Showing posts with label Just me. Show all posts
Showing posts with label Just me. Show all posts

Orang-orang Yang Teraniaya (Panjang nih!)

Ceramah ustadz saya yang paling berkesan buat saya adalah soal doanya orang-orang teraniaya. Kata Pak Ustadz, "doanya orang-orang yang teraniaya itu makbul. Dikabulkan Tuhan."
Sampai gede, becandaan saya dengan teman-teman adalah, "Coy, aniaya gue dong. Gue lagi butuh rejeki berlimpah nih."
Atau kalau hidup serius lagi susah dan saya benar-benar sedang dianiaya orang (atau orang-orang), kalimat penyemangat saya nomor wahid jelas adalah, "Gue ikhlas kok teraniaya begini. Mudah-mudahan doa gue mau keliling dunia terkabul."

Belakangan ini, kalau teman-teman saya bikin saya emosi sedikit, saya bilang ke mereka. "Eh, elo-elo pada udah menganiaya gue tau! Moga-moga doa gue terkabul."
"Doa apa elu?" tanya teman-teman saya.
"Doa mau beli mobil baru."
Herannya, setelah itu mereka langsung baik sama saya. Enggak mau menganiaya saya lagi.

Tapi benar. Saya memang butuh doa beli mobil baru itu terkabul. Ini rekor mobil mogok saya sudah melebihi batas kenormalan sebuah mobil doyan mogok sekalipun. Hmmm... sebenarnya, mogok bukan kata yang tepat. Meleduk! Itu baru kata yang tepat.

Mobil sedan hijau jijay jreng metalik buatan Korea tahun 2006 itu sebenarnya masih kinclong dan mulus lus lus lus. Catnya pun baru. Tapi, penyakitnya adalah gampang panas. Radiator pun jadi mendidih dan... Bleduk! Atau kalau tidak langsung bleduk, biasanya ada suara seperti orang kentut panjang dan kencang lalu dari balik kap mobil keluar asap putih tebal... ppppsssssshhhhhh....

Pertama kali radiator saya meleduk itu tahun 2004 akhir. Rumah saya masih di Halim dan saat itu jam pulang kantor saya lewat di Kebon Nanas. Jalanan macet total. Saya masuk ke jalur lambat yang cuma cukup satu mobil. Tiba-tiba di depan kantor kementrian hidup, ada suara PPPSSSSSSSHHHHHHHHH kencang. Lalu BLEDUK! Kap saya terangkat ke atas. Untung... masih untung kap itu terkait jadi gak langsung njeplak.
Kontan mesin mati. Dan selama hampir semenit kemudian, saya yang tidak pernah mengalami mogok mobil cuma bisa bengong bego. Tidak lama, supir taksi Blue Bird di belakang saya keluar dari taksinya dan tanpa diminta mendorong mobil saya ke dalam halaman kantor Departemen PU dan meninggalkan saya disitu. Teman saya yang diceritain langsung memuji si supir.
"Duh, untung dia baik ya. Gak pamrih gitu."
"Ya, iyalah. Kalo dia gak ngedorong, dia juga gak bisa lewat kali!" kata saya sewot.
Moral of the story: satu kebaikan seringkali ada motif pribadinya juga.

Setelah itu, saya meninggalkan si ijo kinclong itu di Jakarta selama 2 tahun. Pulang dari Jepang, si ijo yang sudah tidak kinclong di cat baru dan didandani rapi lagi. Tapi, penyakit dia belum mau hilang juga.
Pada suatu malam, si ijo panas lagi di antara kemacetan parah di depan Plangi. Papap buru-buru mematikan mobil dan dalam sekejap kami jadi bahan caci maki orang se-Jakarta. Hikari segera terkena panick attack. Dia langsung rewel dan menangis. Si Papap yang sudah gerah diomelin orang, makin naik pitam mendengar tangisan Hikari. Saya lalu memeluk Hikari dan bilang, "Hikari berdoa dulu ya. Supaya di dengar Allah. Dan mobilnya bisa jalan lagi."
Bukannya sok agamis. Saat itu saya juga sedang men-sugesti diri sendiri. Kali aja...
Hikari lalu berdoa kencang-kencang. Dia yang cuma hapal 3 ayat pendek mengulang-ulang doanya. Serasa ada pengajian di mobil mogok kami. Eeeeehhh, ajaib! Tidak lama kemudian, suhu radiator turun dan Papap bisa melipir ke kiri masuk ke dalam pompa bensin! Bahkan kami bisa pulang sampai di rumah dengan selamat tanpa di derek!

Sejak itu, saya kenyang dengan radiator yang demam terus. Bolak-balik bengkel, bolak-balik mogok juga. Rute dari Rawamangun sampai Cibubur sudah pernah saya mogok-i. Terakhir, seminggu lalu, radiator saya demam lagi pas sedang macet-macetnya menjelang gerbang tol TMII pas saya punya janji dengan klien! Saya melipir ke kiri tol, mematikan mesin, dan menyalakan lampu sen kembar itu. Mobil di belakang saya spontan mengklakson galak yang saya balas klakson lagi. Kalo cuma modal klakson, gue juga bisa! Saya segera telpon si Papap di kantor yang langsung memberi instruksi.
"Buka kap mobil."
Saya buka.
"Kamu keluar dulu."
"Aku keluar?"
"Ya iyalah. Ngeliat rusaknya gimana kalau gak keluar?"
Saya keluar dengan enggan. Benar saja. Dari balik kaca-kaca mobil yang lewat, saya bisa merasakan tatapan mata orang-orang. Gue pake kemeja ungu mengilat harus ngebuka kap mobil warna ijo ngejreng gitu loh! Seorang laki-laki penumpang di mobil Terios membuka kacanya setengah dan memperhatikan saya. Spontan saya melotot.
"Apa liat-liat, Pak?!"
Dia langsung menaikkan kaca mobilnya. Tapi saya lupa. Kan jalanan lagi macet. Jadi mobil itu gak bisa kemana-mana juga selain manteng di sebelah saya....

Begitu kap mobil dibuka, Papap langsung bertanya lewat hp.
"Ada yang kebakar?"
"Gak."
"Kipasnya nyala?"
"Gak."
"Mesin nyala gak?"
"Gak."
"Iya makanya kipasnya gak nyala."
"Lah?!"
"Coba cabut sekringnya yang itu."
Saya cabut.
"Liat kaki-kakinya. Meleleh?"
"Iya. Sedikit." Padahal sumpah! Saya gak tau yang namanya sekring meleleh tuh harus kayak gimana.
"Ganti aja. Ambil di bla bla bla..."
Saya ganti sekringnya.
"Nyalain mesin deh."
Saya nyalain mesin.
"Nyala kipasnya?"
"Gak."
"Coba tekan-tekan si sekring."
Saya tekan-tekan. "Gak nyala."
"Tekan yang keras."
Saya tekan keras-keras. "Gak nyala."
"Pukul-pukul."
"Gak nyala."
"Kamu udah pukul-pukul belum?"
"Udah."
"Pukul lagi."
"UDAH! Mau sapa lagi yang aku pukul sini?!"
Singkat cerita, mobil saya harus didorong dua petugas tol sampai ke luar tol TMII. Begitu mereka selesai mendorong, saya kasih mereka uang 70ribu perak. Pas saya cerita ke Papap, dia menjerit.
"70 RIBUUUU?! BANYAAAAKKK bangeeeet!!! Kasih 20 aja buat berdua!"
"Orangnya udah jalan, Babe! Masa mau aku panggil lagi trus suruh ngasih kembalian?!"
Untuk balas dendam, cerita saya ngasih petugas tol 70 ribu diulang-ulang Papap di depan khalayak ramai yang semuanya kontan berteriak, "begoooooo banget sih loooo!"

