Wangsit

Sejak Hikari 'dicurigai' ber-dominan otak kanan, saya dan Papap seperti mendapat pencerahan mengapa dia seperti tidak bisa melihat 'urutan logika' pada Alfabet. Alphabet and alphabetical order don't make sense to him.

Bila anak lain dengan enteng tak banyak cingcong melahap A, B, C, D... sesuai urutan, Hikari malah mempertanyakan mengapa harus B setelah A. Suatu pertanyaan yang biasanya berakhir dengan keringat dan air mata. Di sisi saya.

Bila saya ajarkan dia membaca dengan metode suku kata seperti: D-A=Da/D-I=Di/Da-Di, Hikari akan balik bertanya, "Dadi itu apa, Ma?"

Bila saya ajarkan metode 5 huruf satu hari, selama beberapa hari, dia akan mengerutkan dahinya dan dengan sopannya berkomentar, "aku capai" menggunakan nada 'what the hell are you doing?'.

Bila Papap sampai turun tangan duduk di sebelah Hikari dan menyuruhnya mengeja pelan-pelan, Hikari akan memeluk Papap sambil meringis, "aku sakit perut."

Saya dan Papap percaya sepenuh hati kalau umur 4.5 tahun memang belum berkewajiban untuk bisa membaca, walaupun dunia kecil disekitar kami tampaknya tidak percaya pada hal yang sama. Kami berusaha menulikan suara-suara 'si A sudah bisa membaca lancar umur 4 tahun' atau 'si B ikut rapid reader dari umur 3' atau 'Bunda, tolong diulang belajar alfabetnya di rumah'. Agak susah. Apalagi bila ada si C yang jadi sepupu pembanding di dekat kami. Pertanyaan 'kenapa ya dia gak bisa seperti si C' sering muncul. Maka, ketika diagnosa itu datang, kami berdua jadi seperti punya kambing hitam. Setelah semua keringat dan air mata...

Pasca diagnosa, saya berusaha mencari informasi apa yang harus dilakukan. Kalau metode pengajaran konvensional gak mempan buat si Kunyil, something's got to be done. Saya pun berakrobat. Lupakan buku-buku belajar membaca konvensional. Saya hanya butuh kalender bekas, sedotan dan spidol. Saya bentuk kalender bekas menjadi berbentuk ikan, tempel sedotan untuk pegangan, dan saya tulis satu suku kata di badan ikan. Sekarang Hikari punya ikan bernama Ba, Bi, Bu sampai Za, Zi, Zo. Bayangkan berapa banyak ikan yang dia punya...

Sejak punya mainan alfabet ikan keadaan menjadi berbalik. Sekarang Hikari yang akan memaksa saya untuk 'Main Ikan'. Kalau begitu saya akan pegang beberapa ikan, dan bercerita dengan gaya yang bikin orang dewasa bergegas mencari earplug. "Ikan Ba, Co, dan Gu sedang mencari rumput laut! Dibaca jadi apa ini, Ri?" yang langsung dijawab cepat oleh Hikari 'Bacogu!'. Gosh, he can see the order now! Kemane aje gue selama ini???

Berhari-hari kami bermain ikan, walau ada progress, Hikari toh masih belum terlihat mau membaca lebih dari dua suku kata. Tenang, kata saya pada Papap. Everything has its time.

Tadi, malam, Papap mengajak kami ke supermarket di depan komplek. Naik motor. Bertiga-tigaan. Pulangnya, kami mampir di tukang fotokopi yang kiosnya bersebelahan dengan tenda tukang nasi goreng. Hikari duduk ngejogrok di atas batu di depan kios. Tidak mau pindah. Diaaammm saja. Setelah 15 menit, dia berteriak kencang, "MAMAAAA!!! AKU BISA BACA ITU!" Jari telunjuknya menunjuk tenda si tukang nasi goreng. "ITU BACANYA NA-SI-GO-RE-ENG!"

Saya dan Papap saling pandang. Kalo gak inget kita ada di pinggir jalan, pasti kita udah rangkulan sambil mewek....

Anak si Mami

Menjadi anak ibu saya itu susah. Dan itu bukan karena salah satu sifat keibuannya yang senantiasa muncul: cerewet. Ada hal lain yang lebih mendasar dari sekedar sifat cerewet. Eh, cerewet sih bukan sekedar yak?

