The Laughter Sides of Life

Ho-oh, kemarin dulu itu saya masuk rumah sakit lagi. Hiyah, memang bukan yang pertama. Bukan, bukan typus. Kali ini lebih konyol, walopun rasa sakitnya membuat saya berpikir berjoget dangdut di depan pasar induk lebih menyenangkan daripada sakit beginian...

Ceritanya perut saya salah urus dan melakukan pemberontakan. Salah urusnya bagaimana ya saya gak tau juga karena kalau berhubungan dengan badan ini apapun sudah salah urus makanya badan ini kurus terus. Saking salah urusnya, saya jadi diare 2 hari full. Dan, pada hari Sabtu malam kemarin itu, saya sudah gak kuat. Perut sudah ajojing mulu. Diare sudah 5 kali. Disinilah letak konyolnya.

DIARE, ironinya:
Diare itu ibarat saluran air PAM yang sejak jaman perang kemerdekaan gak pernah diganti pipanya. Ngocor terus. Di rumah saja saya sudah bolak balik toilet 5 kali, dan kelima-limanya selalu dengan short notice. Saya lalu menelpon UGD suatu rumah sakit berjarak 20 menit dari rumah. Jawabannya tak menenangkan: kesini aja, bu. WAH, 20 menit jarak ke RS itu berarti saya kudu punya kekuatan Superman campur Batman supaya bisa nahan ke belakang. Harusnya ada sistem yang lebih canggih untuk menyembuhkan pasien diare daripada menyuruhnya datang ke rumah sakit deh!

INFUS, sejarah yang berulang:
Masuk UGD dengan kondisi dehidrasi tentu membuat saya jadi target utama pemasangan infus. Dengan memakai alasan pembuluh darah saya itu tipis, para perawat berhasil dengan sukses membuat saya terlihat seperti junkie yang habis pesta narkoba. Badan kurus, mata kuyu, badan meriang, DAN bekas suntikan coba-coba di seluruh permukaan tangan. Goodbye kaos lengan pendek. Bukan cuma bekas suntikan di sekujur kedua tangan, pergelangan tangan saya pun berubah menjadi bonggol tales. Baca aja disini.

RUMAH SAKIT, bukan hotel:
Opname kali ini saya tinggal di kamar rakyat: kamar kelas 2 dengan 3 tempat tidur. Dulu-dulu saya biasa di VIP. Bukan nyombong, tapi jaman dulu asuransi saya masih bisa membayari saya kelas VIP. Sekarang? Huacuh! Turun kelas.
Namanya juga kelas rame-rame, ya harus tenggang rasa dengan tetangga. Tetangga sebelah kiri saya ternyata langsung click sama saya. Tetangga sebelah kanan... Dia ngambek berat sama saya karena gara-gara saya masuk ke kamar itu, dia harus tidur bertiga dengan anaknya. Masih mending ngambek doang ke saya. Suster-suster malah dimaki-maki sama dia karena menyuruh kedua anaknya pindah dari tempat tidur yang akan saya tempati. UNTUNG, dia cuma bertahan sehari jadi tetangga saya... Gak, gak, dia gak meninggal kok. Cuma pindah RS.

SEMBELIT, jangan pernah di UN-Sembelit kan:
Kalau anda diare, yang pertama dilakukan dokter adalah memampetkan saluran pengeluarannya. Hasilnya? Sehari semalam kemudian anda akan mengalami sembelit yang bisa berlangsung selama 3 hari lebih. Saran saya: Jangan pernah meminta dokter mengatasi sembelit anda! Salah satu roommate baru saya melakukan kesalahan ini. Hasilnya? Dia berhasil membuat saya dan roommate saya yang lain kabur terpontang-panting dari kamar. UNTUNG, kami pulang hari itu juga...