Kalau anda pikir cerita mogok yang itu sudah klimaks, saya kasih cerita mogok sebelumnya.
Pulang kantor jam 5an sore juga, saya berdua teman kantor, perempuan, lagi sibuk ngegosip sewaktu sudut mata saya melihat jarum penanda suhu radiator bergerak naik. Saat itu macet memang dan saya sedang ada di jalur kanan di lampu merah Penas-Halim. Seorang Polantas sedang sibuk mengatur mobil di lampu merah supaya tidak saling serobot. Saya jelas langsung menyerobot ke kiri.
Baru saja sampai di kiri setelah belokan arah Kalimalang ke Cawang, asap keluar dari bawah kap mobil. Mesin saya matikan, sen kembar dinyalakan, dan saya duduk bengong berdua teman saya. Segera saja perempatan yang sudah macet, jadi tambah macet. Mungkin anda salah satu dari orang-orang yang sore itu kena efek macet akibat mobil mogok saya...

Belum 5 menit duduk di dalam mobil dengan kaca ditutup seluruhnya. Seorang preman mendatangi saya. Dari luar sisi teman saya, dia berteriak-teriak.
"Mogok ya? Mogok ya?"
Teman saya bergidik ketakutan. Saya belum sempat bereaksi begitu dia tiba-tiba berseru, "ada polisi!" Lalu kabur.
Mendengar kata polisi, saya dan teman saya jelas gembira. Tapi kok 5 menit lewat, si polisi gak datang-datang....

Agak lama kemudian, seorang polantas datang dari arah depan. Saya senaaaaang luar biasa. Begitu berada di dekat mobil, saya melongokkan kepala, polantas itu menggerak-gerakkan tanganya menyuruh saya maju. Heh?
"Maju, Bu!"
Maju? Wah, dodol juga nih!
"Mogok, Pak!"
"Mogok?"
"Iya."
"Oh." Lalu si bapak pergi begitu aja.
Sialaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnn....!!!

Kami menunggu lagi. Agak lama.
Tiba-tiba jendela teman saya diketuk. Polantas yang berbeda melongok disitu. Saya sudah hilang girangnya.
"Bu, jangan parkir disini. Ini kan pas belokan."
Saya menarik napas panjang. Panjaaaaaaang.
"Paaaaak, kalau mobil saya enggak mogok, SAYA KAN GAK BAKAL PARKIR DISINI!"
"Tapi ini macet."
"Pak, saya juga tahu ini macet! Mobil ini mogok! Radiator saya kepanasan."
"Tapi mohon pengertiannya, Bu. Yang dimarahin orang-orang bukan Ibu. Tapi saya."
"ASTAGA SI BAPAK! Saya juga minta pengertian Bapak dong! Memangnya saya mau mogok? Siapa sih yang mau mogok?"
Setelah beberapa kalimat naik darah berikutnya....
"Kalau memang mogok, saya panggilkan derek."
Hah? Jadi dari tadi si bapak gak percaya kalau saya mogok?!
"Saya lagi nunggu bengkel saya datang. Tapi kalau Bapak mau panggil derek, silahkan."
Dia manyun. Lalu berjalan ke arah lapo-lapo di pinggir jalan arah terowongan Cawang. Dia memanggil beberapa pemuda tanggung.
"Tolong dorong itu!"
Ya ampuuuuuuuun, kenapa gak dari tadi sih?!

Mobil saya pun di dorong ke pinggir. Ada tempat kecil yang cukup untuk parkir di depan tumpukan sampah. Di kiri saya ada warung minuman kecil, di kanan saya ada warung lapo. Saya langsung mengirim sms ke Papap dan kedua adik saya mengenai lokasi parkir saya yang baru. Sms itu ditambahi embel-embel: Buruan! Banyak preman disini!
Baru sedetik disitu, seorang preman besar, item, dengan kaos merah buntung dan celana pendek, dan udel yang kemana-mana mendekati kaca saya.
"Woi! Parkir jangan disini! Ini tempat angkot. Parkir tempat lain!"
Kali ini darah saya benar-benar mendidih. Jendela saya buka...
"MOBIL GUE MOGOK! BUKAN PARKIR! KALO MAU PROTES GUE BERHENTI DISINI, PROTES TUH SAMA POLISI YANG ITU!"
"TAPI INI BUKAN TEMPAT PARKIR!" balas dia.
"KALO GITU, SITU DORONG INI MOBIL SAMPAI KE POM BENSIN ANGKATAN DARAT DI DEPAN! SEKALIAN PANGGILIN PROVOSTNYA! ATAU SEKALIAN DORONG KE HALIM BIAR GUE LANGSUNG PULANG!"
Teman saya memegangi tangan saya kencang-kencang.
Si preman memelototi saya. Saya pelototi lagi. Sambil ngomel pakai bahasa daerah, dia pergi. Teman saya merepet panjang pendek. Dia menunjuk-nunjuk sekumpulan pemuda tanggung di dekat situ yang sedang memperhatikan saya ngamuk-ngamuk. Saya sudah keburu panas. Saya keluar dari mobil, membuka kap mobil, sambil pasang tampang melotot ke orang-orang disitu.

Kap mobil terbuka dan saya yang jelas-jelas gak ngerti soal mobil berniat membuka tutup radiator. Belum sempat tangan saya membuka tutup radiator, seorang laki-laki tua melarang saya.
"Jangan, Mbak! Jangan! Nanti muncrat!" katanya dengan logat Jawa medok.
"Sini Mbak saya bukain." Dia langsung menyuruh preman-preman tanggung yang dari tadi memperhatikan saya untuk mengambil lap dan air mineral dari warung.
"Nanti muncrat, Mbak."
Dengan baik hati, dia membuka tutup radiator, mengisi tempat coolant dengan air, dan panjang pendek menasihati saya akan bahayanya radiator yang panas. Tanpa aba-aba, pemuda-pemuda tanggung yang tadi bergerombol di depan warung, ikut memeriksa mobil. Kelihatan sekali, Pak Tua itu adalah komandan mereka.
"Maaf, Pak," kata saya. "Saya jadi parkir disini."
"Ah, ndak apa-apa, mbak. Wong mogok'e."
"Ya saya kan enggak enak. Tadi orang sebelah udah marah-marah begitu."
"Dia?!" kata Pak Tua menunjuk si Preman buluk tadi.
"Saya ini Arema, Mbak! Dia ndak berani macem-macem, Mbak! Mbaknya ndak usah takut! Mbaknya asal mana?"
Saya sebutkan daerah Ibu saya yang sudah ratusan tahun tidak pernah saya singgahi.
"OOOhhh, kita saudara, Mbak!"
Darimana saudaranya juga saya enggak paham. Jaraknya aja bisa beda halaman peta sendiri. Tanpa ragu, Pak Tua itu langsung nyerocos dalam bahasa Jawa kepada saya.
Mati gue! Saya cuma cengar-cengir.
"Nama saya Mangunlaksono, Mbak. Kalau ada apa-apa disini, sebut nama saya saja."
Saya menangguk-angguk.

