Anggun, Saya, dan Rambut (Membosankan! Tidak Perlu Dibaca!)

Obsesi terbesar saya, tentu semua sudah maklum, bisa punya penampilan seperti Anggun si penyanyi itu. Ada banyak kesamaan antara saya dan Anggun, sebenarnya. Dia berkulit hitam, saya juga. Dia kurus mungil, saya juga kurus mungil. Dia cantik, saya juga. Dia berambut hitam, saya juga. Dia berambut lurus, saya ngarep bisa berambut lurus.
Ada satu hal yang membuat saya semakin mengagumi Anggun, selain kegigihannya dalam berkarir dan suaranya. Satu hal itu adalah kenyataan bahwa dia tetap mempertahankan Asian flavor di dirinya. Dia tidak kelihatan ada tanda-tanda untuk memutihkan kulit, tidak seperti saya yang selalu beli pelembab muka dengan embel-embel bisa memutihkan kulit saya. Anggun juga tidak kedengeran mau mewarnai rambutnya supaya kelihatan lebih matching dengan sekitarnya. Singkatnya, si Anggun itu kelihatannya bangga berkulit hitam dan berambut hitam lurus. Dia malah kelihatan makin eksotis.

Sebenarnya usaha saya untuk menyama-nyamai Anggun hampir berhasil. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, saya dan dia banyak kesamaannya. Saya juga berkulit hitam dan berambut hitam. Masalahnya, kalau kulit dan rambut hitam Anggun makin menambah pesona eksotismenya, kulit dan rambut hitam saya malah semakin membuat saya tambah bluwek.
Manusia memang harus bisa menerima bahwa beberapa hal memang tidak bisa diubah...

Saat saya sedang didera patah hati itu lah teman saya ini menginspirasi saya dengan pencerahan barunya yang mirip-mirip sebuah doa dengan bunyi 'God, please help me to accept the things I cannot change'. Kata-kata mutiara teman saya itu sendiri berbunyi, "kalau kita tidak bisa mengubah keadaan, ubahlah diri sendiri." Lalu, jreng jreng jreng... rambutnya berubah jadi merah marun!

Akhirnya, terinspirasi dengan si teman itu, saya mulai melakukan rencana untuk melakukan perubahan. Yes, Change We Can!
Pertama, saya memikirkan dua opsi: satu, rambut saya dilurusin, dua, rambut saya dipotong pendek banget. Tapi kemudian saya sadar, rambut pendek banget gak bisa jadi opsi. Itu sih namanya kebiasaan. Jadi, opsi kedua berubah menjadi, rambut di cat.
Hal kedua dari rencana Change We Can yang saya lakukan adalah melakukan voting. Saya tanya ke semua orang di kantor.
"Bo, mending gw ngelurusin rambut atow ngecat rambut ya?"
Respon mereka beragam.
"Lurusin aja. Biar kayak Cleopatra. Kan udah item tuh kulit lu."
"Di cat lucu tuh. Pirang ya!"
"Di cat deh. Ungu ya!"
"Dasar gila lu, De'!"
Lalu saya bertanya ke Papap.
"Be, rambutku mending di cat ato di lurusin?"
"Lurusin. Terus di cat."