MEMBESUK, layaknya nganter orang pergi haji:
Sakit kali ini saya juga miskin pembesuk. Bukan hanya karena saya sakit pas workdays, atau karena letak RS yang sudah beda propinsi dan presiden dari kebanyakan kerabat dan teman, tapi juga karena saya gak pasang pengumuman di koran. Saya sebenarnya milih miskin pembesuk begini karena gak enak sama tetangga sekamar. Secara saya punya keluarga besar banget, kalo mereka menjenguk tuh serasa mau pergi nganter orang pergi haji. Kadang-kadang malah ada yang nekat mau Yasin-an segala. Tapi, Eyang Uti saya marah besar karena beliau tak diberi tahu sejak awal. Alhasil begitu beliau mbesuk saya, beliau langsung nelponin anak cucunya yang lain satu persatu. Saya pun langsung meng-counter attack telponnya. Caranya: Eyang nelpon Tante A nyuruh nengok, saya sms Tante A supaya gak usah nengok. Eyang nelpon Om B nyuruh mbesuk, saya sms Om B supaya gak usah mbesuk. Cara ini lumayan berhasil. Tapi saya jadi miskin pulsa...

DIAGNOSA, interpretasi suka-suka:
Sejak dokter bilang kalau lambung saya infeksi akibat ketidak beresan pencernaan saya itu, saya lumayan lega. Lalu terjadilah diskusi berikut...
Saya, "untungggg, bukan kena virus."
Mami, "apanya yang untung!? Bisa-bisa usus buntu itu."
Eyang Uti, "masih untung usus buntu. Kalau kanker usus bagaimana?"
Eyang Kakung, "kemarin ada tetangga yang muntaber, gak selamet dia. Meninggal setelah seminggu di rs."

There are always some laughter sides in our miserable life.

A Tribute

Selamat Jalan, Chrisye.
You were -and still are- my biggest star, ever.
www.chrisye-online.com

Careful Wish


Be Careful With What You Wish For!

And that is so true.
For the last couple of weeks, I had wished to go out and then have a week-or-two rest.
Really. I was thinking Bermuda.
Or Bali, or Jogja, or somewhere near like Pattaya, may be?
Well, God didn't sleep.
He heard my wish.
He sent me out of the house and he told me to have a week rest.

Not in Bermuda, or Bali, or Jogja, or Pattaya.
It was in a big green building which smelled drugs and, er, others.
Yes, I was hospitalized for a week. And I just got released today.
And, No.
Unlike those hospitals in our sinetrons, this one didn't have either handsome doctors or pretty sexy nurses. (sorry for being so gender-ish)

Dear God, not that I am not thankful, but,
I think You've made the wrong interpretation this time...

Who Saves Her?

"Ayah sepertinya capek. Tidur saja duluan, Yah," kata si istri, teman saya itu, kepada suaminya. Suaminya yang sejam lalu baru pulang kantor terlihat lelah dan mengantuk. Kelakuan anak-anak mereka yang pada hari biasa terlihat biasa saja, malam itu berubah derajatnya di mata sang ayah menjadi nakal, sangat nakal, dan keterlaluan nakalnya.

Saya yang menyaksikan adegan itu tanpa sengaja, tiba-tiba merasa perih di dalam hati. Kejadian seperti itu biasa terjadi. Saya juga biasa mengalami. Ketika orang tua baru pulang kantor, lelah, penat, membawa beban segunung di pundaknya, anak-anak yang biasanya menggemaskan tak akan terlihat lucu sama sekali. Tapi, yang membuat saya ingin menangis adalah... ketika sang Ayah yang penat diselamatkan oleh istrinya, anak-anak diselamatkan dari kepenatan ayahnya, SIAPA yang menyelamatkan si ibu? Ibu itu, istri laki-laki itu, teman saya itu, juga baru pulang dari kantor dan belum sampai 10 menit berada di rumah. It seems that a mother doesn't have the priviledge to inhale and then exhale, and say to her children, "can you give me some time to breathe?"

Tak ada rasa terimakasih, atau senyum manis walau penat, atau malah kecupan sayang di dahi dari sang Ayah. Ia benar-benar rindu tempat tidurnya. Teman saya itu, si ibu, si istri, bahkan tak sempat berganti baju dan mengambil secangkir teh untuk dirinya, karena anak-anak sudah menunggu. Saya semakin meleleh. Padahal, Ayah sayang, elusan lembut di pundak istrimu pasti sudah membuatnya bahagia. Jangan pura-pura tak tahu bahwa istrimu juga butuh penyelamat. Kalau kau tak bisa jadi penyelamat itu, setidaknya hargailah ia dengan rasa terima kasih...

