Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kawan karib saya suatu hari bertanya, "Dev, apakah elu termasuk guru yang penyabar?"
Jawaban saya, "tergantung."

Yup. Tergantung. Tergantung kasus mana yang harus saya hadapi.
Dalam kehidupan profesional saya (halah) sebagai seorang guru, ada dua hal yang selalu menjadi momok selain nilai nominal gaji yang gak pantes itu: slow learners dan bad attitude. Dua hal ini bisa bikin seorang guru kehilangan kesabaran dan mengidap darah tinggi.

Sebagai seorang guru, saya bisa sangat penyabar menghadapi murid-murid yang masuk golongan slow learners. Ini karena saya penganut paham 'Tidak ada murid bodoh'. Lagipula, dengan sedikit kesabaran dan perubahan cara mengajar, pasti ada lah setitik ilmu yang bisa dimengerti oleh anak itu.

Sebaliknya, sebagai seorang guru, saya bisa sangat mengerikan bila menghadapi murid-murid dengan attitude yang... tidak pantas! Tidak disiplin, tidak mengerjakan tugasnya, menjawab bila ditegur, marah bila diberi hukuman, mengomentari (dan mengatai?) guru atau teman-temannya dengan kata-kata tak pantas, menghina, membuat onar di kelas, mengancam guru dan teman-temannya...

Now think of this, saya ini hanya seorang guru kursus dengan jumlah murid satu kelas paling banyak 25 orang. Dari 25 orang ini, paling-paling hanya ada 1-3 orang anak yang harus ditangani khusus. Bayangkan apa yang harus dihadapi oleh seorang guru sekolah umum?! Di dalam kelas dengan jumlah murid 40 orang, ditambah dengan disiplin sekolah yang on/off, ada berapa anak yang harus ditanganinya?! Berapa kali dalam sehari guru itu harus mengelus dada, Istigfar, dan mengatupkan mulut menahan kesabaran?! Bayangkan! Sudah gaji kecil, harus jadi pahlawan tanpa tanda jasa pulak, eh, masih dibebani dengan kewajiban moral mengoreksi kelakuan para muridnya...

Jadi, pada Hari Guru tahun 2007 kali ini, gak usah lah kita muluk-muluk berwacana tentang kenaikan gaji guru, penambahan fasilitas, peningkatan perhatian pemerintah, bla bla bla. Dari tahun ke tahun toh hal-hal itu hanya berujung pada Blahs!. Dalam kenyataannya, ada hal yang kecil yang bisa kita semua lakukan. Mau tahu?

Pertama, mulai benahi attitude kita. Mulai benahi attitude orang-orang di sekitar kita. Terutama, mulai benahi atttitude anak-anak kita, sehingga ketika mereka masuk ke kelas, guru mereka bisa mendapatkan kenyamanan dalam mengajar, konsentrasi penuh pada pelajaran dan murid, dan kebahagian dalam bekerja.

Hal sekecil itu bisa menolong guru-guru yang ada di negeri ini. Hal sekecil itu bisa berdampak besar pada kualitas pendidikan anak-anak di negeri ini.
Itu juga kalau anda peduli...

Surat untuk Mama

Siang itu saya hampir kehabisan akal. Piring berisi nasi dan lauk pauk sudah sejam lebih tergeletak di atas meja. Belum habis juga isinya! Sementara itu, si pemilik piring sibuk berlarian kesana-kemari.

Setiap lima menit, selama sejam lebih, mulut saya sudah berbusa-busa meneriakkan perintah:
"Duduk diam!"
"Kunyah makanannya!"
"Makan yang benar!"
Satu jam berlalu, isi piring belum juga tandas.

Saking kesalnya, dan juga frustasi, plus bosan, ditambah gemas, saya tangkap Hikari yang sedang bergaya lincah menjadi SpongeBob. Saya pegang kedua bahunya, menurunkan mata saya se-level dengan matanya, lalu MELOTOT.

"Berhenti bermain! Duduk! Habiskan makanannya!"
Hikari cemberut.
"Dengar Mama?!"
Cemberutnya hilang. Dia tahu saya sedang murka.

Dengan patuh Hikari kembali ke meja makan dan menyantap makanannya dengan terpaksa. Satu jam kemudian baru selesai semua upacara menyebalkan ini.