Ibu saya itu tentara wanita. Iya, benar. Tentara. Yang pake baju loreng, berhelm baja, bersepatu lars dan bersenjatakan senapan. Sewaktu saya kecil -sebagai anak pertama dan perempuan satu-satunya- mainan saya bukan boneka, tapi bola, sepeda, dan tongkat. Tongkat itu bisa untuk maen kasti, maen perang-perangan, ngerontokin buah mangga dan jambu air, atau maen pukul-pukulan dengan anak tetangga. Maksudnya, saya mukulin anak tetangga. Ibu saya juga lebih bangga dan meneteskan air mata melihat saya jadi komandan kompi tim gerak jalan SD saya, daripada jadi juara lomba kartini. Ehm, ini mungkin ada hubungannya dengan semangat tahu diri dari beliau karena beliau sadar saya tak akan pernah bisa jadi Miss Universe walau segimana hebohnya saya operasi plastik.

Lalu bagaimana bisa menjadi anak ibu saya itu susah?
Begini.
Semua orang yang tak kenal ibu saya, biasanya berkomentar kalau saya ini -sebagai perempuan- sungguh njelehi. Saya ini perempuan tapi kok berangasan, cewawakan, sok galak, gedubrakan, cablak, sering nantang orang kelahi... walah... panjang lah catatannya.
Beberapa orang yang berjenis kelamin laki-laki biasanya akan berkata, "Dev, kamu tuh jadi perempuan yang lembut sedikit."
Sadar akan nasehat itu, biasanya akan saya menjawab, "belum pernah digolok, kamu?" dengan nada yang sangat lembut.
Kalau perempuan-perempuan lain biasanya gak akan komentar. Mereka pergi aja jauh-jauh.

Sementara itu, orang-orang yang kenal ibu saya malah berkomentar kalau saya ini kurang tangguh! Jauh lebih cemen dibanding ibu saya. Terlalu lembut. Klemar-klemer.
Suatu kali, seorang laki-laki anak buah ibu saya pernah bertanya. "De, kamu kok gak seperti ibu kamu sih? Kuat, energetik, tangguh, gitu?"
Saya cuma tersenyum. Dalam hati: pulang lewat mana lu?!

Sampai setua ini pun saya masih merasa susahnya jadi anak ibu saya. Mungkin karena ibu saya sendiri seringkali menginginkan saya punya dua kepribadian: yang perempuan asli (dicirikan dengan bisa memasak, berdandan rapi, dan tersenyum manis pada anak umur 2 tahun yang menumpahkan buburnya di baju kantor kita) dan yang jagoan kampung (dicirikan dengan kemampuan mengganti bohlam lampu yang mati, membetulkan pompa air, dan bertolak pinggang di hadapan selusin tukang copet sambil berteriak 'SAPA TADI YANG NYOPET DOMPET GUE?!)
Alhasil, di buku kenangan alumni kampus dulu, saya ditulis besar-besar sebagai manusia dengan multiple personality disorders. Beware!
Walau begitu, saya merasa kepribadian ganda saya lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Saya merasa saya lebih well-equipped dan tidak mengandalkan kalimat ajaib seperti, "ya, saya kan perempuan...."

Tulisan ini dibuat setelah mendengar komentar tetangga yang berkata kalau Hikari terlalu lembut untuk ukuran anak laki-laki. Apa anak mereka harus ditabok dulu oleh Hikari hanya untuk membuktikan kalau Hikari itu anak laki-laki? Hekhekekek.....

Take a break

I'm taking a break for a week or so.
Hikari is down with sickness again.
I'll miss you too.
See you later.

Kebiasaan...

Seorang teman perempuan saya yang punya dua orang anak perempuan seumur SD bercerita tentang kebiasaan telanjang suaminya. Huss! Jangan ngeres dulu. Ceritanya begini nih...

