After Life

A week before I got sick, I borrowed two books from my friend, Barb. Both of them are by Mitch Albom: Five people you meet in heaven and Tuesday with Morrie. Both of the books, in a way, are similar because they talk about Death.

The days when my sickness was the worst, and my temperature was the highest, I had finished reading Five People You Meet in Heaven and I was in the middle of Tuesday with Morrie. So, during my worst hours, my mind was asking questions: whether I had bird flu or not, (if I did suffer from it) whether I was gonna die, who are the five people I'd meet in heaven (my best friend, my cousin, Keanu Reeves?... Na-ah, he's still alive), and how I was gonna die (paralized first or die in my sleep). I also began to wonder how people would react if I really did die (crying? laughing? cheering? toasting?). Those days I really really thought I was between life and death...
But, good news, I am getting better instead of getting worst (Alhamdulillah, thank God). The doctor also told me:
1. I didn't suffer from bird flu.
2. I wasn't going to die.
3. That I was overdosed, therefore I was hallucinating.

Awesome.

Today is a week after my worst days. I have finished reading both books. What did I get to learn from all of this?
Never read any books when you are under heavy prescription!

This reminds me of my experience before the delivery process of Hikari. For nine months, I equipped myself with all the books I could find about 'Pregnancy' and then 'Giving Birth'. My mom tried to warn me that I might scare myself when the real time came (having read those A-Z of pregnancy and delivery). As a normal child, I ignored my mom (who had given birth to three children and witnessed dozen others). And, as story told, Mom is Always Right: I was scared to death when the days approached the D day.

Again, the moral of the story is: Never read any books when you are under huge stress!

Well, now, what do I have left?
Oh, words of wisdom.

So, my advice to you all is: Never trust anyone who is under heavy prescription and huge stress!

At the moment you are reading this, I'm begging Papap to buy me my reading supply. I'm running out of books and I don't care if a book would make me hallucinate again!

Boookkk, pleaaseeee.................. Anyone?

Namanya Ngeledek

Selagi kepala bisa diajak jalan ke teras rumah sebentar, saya pun duduk kriyep-kriyep menatap taman di depan rumah. Taman cuma sepetak pun tak jadi masalah. Yang penting pergantian pemandangan.

Gak lama, bunyi tok-tok-tok terdengar di kelokan. Ah, tukang cingcau. Rasanya seru juga minum cingcau, kata si iblis di kuping kiri. Jangan, kata malaikat, ntar elu minum segelas, ditusuk infus 10 botol mau?! Saya pun menuruti si malaikat. Terakhir kali saya diinfus, tangan kurus saya mendadak gemuk seksi merah merona. Iya, jarum infusnya salah masuk dan membuat tangan saya bengkak berhari-hari.

Tukang cingcau lewat, godaan lain segera menyusul: tukang bakso, tukang somay, tukang es dawet, tukang otak-otak. WOI, Bang! Waktu saya gak sakit, ente kemana aja?!
Iman saya masih teguh kukuh berlapis baja bersenjatakan rencong bervitamin cacing. Saya masih sabar duduk kriyep-kriyep di teras. Cuaca mendung dan angin ilir-ilir makin membuat nikmat ke-kriyep-an saya. Kepala pusing, perut panas, badang meriang pun tak begitu terasa.

"Mbak, mbak..." kata pembantu saya pelan. Dia sangka saya pingsan kali.
"Jadi dibikinin bubur?"
"Bubur?" Uuugghh... sudah seminggu makan bubur tak ada rasanya itu... "Yah."
"Sepiring?"
"Setengah aja."
"Kata Papanya Ari harus sepiring, Mbak."
"Yey, udah tau pake nanya lagi!"
"hehehe...."
"Lauknya apa, Tat?"
"Ayam blender ada. Mau telur rebus?"
Uuugghh... itu lagi itu lagi..
"Pake lauk apa jadinya, Mbak?"

Tok tok tok tok tok..... "SATE PADAAAANNNNGG, SATEEEE PADAAANNGG!!!"

"........"
maaf, yang punya blog lagi istigfar

Down for the Third Time

When I am writing this, I am struggling with my body because I am having a typhoid fever. It's been four days and I'm so tired of being in bed watching CSI (for the hundredth time). So, here I'm sneaking my way out of the bedroom to the computer (Papap is not home yet, my parents are downstairs, and Hikari is playing outside). I missed the chance to meet other bloggers last Sunday too... *hiks*

This desease is nothing new for me. I have been hospitalized two times for having typhoid fever before, and have been kept at home many times for having its symptoms. Even my best friend Ms. AC told me I've made it a hobby. To tell you the truth, I'm glad having this typhoid fever. With Indonesia's recent deseases-condition: bird flu, chikungunya, dengue fever, God-knows-what-else, my sickness is less life threathening... hehehe... And, I've got to admit that before I got my blood tested, I was scared to death that I might have infected by bird flu. Thank God, I didn't.
So, guys, if you need some advice on how to stay healthy, don't come to me.