Selesai makan, kami duduk menonton tivi. Hikari duduk di kursi terjauh dari saya. Ditangannya ada selembar kertas dan sebatang pensil. Semenit kemudian dia sibuk mengurek-urek kertasnya. Saya biarkan kesibukannya, dan sambil menenangkan esmosi saya mengalihkan konsentrasi ke film SpongeBob di tivi.

Sepuluh menit berlalu.
Saya menoleh ke Hikari yang sudah kembali berjalan mondar-mandir. Kami bertatapan sekilas. Dia lalu menghilang ke kamarnya. Tak lupa, ia menutup pintu kamarnya.

Lima menit kemudian.
Saya jadi merasa kehilangan si Kunyil satu itu. Saya bangkit dari kursi dan beranjak ke kamarnya. Saya ingin berdamai. Kaki ini pun melangkah ke kamarnya. Di depan pintu kamar, saya berhenti. Bukan karena pintu itu tertutup.

Ada sehelai surat di depan pintu.


Mau tahu isinya?


Mama TDA BL maras maras. KLO TDA BL maras maras, Mama BOLES MAASUK.
Terjemahan? Mama tidak boleh marah-marah. Kalau tidak (boleh) marah-marah, Mama boleh masuk.

Hari itu, saya habis ditertawakan Papap dan seisi rumah. Terutama Papap.

Siang bulan Oktober itu menjadi sungguh tidak terlupakan. Melihat surat Hikari itu, saya tidak menjadi marah. Mana mungkin saya bisa marah?! Saya malah terharu setengah mati.

Ini pertama kalinya Hikari menulis kalimat yang terangkai. Sebelumnya dia memang sudah sering menulis. Tapi hanya kata, seperti Dino, Dora, Hikari, Ari (yang kadang-kadang menjadi Air), Mama, Papa, dan lain sebagainya. Hari itu sungguh istimewa. Lebih istimewa lagi karena saya tidak pernah secara khusus mengajarinya menulis. Ternyata, kemampuannya menulis didasari dari kemampuannya membaca. Masih ingat metode membaca suku kata di badan ikan yang pernah saya tulis?

Sungguh saya tak menyangka metode itu akan memberikan dua hasil: kemampuan membaca dan menulis. Tapi nanti lah. Itu saya tulis di tempat yang lain saja. Sekarang ini, saya harus berkutat dengan surat-surat Hikari yang lain. Surat terakhirnya berbunyi begini, "Mama inget yaeh jangan marah marah. Klaw mama tida marah-marah, mama bolh mayn."

Pahit


What can kill your blogging spirit?

Gak usah mendelik dulu.
Jawabannya cuma: Your Office Life kok!

Belakangan ini saya kehilangan nyawa untuk ngeblog. Dan ini bukan karena kesibukan, kemalasan, atau kemarahan. Juga bukan karena saya gak punya ide untuk nulis. Ini gara-gara kehidupan kantor saya yang rasanya .... nano-nano. Ibarat lidah habis mengecap obat, makan atau minum apapun setelahnya akan berasa pahit aja. Begitu itu yang saya rasakan. Habis ngantor, lidah pahit. Semua ide di kepala tidak bisa turun ke jari-jari saya. Saya pun tak mampu mengetik. Padahal, syarat utama ngeblog kan... ya ngetik dulu hehehehe...

Kehidupan kantor saya sih hanya begitu-begitu saja. Hari ini sibuk, besoknya sibuk-sibuk, besoknya lagi sibuk-sibuk-sibuk. Begitu saja. Memang agak kurang inspiring, but one cannot have everything in the world kan?



dinosaurus si tiranosaurus dinosaurus si orodromeus dinosaurus si apatosaurus


archaeopteryx diplodocus baryonyx arkansassaurus


Baidewei, tulisan di atas ini adalah ketikannya Hikari. I let him write something to fill the space.
Ya, dia memang sudah bisa menulis. Tanpa saya ajari. Ini salah satu hasil positif dari metode membaca cara saya. Dia juga sudah bisa menulis surat. Lain kali saya pasang deh foto suratnya. Untuk sekarang, saya selesaikan sampai disini. Semakin banyak saya menulis, semakin menyebalkan buat kalian yang membaca.

Pesan moral saya untuk postingan kali ini adalah: terus lah menulis. Apapun yang terjadi.

Yeah. Right.

Misteri Tuhan

Honjo, Saitama, Jepang
10 Februari 2006,
Penghujung musim dingin.