Tiba-tiba saya mendengar suara motor di rem. Sesosok laki-laki berhelm, jangkung, menghentikan motornya tepat di dekat mobil dan bergegas melompat dari motornya.
"HEI, MINGGIR SEMUA! GAK USAH DEKAT-DEKAT MOBIL. MINGGIR SEMUA. MINGGGGIIIRR!"

Saya bengong sedetik. Laki-laki itu membuka helmnya.
"PERGI SEMUA! MACEM-MACEM LO YA!"
Saya berkacak pinggang di hadapan dia.
"DODOOOOOLLLLL!" kata saya ke adik saya. "Premannya bukan yang iniiiiiiiiii!"

The Last Green Leaves

I left you when the last warm wind blew from the mountains.
You were standing from a far, watching, until my back disappeared at the corner of the street.
Your eyes were tears and you waved in silence.
But, you didn't say goodbye.

I left you when the last sound from the last student in the classroom slowly disappeared.
You sat down in front of me, watching, until my eyes couldn't hold the tears anymore.
Your glasses slowly blurred.
You told me you were afraid you wouldn't have the chance to meet me again.
You knew it would break my heart but I knew it broke your heart more.

I left you when I could still feel the warmth of your palms.
You made me promise things I wasn't sure I could keep.
Your loving smile did nothing to hide the teary eyes you had.
I wore my biggest smile for you but you knew how much I faked it.
Then we both fell to a silent cry.

I left you when the first cold air brushed our face.
You stood a meter away from me trying to grasp everything.
When I hugged you, you wouldn't let me go.
And after that we didn't know whose tears were on our face.

I turned my back from you and got on that bus
when the last green leaves fell to earth.
You knew how much I wanted to turned back again and ran to you
for I didn't want to leave.
But you also knew it was not my call to make, nor yours.
And the bus door closed when I closed my eyes in tears.
I thought home was the right way to go, but I knew I was home already.

Nobody told me it was this difficult.
Three years passed and I'm still longing for you.
I keep telling myself that time will teach me to forget.
Somehow I want it to fail this time.

You.
Please wait for me.
I will come no matter what.
Or how long it will take.
And I will curse anyone who tell me I can't.
I miss you.
I promise you that.

Apa Arti Celana Dalam Anda?

Kirimkan lah celana dalam perempuan, syukur-syukur ditambah dengan bra sekalian, kepada sekelompok laki-laki. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar kelompok itu akan marah karena kumpulan perasaan yang timbul akibat kiriman tersebut: Rasa malu, rasa dihina, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci, rasa dianggap penakut (atau malah pengecut?), rasa dianggap cengeng... apa lagi?

Lalu, buat eksperimen kedua.
Kirimkan lah celana dalam laki-laki, nggak perlu pakai kaos dalamnya, kepada sekelompok perempuan. Apa yang akan terjadi?
Karena saya merasa otak perempuan sangat kompleks, kemungkinan yang terjadi bisa ribuan: potret bareng dengan si celana dalam dan menaruh fotonya di fesbuk dan/atau di blog, mungkin menjual celana dalam itu, memberinya pada suami atau pacar, mem-pigura celana dalam itu untuk kenang-kenangan, bengong lebih dari satu menit dihadapan si pemberi sambil membatin apa maksudnya.

Apa maksudnya memberi celana dalam laki-laki kepada sekumpulan perempuan? Pasti bukan untuk menimbulkan rasa malu, rasa dipermalukan, rasa dianggap banci/cengeng/penakut/pengecut. Seperti juga rokok, stelan jas (yang dipakai perempuan), saya anggap celana dalam laki-laki dianggap sebagi simbol keberanian, ke-macho-an, kehebatan, kekuatan.
Dengan menggunakan analogi tersebut, saya anggap pemberian celana dalam laki-laki kepada sekelompok perempuan adalah simbol pujian. Perempuan-perempuan hebat yang kuat, mungkin begitu maksudnya. Jadi, sebaliknya memberi celana dalam perempuan kepada sekelompok laki-laki berarti simbol penghinaan. Bukan begitu?

Tidak logis? Mengada-ada? Mencari-cari korelasi? Dibuat-buat? Dihubung-hubungkan?
Terserah.
Toh saya punya contoh. Baca lah berita tentang sejumlah LSM yang memberikan bra dan G-string merah untuk pansus Century DPR. Apa maksud mereka? Apa persepsi anda terhadap benda-benda yang dijadikan simbol itu? Apakah pemberian bra dan G-string itu dimaksudkan sebagai penghargaan atas keberanian para pansus Century?

Membaca komentar ini, saya yakin bra dan G-string bukan sebuah simbol positif:
"Idrus Marham sebagai Ketua Pansus tidak boleh diintervensi. Kalau sampai diintervensi, pakai saja bra dan celana dalam ini," ujar aktivis Kapak, Hendri Tri. -Kompas.com

Bingung.
Apa hubungannya bra dan celana dalam dengan intervensi? Jangan-jangan para pemberi hadiah itu ingin meniru Soe Hok Gie yang memberi hadiah lipstik, cermin, dan beberapa barang kewanitaan lainnya untuk teman-temannya di DPR.

Pada 12 Desember 1969, Hok Gie bekerja sama dengan teman-temannya mengirim paket "Lebaran-Natal" kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di DPR-GR. Paket itu berisi lipstik, cermin, jarum, dan benang, disertai surat kumpulan tanda tangan dengan pesan, "Bersama surat ini kami kirimkan kepada anda hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR. Bekerjalah dengan baik, hidup Orde baru! Nikmatilah kursi anda—tidurlah nyenyak! Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan exdemonstran '66" (halaman 364).


Well, saya pikir para pemberi celana dalam perempuan itu masih harus belajar banyak dari Soe Hok Gie. Bukan itu saja, saya pikir mereka juga harus belajar lagi tentang arti penghormatan dan penghargaan terhadap jender perempuan. Coba, mau enggak mereka mengirimkan jenis dan merk celana dalam dan bra yang sama dengan yang dipakai oleh ibu mereka ke anggota pansus? Apakah mereka akan berkomentar sama dengan yang mereka katakan kepada Pak Idrus Marham?
"Pakai saja bra dan celana dalam ibu saya ini, Pak."

-tulisan ini dibuat karena kesal setelah membaca status FM di fesbuk. I agree with you, Nek. Stupid is what a stupid does (Forrest Gump)-

Hot, Food, Cook

Generasi Mami saya mungkin tidak pernah membayangkan seorang perempuan, cantik, seksi, mungkin pintar, seperti saya Farah Quinn bisa menjadi presenter acara masak-memasak di tivi. Sejak munculnya stasiun tivi swasta di Indonesia, presenter acara masak-memasak yang punya tugas untuk mengajari ibu-ibu di rumah memasak biasanya berbentuk seorang ibu-ibu yang -maaf- agak overweight dan dari cara megang sendok aja sudah kelihatan dia tukang masak andal. Lalu setelah era ibu-ibu itu, muncul presenter masak berbentuk laki-laki berotot dan berjari lihai yang selalu menyapa pemirsa dengan kenes, "Halooo, ibu-ibu..." seakan-akan hanya ibu-ibu saja yang menonton acaranya. Saya kan juga nonton dan saya bukan ibu-ibu. Waktu itu.