My mom knows a secret recipe to cure the sickness faster: a mix of raw egg (ayam kampung, what do you call it in English? Farm chicken? Huahahaha...) and honey. BUT, I wouldn't advice that medicine anymore now. You know. Bird flu?
There is still another medicine that works like wonder. I've tried this and it made my stomach feel better. The medicine is made from dried worm. Yes, worm. Like, a worm in the earth? That's the one. So, clean these worms (of course after you manage to catch them), rinse them, water them, but do not use soap. I'm sure you're that intelligent... hehehe... Then, dry the worm under direct sunlight. Next, cook them without cooking oil until it is really really dry. When you are done cooking... eat them.
Yucky?
You bet!
That's why I'd rather order that worm medicine from the Chinese drug store. They have the dried worms in capsules...

Okay, then, I've got to go. Not because I want to, but my head is starting to ache.
Bye.

The Job

Pekerjaan apa yang paling berat, paling demanding, emotionally involving, stressful, etc., di dunia -bila amanatnya diemban dengan sungguh-sungguh?

Jawabannya: Pengawas Ujian di Endonesyah

Sudah seminggu ini saya menjadi pengawas ujian di kantor tempat saya bekerja. The first time (again) in three years. Naturally, semua yang mengajar di kantor ini pada akhir semester akan mengawasi ujian murid-murid juga. Dan murid-murid yang diawasi ini satu) bukan murid kita sendiri, dua) terdiri dari beragam usia dan latar belakang. Kesamaan dari mereka hanya satu: dalam tiap kelas pasti ada cheater(s) alias pencontek, walau dengan derajat ke-akut-an yang berbeda.

Bila kita jenis orang yang EGP banget sama para cheaters ini, kita bisa duduk tenang di depan kelas menganggur tanpa perduli dengan orang-orang yang kita awasi tanpa terkena penyakit stress dan darah tinggi.
Sayangnya, saya bukan jenis pengawas EGP.

Pada hari pertama ujian, saya harus masuk ke dua kelas di jam yang berbeda. Sebelum masuk ke kelas pertama, guru kelasnya sudah mendekati saya,
"De, begini ya. Kalau elu masuk kelas gue, jangan lupa pasang tampang sangar! Kelas gue itu penuh dengan cheaters bla bla bla bla..."
Tuh kan, belum masuk aja udah bikin stress...

Si guru ternyata tidak salah, apalagi berbohong. How I wished she was wrong. Belum lagi ujian dimulai, saya sudah harus berteriak luar biasa kencang, "SILEEEENNNNNTTT!!!" gak pake please. Lalu, urusan penting selanjutnya dilakukan: mengatur siapa duduk dimana. Dan ternyata tindakan saya yang ini sungguh tepat: Semua siswa yang duduk di depan kedapatan mencoba mencontek. Saking desperado-nya mencontek, mereka bahkan tak sadar kalau saya berdiri tepat di dibelakang kursi mereka.

Kelar kelas pertama, saya harus masuk ke kelas berikutnya. Sebelum masuk jam berikutnya, saya kembali didatangi guru kelas kedua, juga dengan kalimat awal yang sama, "De, elu nanti masuk kelas gue. NAH, kelas gue itu bla bla bla bla...."
Saya pun menjerit, "Tiddddddddaaaaaaaaakkkk!!!"
Kelas pertama, satu jam ujian saja sudah membuat saya darah tinggi.

Atas jeritan dari hati saya yang paling dalam, para kolega saya menghibur, "Ah, De, elu kan jagonya bikin anak-anak itu bertekuk lutut. Reputasi elu tuh udah terkenal bahkan setelah elu pergi ke Jepang kemaren..."

Sialan! Pekerjaan gue itu sebenernya guru atau tukang jagal sih?

catatan: murid-murid dari dua kelas itu, usai ujian meratap-ratap pada gurunya.
"Ma'am, kok tega banget sih ngasih kita pengawas kayak begitu?"
"Ma'am, saya kan hanya ngelirik sedikit aja... Nama saya gak dicoret kan?"
"Ma'am, saya lulus gak ya? Duuh, saya ngeri banget pas ujian tadi..."

HUH!

Alamat dimana?

Rasa bingung saya berubah jadi geli ketika melewati seruas jalan di daerah Bekasi. Pagi itu (kayaknya, lebih pantes dibilang SHUBUH itu dey), saya nangkring diboncengannya Papap. Kudu berangkat pagi, eh, subuh-subuh karena ada ultimatum dari kumendan bahwasanya saya kudu sampe di kantor sebelum ayam jago berkokok. Padahal saya biasanya pergi ngantor pas ayam jago tidur siang, bo! Eniwei, hari itu, saya berangkat pagi, eh, subuh.
Demi menghindari kemacetan luar biasa serta rasa kantuk yang lebih luar biasa lagi, saya rela dibonceng Papap dengan Bebek odong-odongnya selama 1.5 jam perjalanan daripada nyupir kuda sendiri ke kantor. Lalu kami pun melewati jalan yang gak biasanya saya lewati. Jelas, motor kan gak bisa lewat jalan tol... at least not in Indonesia, and not his kind of motor deh.

