Our Mother's Signature

Nama perempuan itu Jeng DJ. Usianya di pertengahan 30-an tahun. Kata perfeksionis dan idealis sepertinya diciptakan khusus untuk dia saat dia lahir.

Saya sebenarnya lebih suka memanggil di Jeng TOA as in TOA mesjid. Ini bukan penghinaan. Hanya sekedar menyamakan deskripsi karakter dan bawaan orok dengan sebuah nama panggilan. Lagipula, TOA nya bukan sembarang TOA. TOA yang satu ini seringkali menyuarakan gema sebuah bom yang meledak. Meledaknya gak tanggung-tanggung: di kantor, di antara para pejabat tinggi, di tengah-tengah orang berhati lemah.

Saat ini -seperti juga saat-saat yang lalu- Jeng DJ sedang stress berat. Bawaannya (dikutip sesuai dengan kalimat aslinya) PENGEN NELEN ORANG. Ini akibat dia ditimpuki kerjaan yang gak tanggung-tanggung banyaknya dan jelas gak sesuai dengan nominal gaji.
Menurut saya pribadi sih, Jeng DJ pengen nelen orang bukan karena kerjaannya yang ngebludak. Dia sampai gahar begitu karena orang-orang yang harus dia kerja-samai mempunyai deskripsi 'sudah bego, goblok lagi'. Dan anehnya mereka selalu naik pangkat...

Coba sekarang kita bayangkan si Jeng DJ ini. Di tenggelamkan oleh kerjaan, di gaji rendah (haha!), di kerjain para kolega dengan menyuruhnya ikut panitia ini itu, dianggap terlalu idealis, dan yang paling menggelikan (buat saya) dia diiklankan sebagai berkepribadian tidak dewasa.

Lalu apa yang dilakukan oleh Jeng DJ?
Jelas apa yang selalu dilakukan oleh dia.
Ngamuk. Ngomel. Maksa orang untuk bekerja bener.
Does it work?
Jelas tidak.
Sebagai akibatnya, Jeng DJ jadi pengen nelen orang lagi.

Apa hubungannya Jeng DJ dengan saya?
Jeng DJ itu sosok yang menentramkan buat saya. Jelas bukan menentramkan dengan feeling yang sama seperti mendengarkan Pak Quraish Shihab berceramah tentang kemurnian hati. Feeling menentramkannya adalah seperti, "Oooooh, ternyata ada orang yang hidupnya lebih sial lagi dari gue!"
Tapi, applause should be given to her. Setelah selesai nelen orang, Jeng DJ biasanya sanggup tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya.
Bawaan orok Jeng DJ yang terakhir (tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya) itu lah yang menjadi persamaan antara saya dan dia.

Terakhir kali saya bercakap-cakap dengan Jeng DJ, kami berkesimpulan bahwa kemampuan kami menertawakan kepahitan (hayah!) hidup ini berkat didikan ibu-ibu kami.
Perlu diketahui, walaupun ibu-ibu kami itu tidak saling mengenal, mereka sepertinya lulusan dari perguruan silat yang sama: Kejemnya gak kira-kira! Dan terutama, mereka selalu sanggup menaikkan dagu pasang tampang sekokoh batu walaupun cobaan hidup mereka luar biasa beratnya (having us as daughters, that is!).
Maka, selagi kami memperingati dan mengenang karakter Raja Tega mereka (yang terutama ditujukan kepada kami yang anak perempuan satu-satunya), kami mendapat satu kesimpulan. Satu pencerahan.
"Kalau emak-emak kita itu gak raja tega sama kita, yang ada sedikit-sedikit susah kita bakal mewek mulu kali ya?" kata saya berfilosofi.
"Iya, itu emang begitu itu mereka ngedidik kita."

Jadi, itu lah signature dari para ibu kami.
Pesan moral kali ini: what is your mother's signature on you?

REZAH

"Namanya Re-zah, Mama. Harus pake huruf H dibelakangnya. Mama harus sebut pelan-pelan. Reeee---zaaahhhh. Kalau pelan-pelan, namanya jadi merdu, Ma."