Setelah semua hasil voting sudah masuk, pada suatu hari Kamis saya memantapkan hati untuk mengubah penampilan dan mulai meluncur ke salon langganan. Dan ini pelajaran yang saya terima pada suatu hari Kamis itu:
1. Kalau mau potong rambut dengan aura tertentu (pengen pendek dengan aura cute kayak anak kecil, pengen pendek dengan aura ABRI, pengen panjang dengan aura feminin, pengen panjang dengan aura rocker, dsb dsb), pakailah baju yang sesuai dengan aura itu. Saya minta potong rambut pendek, tapi karena saya ke salon pakai baju kantor rapi, si hairstylist kekeuh menolak memotong rambut saya sependek yang saya mau. Alasannya potongan rambut itu gak sesuai dengan penampilan saya sebagai wanita karir. *capek deeh* Lain kali, saya ke salon pake kaos dan celana pendek aja!
2. Harus tegas dan teguh hati. Saya minta rambut saya dilurusin, eh, si hairstylist menolak. Dia bilang nanti rambut saya gak bisa ngembang. Lo kata bunga?! Eh, dia lebih galak dari gue!
3. Kalau mau ngecat rambut dengan warna yang telah dipilih dari contoh-contoh warna, pastikan warna itu memang tersedia. Saya memilih warna A, eh, setelah rambut siap di cat, warna A itu ternyata habis. Jadinya, pasrah dengan pilihan warna si hairstylist. Dia jauuuuuuuh lebih excited daripada saya tentang rambut saya sendiri *sigh*. Gak sampai disitu aja. Waktu proses pemilihan warna, dia sempat berkomentar gini, "Say, kan kulitnya gak terlalu terang yaaaa... Jadi, kalau pake warna itu nanti jadi kelihatan hit... tambah gak terang looh..."
4. Ngecat rambut itu ternyata menyakitkan dan lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
5. Setelah semua penderitaan itu, gue juga yang harus bayar...

Pulang dari salon, saya berasa cakepan sedikit. Sedikit. Sampai di rumah, si Papap cuma berkomentar singkat, "kok gak pake warna ungu?"

Just Because You Are What You Are


First, it was her friendly comments.
Then, it was her intelligently witty responds.
After that, it was her caring words.
Finally, it was her heart all over
that makes me
wait for her
at the other end of the connection.

Happy Birthday, Fitri Mohan!
You deserve a great birthday full with a lot of loving wishes.
Just because you are what you are.
With you,
Chemistry has a whole lot different meanings!

-me-
still waiting at the corner of that street

No Longer Secret

Sudah jamak memang kalau seorang penulis menggunakan nama alias pada setiap tulisannya. Alasannya macam-macam. Dari yang ingin bebas dari gangguan permintaan tanda tangan (atau kritik di depan mukanya) sampai yang punya double personalities.

Sewaktu saya pertama kali menghasilkan tulisan yang diterbitkan (waktu itu di majalah), saya ditanya oleh Chief Editor saya waktu itu. "Mau pake inisial apa?" Lalu, muncullah nama baru saya (yang sebenarnya cuma nambah-nambahin koleksi nama saya karena seringnya orang mengubah-ubah panggilan buat saya). Ada dua nama yang akhirnya terpakai: satu inisial DM yang saya gunakan setiap kali mengedit tulisan orang, dan satu lagi nama Mariskova yang saya pakai setiap kali saya menulis artikel sendiri. Dari pertama kali saya memakai nama Mariskova, tidak ada orang/pembaca yang percaya kalau itu nama memang asli nama saya sendiri.

Kenapa sih saya harus memakai nama yang bukan nama panggilan a.k.a nama ngetop saya?Jawabannya karena (waktu itu) saya tidak mau murid-murid saya tahu saya lah penulis artikel itu. Alasannya adalah karena kadang-kadang saya meminta mereka menjadi responden majalah saya. Lah, kalau mereka tahu saya yang menulis, jawaban mereka malah jadi aneh, sok jaim. Sejak itulah, Mariskova menjadi my signature name

Setelah itu, saya mulai coba-coba ikut menulis keroyokan untuk sebuah buku dan saya kembali menggunakan nama M itu. Ini bukan karena saya masih ingin ngumpet dari murid saya atau dari orang-orang yang kenal saya, tapi benar-benar karena nama itu sudah jadi trademark aja. Lagipula, bagaimana mungkin saya bisa berniat bersembunyi di balik nama itu karena toh saya punya blog ini yang semua orang bisa tahu?