Siang itu begitu dingin.
Langit biru cerah di atas sana tidak mampu mengabarkan kedatangan musim semi.
Saya berjalan sendirian,
ditemani kamera hitam,
menuruni bukit tempat dormitory kami berada,
ke kaki bukit yang menjadi puncak bukit kecil lainnya.

Hari itu hati saya..... damai?
Rasanya kosong, tidak ada beban.
Kosong,
mungkin itu kata yang lebih tepat.
Saya berjalan-jalan menyusuri jalan setapak
di siang hari yang beku
dengan hati kosong.
Sendirian.

Lalu saya sampai di kaki bukit,
yang merupakan puncak bukit lainnya.
Hanya ada satu pohon disana.
Diantara keringnya rumput musim dingin,
dan bekunya udara.

Saya terpaku memandang pohon itu.
Berdiri lama menatapnya dari kejauhan.
Dia sendirian.
Saya sendirian.

Hening diantara kami.
............................................

Ada satu hal yang tidak cocok disana.
Langit di atasnya terlalu biru, saya membatin.

Kebekuan,
Kesendirian,
Keheningan itu,
tidak cocok dengan birunya langit.

Hati saya tiba-tiba membuncah.
Saya memecahkan satu misteri Tuhan hari itu.

Setelah kesusahan, pasti ada kemudahan.
Dalam kebekuan, masih ada langit biru.

Saya tutup lensa kamera.
Kembali berjalan pulang menaiki bukit.

Dua tahun lewat sudah.
Pohon dan langit biru itu selalu ada di hati saya.
Setiap kali saya sedang menatap ke depan,
untuk mencari sedikit harapan.

........

Wajah Ember

Teman saya pernah membuat persamaan wajah saya dengan ember. Iya. Ember. Ini gara-gara saya komplen ke dia tentang orang-orang (termasuk dirinya) yang kalau ketemu saya selalu bawaannya pengen curhat. Obrolan apapun tentang sesuatu hal, selalu ujung-ujungnya penuh curhat.

"Bo, pinjem gelas dong. Di pantry kok kosong?"
"Nah, itu lah, De', yang bikin gue sebel. Itu kan tanggung jawab si itu, ehhhh... dia malah bla bla bla bla..."

"De' elu lagi ngapain?"
"Bikin laporan nih. Blum kelar yang kemaren udah ada yang baru."
"Emang De', si anu itu kalo ngasih kerjaan bla bla bla...."

Masih mending kalo curhat-an soal kantor. Saya masih bisa paham persoalan. Kadang-kadang soal rumah, soal suami, soal istri, soal anak, soal HRD di kantor yang nun jauh dimata, soal pembantu, soal busway, semua dicurhatin. Ke saya.

"Elu itu ibarat ember," kata teman saya itu. "Tiap liat muka lo, orang bawaannya kebelet pengen mengeluarkan seluruh isi hatinya. Elu harusnya bangga..."

Kenapa ya kok saya lebih teringat toilet daripada ember?

Eniwei, respon saya terhadap teman-teman butuh kasih sayang ini hampir selalu positif. Ya, saya ikut senyum-senyum menenangkan. Atau kalau bahasan curhat lagi hot, saya ikut ngegosip sedikit. Sedikit.

Tapi, respon positif ini juga frekuensinya hampir. Hampir selalu. Kadang-kadang saya dongkol juga. Dikata cuma situ doang gitu yang punya masalah?! Saat sedang dikejar deadline, ada aja yang mampir minta didengerin curhatannya. Saat sendirinya sedang gundah gulana, ada aja yang mampir minta dikosongin kesusahannya. Saat sendirinya sedang puyeng, ada aja yang mampir minta didukung. Lah, giliran saya kapan?! Sapa yang mau saya curhati? Sapa yang mau mendukung saya saat semangat sedang melorot? Sapa? Sapa?!

Kemarin itu, saat makan siang saya diinterupsi oleh seorang teman yang kemudian (tiba-tiba) bercerita panjang lebar selama 1 jam penuh tentang nasib buruknya di kantornya, saya merasa tertampar. Saya menyadari satu hal. Saya bersyukur saya berada di posisi yang dicurhati dan bukannya yang mencurhati.

Seringkali kita lupa kalau kita lebih beruntung dari orang lain dan berpikir kalau kita termasuk golongan orang-orang yang paling menderita sedunia. Menjadi tempat curhat teman-teman bisa membuat perspektif saya akan hidup yang kejam ini menjadi lebih seimbang...

Blogger Templates by Blog Forum