Setelah presenter macam Farah Quinn muncul di layar tivi, berbondong-bondong orang mulai manteng di depan tivi hanya untuk melihat si Farah muncul.
Yang seumur si Mami biasanya mengomentari gaya grogi Farah saat memotong cabe atau mengaduk adonan sehingga menimbulkan prasangka: "Bisa masak beneran gak sih? Kok megang pisaunya takut-takut gitu?"
Yang seumur saya ikut nonton juga sambil komentar soal penampilan makanan yang seringkali tidak aduhai menggemaskan sambil berbaik sangka dengan berkomentar itu adalah kesalahan cameraman-nya atau malah cameranya yang tidak food-friendly.
Yang laki-laki pun ikut nonton tentu sambil berkomentar soal-soal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan.
Acara masak-memasak di tivi bukan lagi jadi acara tempelan sejak kehadiran celebrity chef itu.

Menurut saya, kondisi seperti itu sih sah-sah saja. Kalau saya dan para perempuan lain menggemari penampilan Jamie Oliver the Naked Chef yang menurut saya seksi saat memasak beserta penampilan masakan Jamie, kenapa para laki-laki tidak boleh menggemari Farah Quinn? Seperti para laki-laki itu, saya toh juga tidak perduli pada tujuan utama acara tersebut: supaya bisa memasak. Hitung-hitung hiburan. Daripada menonton acara masak yang tukang masaknya wajib pakai kostum sesuai negara asal masakannya? Apa enggak lebih konyol?

Yang saya kuatirkan sebenarnya adalah sifat latah orang-orang tivi di Indonesia. Saya curiga setelah Farah Quinn akan ada acara masak lain yang tukang masaknya asal perempuan, asal cakep, asal seksi, dan asal masak. Atau, lebih parah lagi, malah mungkin yang akan muncul adalah sosok perempuan cakep seksi ngetop yang enggak bisa masak sama sekali lalu disuruh untuk mejeng di sebelah tukang masak sebenarnya. Kalau suatu saat saya masuk kategori cakep, seksi, ngetop lalu muncul di tivi untuk jadi presenter tempelan acara masak seperti itu, tolong sodorkan postingan ini sama saya ya.

Selain soal latah-melatah, saya juga melihat fenomena lain di jagat acara masak-memasak, yaitu pengkotak-kotakan umat. Umat apa? Umat penonton tivi. Sewaktu saya sedang membahas acaranya Farah Quinn, seseorang menegur saya sambil bilang, "mendingan nonton acara masaknya Dapur Aisyah aja. Setting-an dia itu untuk keluarga, ada bapaknya, ada anaknya dua." Langsung illfeel
Saya kok enggak melihat memasak itu ada hubungannya dengan status KTP seseorang ya? Kalau single dan cosmo-minded, nonton Farah. Kalau family-oriented, nonton Dapur Aisyah. Gitu? Do convince me.

Acara masak-memasak yang saya gemari di tivi itu sendiri adalah acara yang menggabungkan teknik memasak dan penampilan masakan. Tekniknya harus luar biasa. Cara masukin cabe ke penggorengan harus beda sama cara orang biasa saya. Penampilan masakannya juga harus membuat air liur tumpah. Lah kan lewat layar tivi! Karena harum masakannya tidak bisa terasa, ya penampilan masakannya yang harus menggairahkan. Acara-acara masak favorit saya seperti Nigella Express yang memberikan tip dan teknik cara memasak makanan saat kepepet (seperti baru bangun tidur sementara anak-anak sudah minta makan), French Food at Home-nya Laura Calder yang memperlihatkan betapa memasak itu menyenangkan (speak for yourself, kata saya selalu), dan tentu saja Jamie Oliver yang teknik tangan belepotannya malah membuatnya terlihat seksi dan sedap. Saya paling tidak suka melihat acara masak yang presenternya kebanyakan ngomong, atau yang presenternya pakai kostum, atau yang presenternya pakai kostum lalu banyak omong...

Mengingat masakan Indonesia sangat beragam dan uenak-uenak, saya seringkali mengharapkan acara masak di stasiun-stasiun tivi negeri ini bisa sekelas Nigella, Laura, atau Jamie. Apakah Farah Quinn atau Aisyah bisa melakukan itu? Hanya mereka yang bisa jawab. Pada akhirnya, apakah acara itu bisa sukses atau tidak, lama masa tayang atau tidak, ya kembali pada kemampuan si tukang masak. Juru kamera atau kamera secanggih apapun yang bisa membuat penampakan masakan sangat menggairahkan atau membuat presenter seseksi apapun tidak akan bisa menipu indera-indera perasa pemberian Tuhan. Kan katanya cinta itu datangnya dari perut, bukan dari mata. *sambil mikir betapa berbahayanya kalimat itu bila diketahui Papap*


catatan:
-Foto Farah Quinn dari sini dan foto Jamie dari sini.
-Khatam menonton acara memasak bukan berarti anda akan langsung bisa memasak. Korelasi logis seperti itu sayang sekali tidak terjadi di dunia ini. Entah di dunia lain.

Bunga Bulan Desember (Flower of December)


Been couple of days when I spotted a new flower collection at some street-vendor-ish plant nursery shop on the way home from work. It's Bunga Bulan December (Flower of December is the literal translation). I'm not sure its latin name or its official name. It's been years since I last spotted the flower let alone finding it at some nursery shop.

The sight of the flower suddenly brought memories back. It was on one of those rainy days when I asked my Dad about one red flower blooming in our garden. I was sitting behind a glass window watching the rain falling in our garden. It must have been some experience because I can still smell the rain, the wet soil, and I can still picture the wet green leaves and the shape of a red needle-like flower blooming. It's like taking a picture and saving it forever in my head. The only problem is remembering the picture gives me a feeling of longing for the past.

Seeing Bunga Bulan Desember reminds me of my childhood house that I have left but still miss. That house has too many memories -good and bad- that sometimes it's just painful to reminisce. A few years back, whenever I missed the house so much, I would have made an effort to drive past the house slowly. I never had the guts to stop in front of the house, though. I cannot imagine what the recent owners would feel when they see me. I stopped driving past the house after a couple of times. Not because the owners spotted me, but because the painful feelings grew stronger everytime I saw the house and its garden. It was not the house I left some years ago. I couldn't recognize the house and the garden anymore although the building stayed the same and the garden was there. There were just no green, no fresh leaves, no grass, no flowers. It was just bare and brown. I was broken-hearted. The past indeed belongs to the past.

The picture is taken from here and belongs to Januartha.

Bosan juga Manusiawi

Si Mami bilang saya pembosan.
Jelas saya protes!
Saya bilang pada Mami kalau saya ini pembosan nggak mungkin lah saya pacaran dengan Papap sampai 10 tahun dan masih tahan menikah dengannya sampai 7 tahun kemudian. Eh, ternyata kata Mami, dia tidak sedang membicarakan saya dan Papap, melainkan beragam merek pelembab muka yang berjejer nganggur di meja rias saya...