Rezah.
Itu panggilan Hikari untuk calon adiknya. Saya dan Papap hanya bisa tertawa mendengar rencana-rencana dia untuk adiknya.

"Mama jadi punya dua anak kesayangan, ya?"
"Adiknya perempuan atau laki-laki?"
"Kok perut Mama belum besar juga?"

Pertanyaan demi pertanyaan Hikari lontarkan tak sabar.
Sembilan hari yang lalu, pertanyaan itu berubah menjadi...
"Kenapa adik sakit, Ma?"
"Kenapa adik harus dikeluarkan sekarang?"
Dan saya tak punya jawabannya.
Yang saya tahu, life had been hard for this little one. Dia harus berjuang keras sekali sejak awal. Lalu Dia berkehendak Rezah hanya hadir untuk 12 minggu.

Law and Order

Sudah seminggu ini tol Jagorawi selalu macet. Kalau jam pulang kantor, macetnya di jalur menuju Bogor. Sebaliknya jam masuk kantor, macetnya di jalur yang ke arah Cawang.
Hari pertama macet -pas jam pulang kantor- radio bersuara empuk-empuk ngantuk yang saya putar menginformasikan sumber kemacetan itu.
Penyiar (suara besar bariton): "Pendengar yang terhormat, baru saja kami mendapat informasi dari petugas tol Jagorawi yang menginformasikan bahwa tol Jagorawi kilometer 6 sampai 8 kondisi jalan ramai padat."
Ramai padat jidat lu. Wong gue gak bergerak begene!
Penyiar lagi: "Kepadatan terjadi karena ada pembenahan di bahu jalan sampai dengan kilometer 8."
Saat itu yang ada dibayangan saya atas kata 'pembenahan bahu jalan' adalah adanya pekerjaan konstruksi di bahu jalan sepanjang tol. Entah kerikilnya lepas lah, entah aspalnya botak lah, entah jalanan bolong lah...
You know what I did find out?
Ternyata...
Ternyata...
Mulai dari kilometer 6 sampai pintu tol Cibubur, beberapa mobil patroli polisi sengaja parkir di bahu jalan supaya orang-orang tidak memakai bahu jalan itu untuk jalur umum!

Terus terang, harus saya akui. Bapak-bapak (gak ada Polwannya karena) yang baik, niat anda sungguh mulia. Memang para pengendara mobil yang suka seenak udelnya kalo nyupir di tol ini harus diberi pendidikan tentang tata tertib lalu lintas. Tapi, sumpah, Pak! Saya miris melihat caranya. Bukan, bukan miris kepada Bapak. You're just doing your job. Saya miris kepada sesama teman pengendara. Apakah kita (elu kali, gue sih enggak!) udah segitu tololnya sampai-sampai Polisi harus melakukan tindakan se-konyol itu supaya kita (elu kali, gue sih enggak!) jera?
Teman seperjalanan saya satu kali pernah meringis melihat deretan mobil patroli yang melintang di bahu jalan. Katanya, "kesian ya polisi-polisi itu. Buat bikin orang tertib aja sampe harus pasang badan begitu. Kalo ada supir yang ngebut nyelonong ke dia gimana tuh?"
Saya sih gak kesian sama polisi-polisi itu, kecuali kalau ada supir yang bener-bener nyelonong ke arah beliau. Saya justru kesian sama orang-orang yang menjadi obyek penertiban itu. Kesian, karena saking bebalnya, polisi-polisi itu sampai harus memakai jalan yang memiriskan seperti itu. Ternyata, warning sign aja gak cukup di negeri ini!

Pesan moral saya hari ini:
1. Bahu jalan itu untuk kondisi darurat. Titik! Emang ente mau diseruduk mobil pas lagi ngeganti ban mobil yang kempes di tol?!
2. Kalau tidak mau diperlakukan seperti orang tolol dan bebal, ya behave decently lah!
3. Hindari tol Jagorawi pas jam-jam sibuk.

Blogger Templates by Blog Forum