Setelah 3 buku keroyokan dan 2 novel pribadi terbit, konsistensi saya menggunakan nama Mariskova makin teguh kukuh berlapis baja walau orang-orang masih berpikir itu hanya nama alias saja. Banyak juga orang yang berpikir saya sengaja bersembunyi di balik nama itu supaya orang tidak tahu siapa penulis sebenarnya. Alasan yang kurang tepat karena semua teman saya sejak SD sampai kuliah hapal benar nama itu (secara jarang ada orang punya nama belakang model begitu). Perkara saya gak pernah ngiklanin ke tetangga sebelah rumah atau ke orang tua temannya Hikari kalau saya ini penulis kan beda urusan. Ntar dibilang belagu lagi hehehe....

Nah, belakangan ini ternyata ada fenomena aneh di kantor saya.
99% manusia di kantor saya tadinya tidak tahu bahwa saya ini penulis dan sudah menerbitkan novel. Ini juga bukan karena saya sok ngumpet. Lah kan di kantor saya digaji jadi guru, masa' saya tiba-tiba beralih profesi jadi penulis?! (ngeles dot kom) Lagipula, novel saya (dengan nama saya dicetak gede-gede) itu dijual di toko buku terbesar di Asia Tenggara yang jaraknya cuma selemparan kolor dari kantor saya. Lagipula lagi, blog ini kan sudah ada dari 2005 dan saya selalu memberitahu para hadirin tentang kehadiran novel saya.

Lalu kenapa bisa, 99% manusia kantor saya tidak tahu?
Jawabannya sederhana: mereka memang pengunjung setia toko buku, tapi buku-buku yang mereka baca selalu yang tentang ngajar-mengajar. Daaaaaaan, mereka terlalu sibuk untuk ikutan virus ngeblog hahahahaha...
Jadi, ketika minggu lalu seorang teman saya terlihat atau disengajain terlihat membawa novel saya ke kantor, sontak terjadi kehebohan di beberapa cabang! Apalagi setelah ada sebuah foto terpampang di fesbuk! Lalu sebuah tuduhan mengarah kepada saya: "Ngapain lo rahasia-rahasia segala kalo elu udah nulis buku?!"

Lah?

Tapi setidaknya saya bersyukur. Bersyukur karena saya sempat punya lebih dari 2 tahun yang damai tanpa dikenali oleh orang-orang sekantor saya. Antusiasme mereka ternyata merusak mood.

Untuk Je, take it from me. DO NOT LET THEM KNOW YOU WRITE WHAT YOU WRITE! (I still link you here publicly though hahaha)

Catch me, or else...

Did your office ever hold an outbound program for its employees?

Mine did, a couple of years ago. All of us were gathered from all of the branches all over Indonesia.
There was this game in that program that I remember vividly until now. It's called "Catch Me, Don't Let Me Fall. (Or I'll surely kill you!)". Playing it is actually simple. All you've got to do is to stand on a higher platform with your back facing your friends (or your team members).
After that, you have to let yourself fall backward so your friends can catch you.

The key of this game is to LET yourself fall without having doubts. When you have to fall backward, you have to TRUST your friends that they will CATCH you. The moral lessons of this game are 1) it's a bravery test, 2) it's a trust test. Personally, I think, without Trust, you won't feel Brave. At all.

At that time, some of my team members were hysterical or very cautious, which is understandable because which fool wanted to trust his/her life in the hands of a bunch of people that s/he just met yesterday?
When it was my turn to fall, I did it mindlessly. I wasn't worried a bit that those guys wouldn't catch me. To tell you the truth, though, my lack of worries was not because I knew they cared about me so much that they wouldn't let me fall to the ground. It was simply because (I knew) nobody was stupid enough to willingly take the position of a murderer in front of so many eye witnesses. It's just a basic human psychology. It has nothing to do with Caring.

That knowledge leaves me with a feeling of relief. For me, it shows that even strangers will watch your back although their motive is probably only to keep them off trouble.

Now, put that story in another context. Your office. And your colleagues are your team members. If I may borrow Simon Cowell's voice, my question would be...
"Do you honestly believe that those guys you share the office room with are willing to catch you when you fall?!"

When the answer is no, my suggestion is you start googling for a vacancy.

Oh, eh, you can look at the bright side of the story: when you cannot trust your colleagues, may be you can trust a bunch of strangers.