Seorang laki-laki teman saya pernah berkomentar, "ah, perempuan. Sedikit-sedikit minta bunga, sedikit-sedikit minta dikasih kartu, sedikit-sedikit minta coklat..."
Ah, kamu. Apa kamu tak pernah menatap wajah lelah ibumu dulu? Don't you think that your mother deserves a little gratitude from you, from your dad?

Ketika saya sampai di rumah dan menatap wajah laki-laki kecilku, saya memeluknya erat-erat. Anakku, laki-laki.
One day you'll have a wife, Insya Allah, and children too.
When that time comes,
whenever you feel tired of the world,
take time to see your wife's face.
Do you see pain on her face?
If you do,
take time to sit next to her,
and MAKE time to share her pain with you.
Because in the pain of every wife,
there is the pain of every mother.

Pacaran

Rasanya semua pasangan yang sudah menikah dan mempunyai anak pernah mendengar nasihat para ahli perkawinan yang menyarankan setiap pasangan untuk mencari waktu untuk berduaan. Tanpa anak. Hanya pasangan suami istri berdua saja. Seperti jaman honeymoon dulu.

Nasihat yang terdengar indah. Romantis. Menyegarkan.
Dan memang tujuan dari Pacaran Ulang itu adalah untuk menyegarkan perkawinan.
Sekale-sekale, keluar berduaan tanpa anak, gitu loooh.

Mungkin anda bisa.
Tapi kami, resenya, tidak.

Minggu sore ini saya dan Papap bengong-bengong di depan tivi. Hikari sedang berluberan imajinasi yang membuatnya ingin menyendiri di kamar sambil melukis whiteboardnya. Mudah-mudahan dia ingat untuk tidak mencoreti tembok.

Di tivi muncul iklan film di bioskop minggu ini. Papap menengok ke arah saya.
"Nonton yuk."
Saya hampir mengangguk, tapi kok... kepala ini malah reflek menengok ke dalam kamar tempat Hikari bersemedi.
Papap menghela napas. "Kasian si ucil ya..."
Yah. Begitu lah yang terjadi selama 5 tahun ini. Selalu ada perasaan menohok bila kami pergi tanpa Hikari. Apa ini sehat? (Jangan dijawab)
Terakhir kali kami nonton film dengan ikhlas tanpa beban adalah waktu saya hamil besar. Hikari belum muncul.
Lalu, kami pernah mencoba nonton berduaan lagi sewaktu umur Hikari masih beberapa bulan. Hasilnya? Sepanjang film diputar saya dan Papap gelisah pengen pulang. Setelah itu kapok.
Sebelum Papap pergi ke Jepang, kami sempat nekat nonton berdua lagi. Kebetulan filmnya Harry Potter (entah seri ke berapa). Pikir kami, mau pisah 6 bulan, bo. Ayo kita pergunakan waktu singkat ini untuk berduaan.
Gak berhasil juga loh. Sekali lagi pikiran pengen pulang dan perasaan ngganjel itu gak hilang.

Dan bukan cuma untuk nonton film.

Mau nongkrong makan malam nyari nasi uduk pecel lele yang agak jauh, juga mikir. Mau kongkow-kongkow di warung nasi goreng, mikir lagi. Mau jalan-jalan iseng di mall sambil pegangan tangan tanpa inget jam, tambah mikir.

Seorang teman senior yang saya curhati tentang ini berkomentar singkat. "Ah, nanti kalau dia gede sedikit malah kamu yang akan maksa-maksa buat maen sama dia."
Bener juga.
"Tapi kita kan butuh pacarannya sekarang. Bukannya 15 tahun lagi." Teman saya yang gak diajak ngobrol tapi nguping malah menyela.


Hm...

Well. Everything has its time. Everything has its time.

The Replacement

Yang pernah nonton film dengan bintang si ganteng-tiada-tara, Keanu Reeves, ini pasti bisa membayangkan sosok seorang replacement alias pemeran pengganti. Berdasarkan kodratnya, sosok seorang replacement punya ciri-ciri berikut: tidak dinantikan kehadirannya, tidak diinginkan keberadaannya, dan terutama tidak digila-gilai penampilannya. Kecuali, tentu saja, kalau si replacementnya adalah seorang Keanu Reeves, dan saya.

