru. Kebiasaan saya di bulan pertama di tahun baru adalah mengumpulkan buku agenda. Iya, buku agenda.

Entah kenapa saya gandrung banget dengan buku agenda. Baik yang beli sendiri maupun yang gratis. Kebanyakan sih yang gratis, hasil dikasih kantor sendiri, bank, perusahaan-perusahaan, sampai majalah. Jarang-jarang saya beli kalau gak kepincut banget sama si agenda itu.

Tahun ini, buku agenda dari kantor saya gak asyik. Dulu-dulu juga biasa-biasa aja sih, tapi yang sekarang lebih gak asyik. Maka, habislah sekretaris kantor saya hina-hina . Untung orangnya sabar. Tahun ini juga si Papap dapat buku agenda. Dulu-dulu gak dapet secara hirarki beliau masih gak dianggap pantes buat megang buku agenda =. Itu kata si Papap. Ternyata pembagian buku agenda memang ada hubungannya dengan hirarki seseorang di kantor...

Waktu kecil dulu, saya paling hobi nyolong buku agenda si Papi atau si Mami. Buku agenda si Papi biasanya dapat dari kantor, sementara punya si Mami dari bank. Tapi biasanya buku agenda hasil colongan itu gak bertahan lama di tangan saya. Si Papi sering ngamuk-ngamuk minta buku itu dikembalikan karena standar buku agenda di rapat-rapat kantornya ya buku itu. Padahal data-data diri di buku agenda itu sudah saya isi dengan data diri saya :D . Mungkin bliow pikir agak kurang serem kalau seorang kumendan pergi rapat mengenai pertahanan negara dengan membawa buku tulis bersampul Hello Kitty milik saya...:-
Sementara itu si Mami juga selalu menarik kembali buku agenda yang saya colong. Alasannya karena bliow juga sama-sama kolektor buku agenda... /:)

Buku agenda favorit saya itu yang isinya ada kalendernya (past-present-future), ada kalender per-minggu, ada juga lembaran kosong buat corat-coret, dan sukur-sukur ada pulpennya. Saya paling cinta dengan buku agenda pemberian perusahaan-perusahaan Jepang. Lengkap, pake peta dunia segala! Keren, karena sampulnya selalu bagus! Dan eksotis, karena ada huruf-huruf yang saya gak ngerti :D! Mungkin lain kali saya mau minta buku agenda keluaran negara-negara berbahasa Arab, atau Rusia sekalian.

Saking hobinya saya mengumpulkan buku agenda, saya punya bertumpuk buku agenda di rumah. Sementara itu, buku agenda tahun lalu dan tahun lalunya lagi pun belum semua habis dipakai. Maklum lah, meeting-meeting yang saya harus hadiri kan jumlahnya gak seberapa dibanding jumlah halaman buku agenda. Eh, koreksi! Meeting-meeting yang saya hadiri jumlahnya lumayan significant, tapi isinya yang gak seberapa :P. Untuk mengurangi jumlah buku agenda yang tidak terpakai, saya pun mengoper buku-buku agenda yang paling saya tidak suka ke Hikari. Lumayan, bisa jadi buku gambarnya...

Nah, beberapa minggu yang lalu, sewaktu saya sedang mengomel riuh rendah mengomentari buku agenda kantor tahun ini, seorang teman dekat saya menyolek,
"penting banget gak sih ngurusin buku kayak gitu aja?!"
Bibir saya turun sesenti, sambil pasang gaya. "Penting, tau! Kalo gue butuh untuk mencatat semua hal-hal penting sepanjang tahun ini, pake apa dong?!"
Teman saya itu menatap saya dengan pandangan menghina sambil mengeluarkan benda hitam seukuran tangannya.
"Hari gini?! Pake ini!"

Asyem! PDA mungil itu menari-nari di depan mata saya!

Somebody Else's....?

Huru hara pemberitaan seorang besar yang sedang menyambung nyawa di satu rumah sakit di Jakarta entah kenapa mengingatkan saya pada posting sebelumnya.

Tidak ada yang bisa mengatur hati seseorang.

Someone's misery can be somebody else's happiness. Or the other way around.

Pilih Salah Satu

Musimnya tahun baru, musimnya ngucapin selamat.
Banyak orang yang saya kenal, mengirim ucapan selamatnya setelah tanggal 1 Januari jam 00 ke saya. Alasannya: nunggu dapet ucapan selamat yang kata-katanya bagus.

Sewaktu saya ganggu teman saya dengan kelakukan copy pastenya, dia mengajukan tawaran.
"Ya sud. Elu dikasih ucapan yang bagus (walao copy paste) gak mau. Gue kasih default-nya New Year's greeting aja deh!"
"Apa tuh?"
"May the new year bring you health!"
"BO!" kata saya protes, "defaultnya itu berbunyi: may the new year bring you HEALTH, HAPPINESS, and SUCCESS!"
"Serakah amat lu! Masih bagus gue kasih ucapan selamat. Suka-suka gue dong mau nyelametin elu yang mana. Lagian ucapan gue kan mengena banget buat elu!"

Dodol!

Sapa Juga Bisa!

Ini biasanya bahan berantem saya dengan si Mami: "Gue juga bisa!"

Setiap kali saya lapor tentang makanan enak di restauran tertentu, si Mami pasti nyeletuk, "ah, kalau cuma kayak gitu aja, Mama juga bisa."
Setelah nyeletuk begitu pun bukan berarti bakal ada masakan kreasi Mami di atas meja!

Ada seorang teman yang hobinya juga bilang begini. Tiap ada orang yang menceritakan suatu kesuksesan, dia pasti menyambar, "ah, gue juga bisa kalo cuma begitu aja!"

Paling gampang memang (cuma) bilang, "gue juga bisa!"
Mulut, memang selalu lebih cepat dari tangan.

Bahkan, saya ingat pernah ada seorang novelis yang disurati oleh pembacanya dengan kalimat yang kurang lebih sama.
"Kalau hanya menulis tentang begini begitu seperti tulisan situ, saya juga bisa!"
Gak ngerti juga saya apakah si pembaca tadi lantas ikut menulis atau tidak...

Sekali waktu ada teman, si A, yang dongkol abis dengan teman lainnya, sebut saja B. Si B ini setelah bertanya kepada A tentang blogging dari A sampai Z, menyatakan kesimpulannya dengan nyinyir, "yah, kalau blogging itu cuma segitu aja, gue juga bisa."
Sebagai seorang blogger pemula, si A mengadu sambil meranggas kesal ke saya. Dia gak berani meranggas ke B, karena.
Lalu datang saatnya si B ngenyek saya. "Kalau jadi blogger cuma perlu nulis begitu aja, gue juga bisa!"
Yang saya jawab dengan pedenya, "ya iyalah! Kalau gue gak bisa, gue gak bakal ngeblog dong!"

Emang dia aja yang bisa nyemprot komentar?! Gue juga bisa!

2008

New Year's Day-

everything is in blossom!

I feel about average.


Haiku

by

Kobayashi Issa (1763-1828)



Happy New Year, all!

Blogger Templates by Blog Forum