Di luar soal pelembab muka yang memang berjejer nganggur di rumah, saya bisa pastikan saya ini bukan jenis manusia pembosan. Ambil contoh soal pacar. Saya nggak bosan punya pacar Papap sampai 10 tahun. Urusan dia ternyata bosan sama saya, ya, masalah dia toh? Lalu, bagaimana mungkin saya ini pembosan kalau saya masih memakai baju yang saya beli 7 tahun lalu? Ya, kan? Atau sepatu? Saya jarang ganti sepatu selain karena sepatu saya rusak. Karena saya selalu memakai sepatu jenis boots, ya, biasanya lebih dulu sepatu itu berubah warna daripada rusak beneran. Alasan lain, sampai sekarang saya masih bekerja di perusahaan yang sama sejak 11 tahun lalu. Yah, walaupun soal yang terakhir ini mengandung unsur kebodohan sekaligus sentimentil dari pihak saya, fakta terakhir ini jelas mengukuhkan karakter saya yang bukan pembosan.

Bicara soal bosan, si Mami pernah hampir batal puasanya tahun lalu gara-gara pembantu rumah tangganya. Ceritanya si pembantu minta ijin pulang kampung jauh-jauh hari sebelum Lebaran dan bilang ke Mami kalau dia tidak akan balik lagi. Pertanyaan Mami kenapa mau pulang cepat dan nggak balik lagi dijawab singkat oleh si Embak.
"Bosen, Bu."
Kejadian setelah itu lebih baik tidak saya ceritakan demi terciptanya perdamaian dunia. World Peace.

Sekarang, saya mau pindahkan setting si embak tadi ke kantor kita (Iya, kita! Elu juga!). Salah satu alasan kenapa kita berniat pindah kerja adalah karena kebosanan itu. Bosan dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Bosan dengan kolega yang itu-itu aja. Bosan dengan model berantem yang itu-itu aja seperti pada pengalaman pribadi saya. Bosan dengan bos yang itu-itu aja (Bos itu pasti gak pernah dipromosiin). Bosan dengan gaji yang segitu-gitu aja. Bosan dengan lokasi kantor yang enggak pernah pindah ke Bali. Bosan dengan makanan kantin yang dari Senin sampai Jumat nggak pernah berubah menunya. Pokoknya bosan! Pengen ada tantangan! Well, if boredom is human, so is challenge.

Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan 1 juta dollar (karena biaya saya berobat setelah dikeroyok anda rame-rame mungkin bisa mencapai sejumlah itu).
Pertanyaannya: Apakah kebosanan itu sendiri etis dijadikan alasan untuk pindah kerja?
Memang ente tahu di kantor baru ente nggak bakal kena penyakit bosan juga?
Memang ente yakin tantangan di kantor baru akan membuat ente jauh lebih berasa hidup?
Atau jangan-jangan kebosanan itu sendiri sebenarnya adalah wujud ketidak mampuan kita untuk mencari tantangan di pekerjaan kita yang sekarang?
Apakah kita bisa mencari tantangan di pekerjaan yang baru?

Jawabannya jelas balik lagi ke motivasi kita masing-masing saat memutuskan untuk pindah kerja. Bosan nggak bosan, tantangan ada atau enggak, yang penting gaji lebih gede. Misalnya. Bosan nggak bosan, kantor sekarang lebih dekat rumah. Bosan nggak bosan, yang penting gue nggak ketemu muka lu lagi! Dan seterusnya. Semuanya alasan yang manusiawi seaneh apapun motivasinya. Hanya saja, call me old-fashioned, but I value someone based on his/her motive shown by his/her reasoning. Seperti juga si Mami yang langsung me-black list pembantunya itu (yang 2 bulan kemudian minta balik lagi ke si Mami) yang menilai karakter si embak dari alasan yang diucapkannya. Karakter kita pasti akan dinilai orang saat alasan-alasan keluar dari mulut kita.

Balik lagi ke soal bosan. Terkadang kata bosan keluar hanya untuk mencari jalan tersingkat untuk menyediakan alasan. Sementara alasan bahkan masalah yang sebenarnya malah tidak terselesaikan. Bukan begitu?

Walk Away. Or Not.

The four of us were in this gathering. At first, we were just talking about people we knew. Then we mentioned several names who at present were expecting their baby. The conversation grew.
"Oh, ya? So, this is her third?"
A surprise comment from at least the two of us. It turned out that having 3 children these days is considered a risky business...
"I definitely have settled with 2. I cannot imagine having another one," sighed one of us.
Then, one person asked me.
"How about you? When are you having the next one?"
That question actually honestly sounded normal in my ears. Besides, I've been getting used to it.
"Not sure. Not really important."
Then we both giggled.

Suddenly, one person said it in a really serious preaching tone.
"You must not have only one child!"
I was pinched.
"Why not?"
"It's too much for the kid to handle, not having a sibling."
"My son is doing just fine without one. Thank you."
"But, you just cannot do that!"
"Who said I can't?"
"With siblings, a child learns how to share."
"Well, if you are worried if my son cannot share... why can't we gather all of our kids and then watch for yourself if MY SON CANNOT SHARE?"
"BUT, having siblings means a child learns to exercise his feelings of caring, loving..."
"My son is a caring loving person, with or without a sibling."
"BUT, if you only have one child, you have to really treat him well, educate him well, nurture him well..."
"SO YOU ARE SAYING if you have MORE than one child you are allowed NOT to treat them well?"
"BUT... but..."
"So," I asked her in the eyes, "why don't you have a boy? You only have two daughters, right? Why don't you have another baby, and then another, and then another, until you get a boy?"
She blinked. "Don't start asking me that question..."
"Sorry! You did it first."
I walked away.

You know, guys, I could have just walked away pretending -no, ignoring- your whydontyouhavemorechildren question. Usually, I do just walk away. But, you just didn't let me. Besides, did it ever cross your mind that I lost my second several months ago?

Catch me, or else...

Did your office ever hold an outbound program for its employees?

Mine did, a couple of years ago. All of us were gathered from all of the branches all over Indonesia.
There was this game in that program that I remember vividly until now. It's called "Catch Me, Don't Let Me Fall. (Or I'll surely kill you!)". Playing it is actually simple. All you've got to do is to stand on a higher platform with your back facing your friends (or your team members).
After that, you have to let yourself fall backward so your friends can catch you.

The key of this game is to LET yourself fall without having doubts. When you have to fall backward, you have to TRUST your friends that they will CATCH you. The moral lessons of this game are 1) it's a bravery test, 2) it's a trust test. Personally, I think, without Trust, you won't feel Brave. At all.

At that time, some of my team members were hysterical or very cautious, which is understandable because which fool wanted to trust his/her life in the hands of a bunch of people that s/he just met yesterday?
When it was my turn to fall, I did it mindlessly. I wasn't worried a bit that those guys wouldn't catch me. To tell you the truth, though, my lack of worries was not because I knew they cared about me so much that they wouldn't let me fall to the ground. It was simply because (I knew) nobody was stupid enough to willingly take the position of a murderer in front of so many eye witnesses. It's just a basic human psychology. It has nothing to do with Caring.

That knowledge leaves me with a feeling of relief. For me, it shows that even strangers will watch your back although their motive is probably only to keep them off trouble.

Now, put that story in another context. Your office. And your colleagues are your team members. If I may borrow Simon Cowell's voice, my question would be...
"Do you honestly believe that those guys you share the office room with are willing to catch you when you fall?!"

When the answer is no, my suggestion is you start googling for a vacancy.

Oh, eh, you can look at the bright side of the story: when you cannot trust your colleagues, may be you can trust a bunch of strangers.

Growing Old

I was probably just being sensitive. Or overworked.