Di tempat saya mengajar, si replacement ini punya judul substitute teacher. Guru pengganti. Kalau ada seorang guru kelas yang berencana tidak masuk karena suatu hal, dia harus mencari substitute teacher. Pada prakteknya, seorang substitute teacher juga bisa berubah fungsi.

Bagaimana caranya bila anda seorang guru yang walaupun sudah mengajar sekuat tenaga semaksimal otak seluberan keringat sekeras lengkingan serigala selembut Andi Meriam Matalatta seseram kuntilanak, murid-murid di kelas anda masih 3B: Bengal, Bodo', dan Bener-bener males?

Bunuh diri?
Tidak ditanggung asuransi.
Jalan satu-satunya hanya menyewa si replacement alias substitute teacher.

Dan begini ini praktek yang terjadi di kantor saya itu:
"De, hari Senin gantiin gue ya."
"Apa pelajarannya?"
"Terserah elu."
"Yakin?"
"Banget. Yang penting, begitu gue masuk lagi hari Rabunya, mereka langsung cinta gue."
Percakapan tadi bila diterjemahkan bebas akan berbunyi seperti ini: Sebegitu menakutkannya dirimu, diriku akan terlihat sangat baik di mata murid-muridkuh. Mereka akan mikir ribuan kali kalau mau bertingkah 3B lagi.... or I'll send them to YOU.

Sisi kelamnya praktek ini adalah: Saya selalu dijadikan si replacement itu.
Ini juga gak di-cover asuransi.
Hanya atas dasar belas kasihan saja saya kerap menyanggupi permintaan semacam itu.
Dan, sisi cerahnya adalah: Persentase kesuksesan saya hampir 100%.
Ini, bukan karena saya itu bereinkarnasi menjadi siluman kuntilanak jadi-jadian begitu di dalam kelas. Kesuksesan saya sebenarnya karena saya tahu persis apa yang harus dilakukan saat menjadi si replacement. Dan dijamin, metode saya tanpa menggunakan darah tinggi dan sakit jantung. Karena dua penyakit itu terlalu mahal bila di-cover asuransi.

Begini ini metodenya:
1) Begitu masuk ke dalam kelas, sudah wajar bila seorang pengganti dicuekin murid sekelas. Mereka akan tetap ngobrol dan menatap merendahkan kepada diri si replacement. Yang harus dilakukan adalah menaruh tumpukan buku kita di meja guru dengan suara keras. Berbalik menghadap murid-murid. Mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru keras. Tersenyum. Dan berkata, "mulai detik ini, semua perhatian kalian hanya untuk SAYA." Jangan lupa melakukan semua hal tadi dengan sedramatis mungkin. Seorang guru memang dibayar untuk menjadi narsis.

2) Murid-murid itu tentu saja tidak akan menyerah secepat itu. Mereka -pertama- akan mengetes anda dengan menjawab pertanyaan atau instruksi anda dengan lelucon -yang berdasarkan pengalaman- tidak pernah lucu.
"What's the next problem?"
"Kembali ke... laptop."
"Wrong answer. Not funny, either."
Katakan fakta, dengan fakta.

Situasi lain:
"What is the topic of that paragraph?"
Smiling. Broadly. More than 30 seconds.
"Sorry. I need your answer, not your smile."
Katakan fakta, dengan fakta.

3) Kalau mereka tidak berhasil membuyarkan konsentrasi anda dengan leluconnya, mereka akan mengetes tingkat hipertensi anda. Dengan...

Mengobrol.
Solusi? Mudah. Bombardir si tukang ngobrol dengan pertanyaan demi pertanyaan.
"You. Number 1. Now, number 2. Next, number 3, you again. Number 4 too."
Pada pertanyaan ke lima, satu lirikan mata ke arah murid ini akan terbaca 'kapok?'.

Melawan.
"Okay, now, you answer number 10."
"Gak tau, Ma'am."
"Wrong answer. Try again. Number 10."
Selalu merespon dengan fakta.

Tambah kencang melawan.
"Can you answer number 10?"
"Gak tau."
"Okay, you can go outside and think of the answer of number 10. Don't return until you know the answer. That's the door." sambil tersenyum manis dan telunjuk anda menunjuk ke arah pintu.