Suaminya itu ternyata anak bungsu dari 4 bersaudara. Dia laki-laki sendiri. Di rumahnya dulu, dia sama sekali gak jengah kalo liat sodara-sodaranya keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk, atau melihat sodara-sodaranya di rumah hanya bercelana pendek dan kaos kutang (itu loh kaos oblong yukensimaiketiak). Maka, ketika dia sudah menikah dan mempunyai anak, yaaa... dia pun cuek aja keluar kamar mandi dengan handuk kecil menutupi.... engg... yang harus ditutupi itu. Dia juga cuek bercelana kolor dan bertelanjang dada di rumahnya sendiri. Saking cueknya, dia gak bakal ganti dandanan kalo keluarga istrinya (mertua, ipar, dsb) datang ke rumahnya. Yang jadi masalah besar: istri dan keluarga istrinya termasuk yang segala apa tertutup. Boro-boro keluar kamar mandi pake handuk doang, wong ganti baju aja gak mau di kamar yang sama dengan suami/istrinya! Jadi, kebayang dong gimana merah padamnya wajah mertua atau ipar setiap kali bertandang ke rumah teman saya ini...

Lain ladang lain belalang, lain rumah lain juga cara telanjangnya kan? Hehehe...

Saya, walaupun gak se-ekstrim suami teman saya itu, juga termasuk orang yang gak suka bawa-bawa baju ganti ke kamar mandi. Maka, bathrobe menjadi teman saya. Cukup aman kan? Kalau anda bagaimana?

Tapi suatu kali pada jaman dahulu kala saya pernah punya pembantu yang benar-benar asli baru datang dari kampung. Pembantu saya itu masih remaja, berumur 16-an tahun. Lagi heboh-hebohnya. Problemnya, di kampung pembantu saya itu belum ada MCK umum, apalagi pribadi. Jadi, setiap mau mandi, mereka akan beramai-ramai pergi ke sungai. Dress code-nya? Kain DOANG! Begitu sampai di rumah saya, hari pertama dia mau ke kamar mandi, terjadi kegegeran. Kedua adik saya menjerit histeris! Si Mami pun tergopoh-gopoh berlari ke kamar mandi belakang. Ternyata.... Si pembantu sedang mandi ala pinggir kali, berbelit kain sambil ngejogrok di lantai kamar mandi dan mengguyur badan pakai gayung dengan pintu kamar mandi terbuka... Makanya, saya gak heran ketika seminggu yang lalu saya mendapatkan si Mami sedang melakukan training cara mandi yang baik dan benar kepada pembantu baru kami.

Ladies Racers

Saya sedang terbirit-birit menuju kantor. Jalanan selebar dua setengah mobil itu sebenarnya sepi. Sepi mobil, maksudnya. Belum tentu sepi sepeda motor. Dan, siang itu hati saya yang sabarnya sedalam pantai teluk Jakarta sedang diuji karena sepeda motor yang berjalan genit di depan saya benar-benar minta dicolek pake pentungan!

Si pengendara dan penumpangnya sama-sama perempuan. Umur sekitar early twenties. Gak tau ya kalo mereka sebenarnya 13 tahun tapi berwajah 30. Dua-duanya berambut panjang yang tentu saja tak pakai helm. Dua-duanya berkaca mata hitam ala mata laler. Dua-duanya memakai celana jins ketat dan t-shirt beberapa size lebih kecil dari size asli badan mereka. Yang paling parah, otak kedua orang itu rasanya juga sama-sama bocor. Wong, saya bolak-balik klakson supaya minggir, eehhh... mereka malah ketawa genit cekikikan sambil megal-megol di depan saya. Gila kali lu ye. Gue pan perempuan JUGAAA!!!

Rasa kesal saya pada para Ladies Racers di jalan sepanjang 15 kilometer antara Tol Jatiasih dan Kranggan, Cibubur, sudah benar-benar sampai di ubun-ubun. Kalo kesal dengan para laki-laki pengendara motor itu sih sudah biasa. They are really a hopeless case deh. Tapi kelakuan para perempuan bermotor ini benar-benar membuat saya jadi sexist.

Coba cek ini:
1. Mereka gak bisa membedakan jalur kiri dan kanan.
Mungkin karena motor tidak seperti mobil yang bisa gampang dibedakan setir kanan dan kirinya, para racers ini kadang seenak jidatnya menentukan di sisi mana dan mau kemana mereka berjalan. Jangan heran kalo tiba-tiba mobil kita berpapasan dengan mereka dari arah yang berlawanan. Jangan heran lagi kalo mereka biasanya hanya melirik pengemudi mobil yang mencak-mencak sambil tersenyum 'Ya? Ada apa?'