To Let Go

Ikhlas.
Let go.

Those are what my friends have been telling me.
Even when my eyes were staring at them (or at the phone) blankly, I was tempted to say, "easier said than done, mate!"
But, instead of informing them that it just couldn't be done, I nodded my head and let myself embrace the idea of letting go. Besides, I heard God once instructed the same thing. Who am I to say no to God?

A week passed.
Damn! It was not easy!
So, I said to God.
"Dear God comma
letting go question mark
OK fullstop
One request though question mark
give me time fullstop
like three fullstops
a year question mark"

So, I'm in the process of letting go.
However, I read some guy wrote something.
He wrote 'To forgive an enemy is easier than to forgive a friend'.
I agree.
So, friend, at this point, it's like... you have taken me to the point of no return.
But, hey, I'm letting go.
Go. You know? Forward. Not return.
Go.

Oh, and God...
Give me a year?
Thanks!

Those people you hurt the most...

Some people say enlightenment can come from anyone, anywhere. I do believe that.
I also believe enlightenment might not always taste sweet, like we prefer it would be. In fact, most enlightenment appears in front of us when it is given or demonstrated by the people we hate the most, the people whom Gede Prama calls Guru Kehidupan, the Teacher of Life.

About a week ago, I was driving home after work when out of the ordinary the radio station that I'm used to listening to aired Gede Prama telling a story about Guru Kehidupan. Out of the ordinary too, I didn't switch the channel (when driving home from work I choose to relax by listening to the music, not by listening to a preach). In his story, Gede Prama said that we had to be grateful when we met difficult people -those who are emotionally challenging. At that time I was thinking "wow, you guys have to be grateful when you meet me!"
The reason for this gratitude is these difficult people teach us to be a better person. When you meet someone who is emotional and easily angry, then you learn to be calm. When you meet someone who is impatient, then you learn to be patient. And the story went on. Before ending his story, Gede Prama asked a question, intriguing to me. "Did you meet Guru Kehidupan today?" At that time, I couldn't help but smirking, "don't we meet them everyday?"

A week after that, I did meet one Guru Kehidupan and that Guru really taught me well.
How do I know the Guru taught me well?
Because the teaching hurts like hell.

Worst, it stings through my heart and I'm not sure it can heal.
I was shocked or I am still shocked. I grouped around to make sure I didn't stumble. Or if I did stumble, I could try to stand up. But for sometime I couldn't stand up. I couldn't even feel where my feet were.

At that moment, I knew I had to find my head. To think. And since I was not sure where it was -because it was full of black clouds and thunders- I picked up a phone call to someone I always knew had her head and conscience clear for me all the time. I called my best friend, Barb.

Between my crying and shouting, she just listened, like I expected her to do. And my question for her was 'tell me what did I do wrong?'
I didn't do anything wrong. She said.
But why this hurt like hell? I asked.
Because it came from someone close to you. She answered.

Barb calmed my shocked mental state (I never knew I could have one but there is always a first time for everything) and she taught me something I should have figured out myself.

The people that hurt you the most are always the ones who are closest to you.


So, guys, I beg you. If you decide to be Guru Kehidupan for somebody else, please please don't be one for your loved ones, your significant ones, and of course, your best friends. Why? Because once you become their Guru Kehidupan, you will hurt them and nothing you can do to take it back will make a difference.
Have you ever been forced to face a condition where you feel like you are suddenly left in the dark, alone, suffocated, and disoriented? Your brain refuses to work, but deep down inside you know that you have to survive?

I've been there. Once, a long time ago. Almost 6 years ago.
Now, I'm experiencing it again for a different reason.

Right now, I'm feeling things. A lot of things. Feelings like I'm not sure if I'm right or wrong. Somehow I know I'm right but I don't know how I can make the wrongs to be right.
I am so shocked that I'm so disoriented. I don't know how to think or what to think.
But, the most hurtful thing of all is the feeling of being hurt.
I just wish...
God, I cannot even mention what I wish for...
God!
Damn!

Blogger Templates by Blog Forum