I can understand why people -strangers- out there called me by Ibu.
"Mau beli apa, Bu?"
"Pesan apa, Bu?"
"Berapa liter, Bu?"
"Loh, Bu, ngapain naik-naik pager?!"
These people are being polite.

And then something started. If I'm not mistaken it had started to happen when I graduated from college and then it has got worst. Whenever I meet or talk to my friends (especially those from my before-life a.k.a high school, college, clubs) they call me by "Ibu".
"Apa kabar, Bu."
"Terima kasih, Bu."
"Kapan ketemuan lagi, Bu?"
"Maen-maen ke rumah dong, Bu."

At first, I thought they were just being polite. Or joking. Or politely joking. But lately, when they started to pop up in my YM and frequently called me Bu, Bu, Bu, Bu generously, I began to get really really annoyed. Like, really annoyed. And what makes me more annoyed is I cannot figure out why they have to call me (or call each other) by Bu.

My friend, Barb, joked that it was by far better than hearing them calling me Pak. Well... But then, she said probably it was just a reminder that we (by this she meant herself!) were not young anymore. I told her I was never obsessed of being young forever. But, come on! Being called Ibu by people you grew up with?!

Now, I guess you have watched Donna's character by Meryl Streep in Mammamia? Honestly, I am so captured by Meryl Streep's way of becoming Donna. Donna is a woman of 40s, I guess, but look how she carries herself. She is so cheerful, so alive, so full of life (and without a bit of regrets). Makes me wonder if I can be that young when I am old.
Donna and her friends are exactly how I pictured myself and my friends in the future. Pictured. With suffix 'd' as in the past tense. With the way they keep calling each other and me Bu and Pak, I guess I have to change the picture of them in the future. My picture stays the same, of course. I'm not ashamed to confess you can picture me growing old like Donna, more or less. So, people, especially if you went to the same school with me, stop calling me Bu!

Well, then, care to tell me about your picture?

Pesta Blogger 2008: Past & Future

Sudah siap ke Pesta Blogger 2008, teman-teman?
Sudah beli baju baru? Booking salon? Nyari PP (Pendamping Pesta)? Minjem peta lokasi pesta? Survey lokasi? Sudah siaaaaaaaap???

Saya belum.

Ada yang berbeda mengenai PB08 ini buat saya pribadi.

Pertama, tahun lalu saya sudah heboh sekaligus deg-degan sendiri jauuuh sebelum pemesanan tiket pesta itu dibuka untuk umum. Tahun ini, sehubungan dengan koneksi internet saya yang byar pet, saya baru tahu tentang pesta ini PAS tanggal pemesanan tiket dibuka! Kok beruntung sekali! Coba bayangin kalau saya tahunya baru bulan depan. Siapa yang rugi coba kalo saya enggak ikutan? (Ya, saya sendiri lah. Itu sudah pasti!)

Kedua, tahun lalu saya dapet undangan *pipi bersemu merah, if that's possible*. Tahun ini... masih untung saya enggak telat daftar!!!

Ketiga, tahun lalu si Nenek FM gak dateng. Tahun ini... Keep on dreaming, yeah, baby...

Keempat, tahun lalu saya datang ke pesta tergesa-gesa dari kantor, kehilangan menit-menit penting pertama, hp jatuh di lantai marmer dingin sampai case-nya bubar berantakan, pulangnya enggak dapat bis. Tahun ini, saya bersumpah tidak akan mau dipaksa masuk kantor! Tidak akan mau berangkat dari kantor! Saya juga sudah menyeret Papap untuk ikut daftar di pesta. Untung dia dapat tiket juga... *lega*

Kelima, tahun lalu saya celingukan di ruang teater yang temaram tanpa tahu mau duduk dimana, duduk disebelah siapa, siapa yang duduk di sebelah saya. Tahun lalu saya benar-benar pejuang solo karir. Tahun ini saya bersumpah tidak mau celingukan lagi! Setidaknya, tidak sendirian! Jadi, saya mengajak rombongan sirkus dengan pemain A, B, C, D supaya saya bisa sok sombong (udah sok, sombong pulak) njelasin ini itu kepada rombongan sirkus saya tadi itu tentang bedanya PB07 dan PB08. Kan mereka anak baru.... Persoalan hari Senin di kantor saya disumpah-sumpahi mereka, saya pikirin belakangan saja.

Sekarang, baru lah saya siap-siap...

What's for the anniversary?

Teman : Hei, De', happy anniversary ya.
Saya : Thanks.
Teman : Candle light dinner dong?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Dirayain?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Ngapain dong elu?
Saya : Ngasih kartu.
Teman : Elu ngasih kartu ke si Babe?
Saya : Iya.
Teman : So sweeeeeeeeett....
Saya : Hm.
Teman : Isinya apa tuuuuh?
Saya : "Selamat tanggal 14. Semoga tahun ini menjadi tahun terakhir kamu lupa tanggal 14."

God is in the office

My life has been like a roller coaster.
Healthy to being Sick
Happy to become Sad
Having some jobs to jobless to having more than I can handle
Having no money to having some, then no money again
Getting more friends to quarelling with a few
After that, people love to tell me how life is like a wheel.
Once you are up, the next time you are down there.
I never think of life that way.
My roller-coaster life is just a proof that God is in the office.
And He is in charge.
And he never takes a leave. Even on holidays.

Happy Eid Mubarak, friends.
Let's renew our faith.
Stronger as years go by...

Buku Baru!

Ada buku baru nih! Beli yak! hehehe...

Sinopsis:

Beter Hair, Better Luck

Andita Soekardi memang bukan si Barbie yang cantik, langsing, dan berambut pirang indah. Ia cuma cewek biasa yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di sebuah institut bahasa asing. Ia cewek normal, impulsif, cerewet, moody, namun baik hati, dan pintar. Ia lumayan pede walaupun berkulit hitam, bertubuh krempeng dan belum punya pacar. Cuma satu yang membuatnya aneh: punya obsesi akut pada rambutnya! Bagi Andita, better hair brings better luck, better love and better life.

Hidup Andita berantakan ketika fotonya masuk ke majalah dan rambutnya disebut sudah out of style. Segala hiburan sahabatnya, Ferry, tidak digubrisnya. Andita malah mendatangi salon tempatnya memotong rambut dengan gaya yang disebut jadul itu, dan menuntut ganti rugi.

Saat menjalani perawatan rambut ganti rugi di salon itulah Andita ketemu Prasta, eksekutif muda ganteng yang lalu jadi curahan hatinya. Kepada Prasta-lah Andita mencurahkan segala unek-uneknya di kantor, proses promosi jabatannya yang bertele-tele, dan nyaris semua cerita dalam hidupnya. Prasta bak Ferry kedua, bahkan lebih.

Tapi kemudian Ricky, sesama pengajar di institut tempat Andita mengajar sepertinya menaruh hati padanya. Jadi, siapa yang harus Andita pilih, Prasta atau Ricky? Apakah benar kondisi rambutnya memengaruhi kehidupan karier dan cintanya?

God's Sense of Humor

Acara makan siang kali ini diisi dengan mengobrol. Antara saya dan seorang kolega yang lebih senior. Saya sedang menceritakan peristiwa yang terjadi hanya beberapa jam sebelum acara makan siang kami itu.