2. Mereka gak pernah pakai helm.
Parah ini! Karena yang terjadi adalah begini: Gak pake helm -> Rambut berantakan kena angin -> Tangan sibuk ngerapihin rambut -> Setang lupa dipegang.

3. Mereka berpikir Batita itu salah satu aksesoris motor.
Nyetir motor pake tangan kiri sementara tangan kanan menggendong seorang bayi adalah pemandangan jamak. Seringkali si bayi diberdirikan di depan mereka, seperti adegan di film Titanic.

4. Mereka berpikir suara klakson nyuruh 'MINGGIR EUY!' adalah salah satu bentuk kekaguman.
Jadi, pasrah saja lah kita. Jangan kan minggir, mereka malah tersenyum-senyum genit kok. (Kejadian berulang kali pada saya)

5. Mereka hanya tau satu cara mengendarai motor.
Kecepatan 20 kmp. Posisi agak ke tengah jalan. Lampu sen menyala terus (sen kanan atau kiri, gak penting). Kalo dikasih tanda mau disalip, jalannya makin ke tengah.

Rasanya saya pengen nggaruk mereka pakai buldozer....

Seleb-bor

Saya selalu iri dengan para selebriti-pertemuan-pertama. Itu loh manusia-manusia yang bahkan pada pertemuan pertama selalu bisa tampil PD, talkative, dan SKSD. Maklum, walau saya ini karismatik dan mempesona, saya selalu mati gaya pada pertemuan pertama. Yang terjadi, saya akan berlaku diam, kalem, tenang, dan sedikit anggun. Buat para pemirsa, mereka biasanya berpikir saya -boro-boro anggun dan kalem- judes bin sombong gak mau gaul. Teman-teman saya di tahun pertama -baik SMP, SMA, maupun kuliah, atau kerja- pasti nandain banget penyakit saya ini. Malah, pada pertemuan pertama dulu kakak ipar saya pernah bilang ke Papap kalau saya sok jaim banget. Tentu saja setelah itu Papap yang baru mikir bahwa dia sudah salah strategi dengan berterus terang pada saya harus menghabiskan waktu berbulan-bulan merayu. Kadang-kadang, saking saya tahu penyakit mati-gaya-berlanjut-bisu saya itu, saya jadi malas setor muka pada acara pertemuan-pertemuan. Saya butuh waktu agak panjang untuk bisa menampilkan diri saya yang sebenarnya, ya yang karismatik dan mempesona tadi. Tapi, gara-gara penyakit ini, saya malah jadi selebriti baru di sekolah Hikari.

Hikari masuk sekolah kan pada pertengahan semester pertama kemarin. Ternyata, bukan hanya dia yang jadi anak baru, saya pun jadi anak baru di kalangan ibu/bapak/baby sitter pengantar anak-anak di sekolah. Dasarnya saya juga telmi dan rada bocor urat sensitifnya, setiap hari saya hanya anter Hikari lalu pulang lalu jemput lagi siang. Gak ada acara kongkow-kongkow bin ngerumpi dengan ibu/bapak apalagi baby sitter yang lain. Acara senyum-senyum? Boro-boro. Wong saya ini walaupun mempesona ya sering gak tau harus senyum dengan siapa. Maka, saya pun mendapat imej baru:
"Itu anak baru ya?"
"Iya. Dia baru dateng dari Jepang. Ibunya itu yang tiap hari anter jemput pake mobil ijo tapi gak pernah noleh ke kita-kita tuuuh."

Sialnya saya, laporan begini bukan dateng ke saya duluan. Malah si Mami yang kebetulan sekali-kalinya kebagian jemput Hikari ke sekolah yang denger berita begini. Akhirnya pun bisa ditebak.
"Makanya kamu itu bergaul."
"Aku gaul kok. Tanya aja sama satpam-satpam. Mereka pasti tau aku."
"Kamu itu kalo dibilangin! Kamu harusnya bergaul sama ibu-ibu yang lain supaya kenal."
"Emang penting ya?"
"Paaaah, ini anaknya dinasehatin kenapa!!!"