Karena tidak merasa kenal dengan alam sekitar, mata saya pun jelalatan mencari papan iklan toko-toko disepanjang jalan itu. Saya mau baca alamatnya. Jalan apa sih ini?
Satu toko akhirnya memberikan alamatnya dengan jelas: Jalan Jatimekar. Oooh, pikir saya, disini tuh Jatimekar tho. Saya pun kembali meluruskan pandangan. Kembali menatap belakangnya batok helm si Papap.
Hanya beberapa meter kemudian, jalannya motor kembali tersendat. Saya menoleh dan tak sengaja membaca papan nama yang lain: Jalan Raya Bogor. HAH?! Jalan Raya Bogor? INI JALAN RAYA BOGOR??? Belum sempet kagetnya hilang, beberapa meter kemudian papan nama yang lain, di ruas jalan yang sama, bertuliskan: Jalan Pondok Gede.
"..........????"
Saya pun mencolek Papap, "Beh, ini dimana sih? Ini jalan apa?"
Yang dijawab Papap, "umengaelgno."
Oh, iya, lupa. Dia kan pake helm isi bantal plus penutup mulut dari gorden. Saya pun berusaha mencari sendiri informasi yang benar. Ternyata seruas jalan itu mempunya nama jalan yang berbeda-beda walau jaraknya hanya semeter-dua. Gak tau deh gimana caranya Pak Pos bisa menemukan si Who di Where. Kalo udah begini, saya nyanyiin aja lagu TK-nya Hikari jaman di Honjo dulu, "Yubingya-san, itsumo, arigatoooooo." (baca: Mr. Postman, thank you, always).

Cerita sepenggal jalan yang punya multi nama itu mengingatkan saya pada pengalaman saya dulu. Juga soal nama jalan, walau beda kasus.
Waktu itu saya sedang berada di salah satu bank besar di Jakarta. Saya lupa apa kepentingannya, tapi saat itu saya harus menyebutkan data diri saya ke seorang Mbak-Resepsionis-Cantik-Tapi-Tak-Pernah-Senyum. Dia sibuk menuliskan data diri saya di selembar kertas resmi. Kenapa juga dia gak suruh saya tulis sendiri ya?
"Nama?" tanyanya sambil terus menunduk.
"xxxxx," jawab saya.
"Alamat?" masih menunduk. "Jalan?"
"Mars," jawab saya kalem.
"JaLANNN?"
"Jalan? Mars."
Dia mengangkat muka. "Rumah EMBAK, JALAN apa?!"
"Jalan MAAARRRSSS." Gile, emang dia aja yang bisa pake nada sopran?
Eh, dia melotot. "Alamat yang benar, Mbak!"
"RUMAH SAYA di JALAN MARS!"
Setengah gak percaya dia menulis di kertas lagi. Sambil melototin saya tentunya.
"Lengkapnya?"
"Jalan Mars Komplek Angkasa."
Pada saat ini dia meletakkan pulpennya di meja. Sampai pulang saya tidak tahu kenapa dia bisa sesadis itu sama saya. Untungnya pada saat kejadian saya datang bersama seorang teman, yang diperjalanan pulang memberi pencerahan, "elu juga sih punya rumah di jalan begitu komplek begitu. Dia pikir elu kan becanda aja!"
Yah?!

Kebayang gak sih kalo orang-orang dari jalan berikut ini melamar pekerjaan, misalnya.
"Alamat?"
"Jalan Dogol."
".... Kamu baru ngelamar kerjaan aja udah berani ngebanyol ya...."
Nah lo!

catatan: Jalan Dogol benar ada di Jakarta Pusat, seperti juga Jalan Jendul di Jatiasih, Bekasi dan Jalan Haji Pitak di Bekasi (lupa, selatan timur barat utaranya). Punya nama jalan yang lebih ancur lagi?

Somewhere in Nowhere

It sounds like a joke when I wrote that my housing complex was so remote that it didn't have a zip code. It still doesn't.

Unfortunately, it is not a joke. Well, at least it is not, for my neighbors-who-share-the-same-street's-name. None of them knows the zip code, or knows if in any case we are entitled to have a zip code.

If you still think I am joking, or just being dramatic, I'll tell you this: go get yourself a newly-revised map and locate our housing complex. It is not even there... Our housing complex, I mean, forget the zip code.

Finally, I realized, this non-existance of zip code should have opened my eyes about the remoteness of my house; therefore, I wouldn't have expected to have a decent internet connection. Learning from my two-month experience, whenever I contacted all those most-recommended providers, they always replied my request with...
"Ibu yang terhormat dan baik hati. Dengan sangat menyesal kami memberitahukan bahwa kompleks perumahan Ibu belum terjangkau oleh layanan kami. Semoga sukses lain kali."

And so I was left with one and one choice only: the one that I am using but I won't recommend. Can you guess what it is?

Blogger Templates by Blog Forum