Pagi, sebelum menuju ke kantor, saya duduk berhadapan di sebuah restoran siapsaji siap24jam dengan seorang teman kuliah dulu. Topik yang sedang dibicarakan -apalagi- anak kami dan calon sekolah mereka. Obrolan saya dengan si teman agak kurang konsentrasi karena saya masih terbayang diskusi tanpa hasil antara saya dan Papap tentang rencana pindah rumah kami. "Ternyata memulai hidup baru itu butuh modal, ya," komentar Papap sambil bengong ketika menyadari kalau rumah tujuan-pindah kami itu benar-benar kosong melompong tanpa seciduk beras pun, apalagi furnitur. How can we start living in a house without a single thing (and the money to buy that single thing) but the house itself?!

Kembali ke saat konsentrasi saya melayang di depan wajah teman kuliah tadi, sang teman bercerita bahwa dia mau pindah rumah juga. Demi mencari sekolah ideal untuk anaknya.
"Pindah deket gue aja. Ntar gue nitip antar jemput anak gue ke elu," kata saya sembarangan.
"Boleh juga tuh. Anak gue butuh maenan juga sih," sahutnya polos.
"Sialan lu. Di kata anak gue Lego kali?!"
Dia tertawa ngikik.
Lalu dia melanjutkan. "Tapi pindahnya nanti. Nunggu duit pinjeman dari kantor dulu."
"Oh."
Lalu kami berdua tenggelam dalam lamunan. Melamun tentang duit. Saya lebih memilih melamun tentang Keanu Reeves.

"Inget," kata saya diantara saat-saat bengong kami, "minjem duitnya bukan cuma buat beli rumah. Tapi juga buat ngisi rumahnya."
"Maksud lo furnitur?"
"Maksud gue, beras, gula, sabun cuci-cuci, kompor, kulkas, mesin cuci..."
"Wah bener juga! Kita kan sama-sama pengontrak rumah ortu yang gak berharta sama sekali ya?!" katanya kaget.
Walau agak keberatan dengan kalimat 'pengontrak rumah ortu yang gak berharta', saya gak bisa protes. Kebenaran itu memang menyakitkan. Kami balik lagi tenggelam dalam lamunan.
Tiba-tiba hp teman saya itu berbunyi.

"Laki gue!" katanya sambil menatap saya.
"Ya iyalah. Masa' laki gue yang nelpon elu?"
Si teman menyepak kaki saya dari bawah meja. (Perhatian: ini kejadian betulan yang tidak patut dicontoh)
"Ya, Mas?" jawabnya tiba-tiba kemayu.
"Aku lagi di tuuuuut sama si De'.... iya... he-eh... iya... APA?!"
Jeritannya membuat tamu-tamu restoran di posisi yang berdekatan langsung menoleh ke arah kami.
"SERIUS, Mas?! IYA?! BENER?!"
Saya sepak balik kakinya. Berteriak-teriak lewat hp di restoran sungguh bukan ide yang bagus. Untung telponnya tidak lama.

Begitu hp mati, teman saya meraih kedua tangan saya. Sungguh adegan yang menjijikkan mengingat saat itu kedua tangan saya sedang belepotan cheese burger.
"De', tebak!"
"Ogah."
"Laki gue tadi nelpon."
"Lanjut. Bagian itu gue udah tau."
"Dia bilang pinjeman kantornya udah turun tadi! Dan, jumlahnya lumayan bangeeeeetttt!" katanya sambil tertawa bahagia dengan mata berkaca-kaca.

Balik ke episode makan siang plus ngobrol saya dengan kolega kantor tadi, saya menceritakan kejadian pagi itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Tapi kolega saya tidak ikut tertawa.
"Kamu memang orang yang aneh," katanya tiba-tiba yang membuat saya keselek daging rawon.
"Kalau saya, hati saya pasti sedang berdarah-darah. Bayangin, pas kita sedang minta A sama Tuhan, eh Tuhan malah ngasih A sama orang lain di depan kita. Apa gak nelongso? Kamu malah ketawa-tawa?"

Saya selalu berpikir bahwa Tuhan mempunyai rasa humor yang sangat tinggi, kalau tidak bisa dibilang witty. Dan saya pikir, kejadian pagi itu -seperti juga banyak kejadian lainnya -memperlihatkan rasa humorNya yang memang lucu, yang seringkali membuat saya tertawa-tawa geli sendiri....

Atau memang saya yang aneh?

Hujan dari Masa Lalu

Hujan deras di siang hari Sabtu itu mengaburkan kekinian saya.
Dari balik jendela mobil, saya memandangi tiga sosok anak kecil yang sedang tenggelam dalam keriaan curahan hujan.
Saya pernah merasakan keriaan mereka.
Dulu sekali.

Hujan selalu membawa keriaan buat saya. Lebih besar hujannya, lebih ria diri ini.
Berjingkat-jingkat saya keluar rumah untuk menghambur dan memeluk air hujan.
Begitu air dingin dari langit mengalir ke seluruh tubuh, saya tak perduli pada sosok perempuan bersanggul yang memperhatikan dari balik jendela rumah.

Eyang Uti.
Eyang Uti selalu membiarkan saya menikmati hujan.
Ketika hujan berhenti dan keriaan saya memudar, saya kembali ke rumah.
Saat itulah Eyang Uti akan menyambut saya dengan handuk tebal untuk kemudian menyeret saya ke kamar mandi.
Beliau akan membasuh badan dingin saya dengan air hangat dan menyuci rambut saya keras-keras. Setelah itu, saya akan dipeluknya erat-erat sampai beliau selesai mengeringkan kepala saya.

Bertahun-tahun kemudian ketika saya tak lagi menanti keriaan saat hujan turun, Eyang Uti mengganti sapuan handuk di kepala dan badan saya dengan pijatan di kaki setiap kali saya terbaring di rumah sakit. Setiap kali.
Wajahnya selalu berbicara banyak tentang nasihat yang tak selalu keluar dari mulutnya.
Dan seringkali saya tak mau menatap wajahnya karena saya tak ingin dia nasihati.

Seminggu lalu, ketika napas yang keluar dari dirinya terdengar samar, saya terisak mencium pipinya.
Beliau membuka mata dan memandang saya dalam-dalam sambil tersenyum.
Mama menyentuh saya pelan dan berbisik bahwa Eyang sudah tidak mengenali siapa-siapa lagi.
Saya tak perduli.
Saya mencium pipinya dan meminta ampun padanya.
Eyang hanya tersenyum, dan kemudian kembali tertidur.
Pasrah dan sedih saya mengelus tangannya yang kurus.
Tiba-tiba bibir Eyang bergerak dan mengucap lirih.
"8 Maret, ya?"

Kalimat terakhir sebelum beliau koma.
Dan kemarin Eyang Uti dimakamkan.
Ini ulang tahun pertama tanpa suara perempuan bersanggul yang mengucapkan selamat ulang tahun dari ujung sambungan telpon...

Heaven's Watching over Me

I was lying half awake half fainted.
My head felt like it was twirling around and, yes, it hurt like hell.
The red-and-white pills I got from the doctor didn't help.
My head wasn't feeling better.
I wasn't feeling better.
And I couldn't make myself sleep either.
I felt like throwing up for the hundreth times.
No matter how smelly I had already been.

I was thinking what I needed was a sleeping pill.
But at that time, a shotgun would be welcome too.

The wind brought high-pitched noise from the front of our house.
Children, one is mine, were playing cheerfully.
Remember the song: 'why does the sun go on shining?'
I guessed at that moment I could understand how the writer felt when s/he wrote that song.