Ortu vs Eyang

Ya udah, saya ngaku deh. Judul aslinya memang Saya vs Mami-Babe. Sebuah lagu lama yang dimulai sejak saya hamil sampai detik ini.

Kemarin sore, cuaca cerah sedikit gerah. Saya dan Hikari sedang tertawa-tawa setelah menonton petualangan keluarga Thornberry di tivi. Hikari sedang berluberan imajinasi dan sibuk mengubah dirinya (dan diri saya) menjadi Eliza yang sanggup berbahasa binatang dan menyuruh saya berakting sebagai ibunya Eliza yang tukang potret (okey, saya pikir saya bisa melakukannya). Lalu, karena film sudah selesai dan waktunya Hikari untuk mandi, kami pun keluar kamar dan bergerak menuju kamar mandi di lantai bawah. Kemudian detik selanjutnya benar-benar di luar dugaan...

Saya berada satu anak tangga di atas Hikari ketika tiba-tiba Hikari melakukan gerakan meloncati dua anak tangga sekaligus. Tentu saja dia terpleset.

Tubuh Hikari terguling-guling tiga perempat tangga yang tinggi dan keras. Saya cuma bisa menjerit Histeris.

Sampai di anak tangga terbawah, Hikari terdiam sedetik sebelum kemudian menangis kencang-kencang. Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi dia. Selain memar-memar, Hikari baik-baik saja. Gak demam, gak muntah, gak pingsan. Saya malah yang hampir pingsan melihatnya.

Jeritan saya membuat si Mami berlari dari kamar mandi dan si Papi berlari dari halaman depan. Kedua orang itu -dalam proses berlari menuju kami- masing-masing menabrak-nabrak pintu dan tembok. Jadi, bayangkan suasana hati mereka. Sudah kaget, benjol-benjol, lalu melihat cucu semata wayang kesayangannya jatuh dari tangga. (Gak heran kalau satu jam kemudian, kedua adik saya, seluruh keluarga besar saya, sudah dengar kabar jatuhnya Hikari.) Maka, saya pun habis diomeli. Bayangkan suasana hati saya: melihat anak sendiri jatuh dari tangga, sibuk mengecek lukanya, dan diomeli tak berhenti.

Tapi, diantara chaos itu saya sempat nyengir sendiri mendengar komentar-komentar sekeliling saya. Ketika kabar itu didengar tante/om saya dan teman-teman si Mami yang sudah jadi Eyang juga, mereka akan bilang, "Memang IBUnya kemana? IBUnya lagi ngapain?"
Kalau kabar itu didengar tante/om/sepupu/kerabat/teman saya yang berstatus Orang Tua, mereka akan berkomentar langsung ke Hikari dan berkata, "HIKARI, kalau di tangga gak boleh main-main ya! Gak boleh lompat-lompat!"

Memang, kedua status ini mempunyai cara pandang yang berbeda. Gimana gak ribut melulu?
Harusnya saya benar-benar jadi keluarga Thornberry aja yang semau gue itu. Nngg... rasanya malah tambah ribut gak sih kalo si Mami dan Babe ngeliat cucunya gue cebur-ceburin di lumpur....?

Iklan dulu...

Kalo Hikari sedang asyik manteng di salah satu stasiun tv yang punya beragam film-film kartun, dan kemudian Eyangnya memindahkan saluran tv tadi, dia pasti akan berteriak, "Eyang, aku mau lihat (nama stasiun TV itu)..."
Entah kenapa, jawaban Eyangnya selalu sama, "Lagi iklan." Yang artinya menghalalkan pemindahan channel.

Dua hari yang lalu, saya sedang menceramahi Hikari tentang sopan santun di kelas. Laporan wali kelasnya menyebutkan 'Hikari lebih senang main balok daripada belajar Iqra. Kalau dipaksa, dia akan ngumpet di bawah meja guru.' Ini jelas gen bapaknya.

Selagi saya sibuk menceramahi, Hikari membentuk tanda X dengan kedua tangannya. Tandanya Time-Out. Katanya, "Berhenti dulu, Ma. Mama iklan dulu ya. Hikari mau main dulu nih."

Keki juga tiada guna...

Blogger Templates by Blog Forum