Then the noise became so unbearable.
Before that, the light became so unbearable.
So much to sacrifice for the peace of a head.

I raked the bookshelf for my discman.
I needed something to soothe me.
Obviously the pills couldn't.
And I didn't have a shotgun.

I got the discman.
Didn't really care what cd was inside it.
Didn't really have the energy left to think about it.
I plugged the earphone, and pushed the play button.
John Legend was on.


I realize as I lay down to sleep
We haven't spoken in weeks
So many things that I'd like to know
Come have a talk with me
I need a sign, something I can see
Why all the mystery?

Geez... God really works in a mysterious way!
Especially when John came to this part...


Maybe we'll talk
Some other night
Right now I'll take it easy
Won't spend my time
Waiting to die
Enjoy the life I'm living

Dear God,
about the shotgun,
and the curses I said,
I was just joking.
What else can you expect from someone who's suffering from a migraine?
Peace?

note: see the Coffee Break on the left for the complete lyric.

Yang Terbaik

Saya tidak pernah menyangka akan sampai ke persimpangan jalan ini. Saya dibesarkan dan dididik bukan untuk bertemu dengan persimpangan jalan seperti ini. Tapi hidup apa bisa dipertanyakan?

Ketika ada banyak perempuan berperan ganda lainnya tetap bergeming ketika melewati persimpangan jalan ini, kenapa saya tak bisa?

Ketika saya berdoa untuk yang terbaik, dan malah dipertemukan dengan persimpangan jalan ini, kenapa hati berat untuk melangkah?

96 jam lagi saya harus berbelok, apapun yang terjadi dalam hati saya.
Badai yang berkecemuk rasanya tak sepadan dengan kondisi jalan yang mulus.

Yang terbaik, saya tahu, mungkin bukan seperti yang saya lihat saat ini.
Bukan begitu?

Delapan

Buat si Nenek, si delapan ini berupa benjolan. Buat saya, si delapan ini bagai komedo. Tiap orang yang ngeliat si komedo, bawaannya pengen nyongkel ajah biar bersih...

No-oh, Nek, delapan komedo sayah...
1. Seorang Acute Procrastinator. Kalo anjing terstimulasi dengan tulang, Tom terstimulasi dengan Jerry, laki-laki terstimulasi dengan perempuan seksi tapi tak pintar, perempuan pintar terstimulasi dengan cowok ganteng, baik hati, pintar, rajin menabung, dan atletis, maka saya terstimulasi dengan deadline. Ini lah alasannya saya gak pernah sukses bikin deadline buat diri sendiri.

2. Paranoid dengan kotoran. Mata saya seperti punya X-ray sendiri. Rasanya sekecil apapun kotoran -debu, sampai yang bener-bener kotoran- bisa terlihat jelas dengan saya. Ini alasan saya selalu membawa tissu basah kemana-mana. Ini juga alasan yang membuat anak saya berkulit putih: bukan karena gennya emang putih, tapi karena keseringan saya gosok pake air sabun...

3. TAKUT dengan binatang bernama ANJING!

4. Anti WC Umum. Apalagi kalau WC umum ini gak ada shower pembilasnya!
Penyakit mental saya yang satu ini sukses bikin saya tersiksa waktu jalan-jalan di Jepang. Bahkan suatu kali, waktu saya dan teman-teman (tanpa Papap dan Hikari) lagi belanja-belinji di Tokyo, saya sampai memaksa teman-teman untuk naik kereta pulang dari stasiun B, dan bukannya A (yang lebih dekat) karena di stasiun A gak ada WC umum ber-shower. Tempat favorit saya untuk pipis di Tokyo adalah di Takashimaya, Shinjuku.
Oh, kalo nyari tempat pipis ber-shower di Kyoto, ada di gedung paling tinggi di stasiun Kyoto. Tapi saya lupa lantai berapa. Mungkin anda bisa memasuki satu-persatu tiap wc disitu.

5. Terobsesi dengan planning, planning, dan planning. Semua yang ada dalam hidup saya harus direncanakan. Besok pagi bangun jam 6 atau 6:05? Mandinya dua kali atau tiga kali? Ke kantor lewat tol Jatiasih atau tol Jagorawi? Kalau lewat tol Jagorawi, mampir beli kopi dulu atau gak? Ini atau itu? Itu atau ini?

6. Selalu menjadi Basi Abadi pada pertemuan pertama. Saya jamin anda sekalian pasti gak bakal mau ngundang saya kopdar karena kadar ke-basi-an saya ini...

7. Selalu disangka manusia kalem, penurut, polos, feminin, pendiam, dan pemalu. Emang sih!

8. ............................................................................................... (untuk diisi oleh kalian semua. Menurut para hadirin, saya masih punya cacat mental apa lagi? Gak ada, kan?!)

Ngelempar sapa yaaaa?
Saya mo ngelempar ke Bung Lufhfi Pemegang Kain Sorban! Hahahahaha.....
Puasss!

Catatan: gambar diambil dari email berantai.

Bosan

Jangan sembarangan berkata, "I'm sickly bored with my job" pada orang yang tidak tepat.

Saya melakukan hal sembarangan itu. Hasilnya: kuliah terbuka (in public, maksudnya) mengenai ciri-ciri orang yang kurang bersyukur pada Tuhan. Tentu saja, si penceramah membuat semua ciri-ciri itu terlihat jelas pada saya.

But, what the hell. I really AM bored with my job.

Mungkin memang saya termasuk orang yang kurang bersyukur pada karunia Tuhan. Sementara ribuan orang lain setengah hidup mencari kerja, dan ratusan ribu orang lain setengah mati mencari kerja yang mereka sukai, ealah kok malah saya bilang saya bosan dengan pekerjaan saya itu... Ada yang mau nyambit? Silahkan sekarang waktunya.

Tidak ada yang salah dengan pekerjaan saya.
I used to like the job. It was inspiring, mind-challenging, creativity demanding, adrenalin pumping, fun in an exciting kind of way, sekaligus tentu saja turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengajar, gitu loh.

Sekarang?
The challenge is gone. Atau, saya merasa saya tak menemukan tantangan itu lagi.
The curiosity is easily satisfied. Bahkan hal-hal yang baru tidak bisa membuat saya berseru, "Oooohh, jadi begitu?"
The problems seem to dance their own solutions nakedly before my eyes.
Seakan-akan semua hal menjadi biasa.
Tidak ada adrenalin rush di nadi saya lagi.

10 tahun minus 2 tahun saya melakukan semua ini, akhirnya anti climax itu terjadi juga...

Pindah kerja?
Pindah kantor?
Balik ke rumah?
Stay at home?
Kerja di rumah?
I wish.

Satu alasan saya belum pindah kerja adalah waktu yang fleksibel bagi seorang working mom yang menjadi keunggulan pekerjaan saya sekarang.
Satu alasan saya tidak kerja di rumah adalah saya biasanya jadi gila kalau lebih dari seminggu berdiam di rumah.
None of these is about money. Walau punya banyak duit katanya cukup menyenangkan juga.

Sigh

Saya dan Abe

Apa persamaan antara saya dan Shinzo Abe?

Kami berdua sama-sama didiagnosa oleh dokter Jepang menderita Gastric Inflammation karena terlalu serius mengurusi negara...

Blogger Templates by Blog Forum