4) Bila mereka tak tahu lagi harus beraksi apa, biasanya mereka akan beraksi diam dan mengubah satu kelas menjadi kuburan. Solusinya lebih gampang lagi.
"Well, then. If you don't want to answer, that means you already understand the lesson. The next thing to do when you understand the lesson is to TEST you."
Lalu berikan test. Test apapun.
Bila mereka protes, katakan, "what's it gonna be? Study the lesson with me, or have a test?"
Dijamin, anda akan mendapatkan kelas yang sangat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan anda.

5) Selalu gunakan nada rendah, selalu pasang tampang lurus tanpa riak, selalu tenang. Jangan pernah berteriak, apalagi menjerit. Tak perlu menghabiskan energi untuk pidato, ceramah tentang moral, atau marah-marah, karena pembayaran gaji tidak termasuk biaya pengobatan darah tinggi.

Kelima langkah di atas sudah dibuktikan keberhasilannya oleh diri saya. Semua guru yang saya gantikan pasti akan melapor, "thanks, ya, De. Murid-murid gue langsung menjerit 'Ma'am jangan gak masuk lagi dong lain kaliiii'.
Tapi tolong jangan bilang-bilang soal ini ke kolega saya dan boss saya. Saya takut kebanjiran order, kalau kolega saya tau. Kalau boss saya tahu, semester besok saya bakalan dikasih kelas-kelas bermasalah. Padahal, satu hal yang menjadi kelemahan metode saya itu adalah... kalau di semester berikutnya mereka menjadi murid saya. Susah kan jaim untuk satu semester!

Sial!

Apa hal yang paling sial yang bisa terjadi bila,
-anda sedang menyupir mobil
-sendirian, tanpa penumpang
-di tengah jalan tol
-macet total
-tujuan akhir masih 30 kilometer jauhnya (waktu normal tanpa macet= 1.5 jam)
-multiple cd player anda macet
-PAS di urutan lagu Ebiet G. Ade, Benyamin S., Trio Macan, Kid songs... (pilih salah satu)

You're Still You

I look up to
Everything you are
In my eyes you do no wrong
I've loved you for so long
And after all is said and done
You're still you
After all
You're still you

-josh groban-
picture: from internet

What the?

What's wrong with my blog?
Why can't I see that blue layout?

HEELLLPP!!!

Psikotes untuk Balita

Tiga minggu yang lalu Hikari mengikuti psikotes di sekolahnya. Iya, psikotes. Untuk anak TK kecil (umur 4 tahun). Dan tidak untuk melamar pekerjaan.
Katanya sih, jaman sekarang udah model anak tk disuruh psikotes...

Si Barb, kawan saya itu, berkomentar heboh. "What? Psychotest? Is he going to work somewhere?!"
Haha. Funny.
Lebih konyol lagi, saya dan Papap juga gak bisa menjelaskan kenapa anak tk kudu ikut psikotes. Walau begitu kami ingin berbaik sangka dan kami berpikir mengenai kemungkinan manfaat dari tes ini.

Di surat resmi dari sekolah Hikari ditulis bahwa psikotes itu memerlukan waktu kurang lebih 2 jam. Wah, bukan main-main nih, pikir kami. 2 jam, gitu loh! Ngapain aja anak tk 2 jam di dalam kelas?

Lalu, hari itu pun datang. Sabtu pagi.
Ada persiapan?
Selain makan pagi dan nonton Dora the Explorer, tidak ada persiapan lain.
Anak tk, gitu loh.

Ketika kami sampai di sekolah, kericuhan sudah dimulai. Entah panitianya yang agak bodor karena ternyata satu kelas tes diisi oleh 20-an anak tk, atau pihak sekolah yang PD karena menaruh segitu banyak anak untuk di tes di dalam satu kelas (ada beberapa kelas). Akhirnya yang terjadi adalah di kelas beberapa anak nangis kencang luar biasa karena tidak mau ditinggal ortunya dan merasa asing dengan wajah-wajah panitia. Sudah begitu, panitia kok membiarkan ortu, kakek-nenek, babysitter, pembantu, dan banyak orang lain nongkrong di depan kelas-kelas itu. Alhasil, di dalam kelas penuh teriakan dan tangisan, di luar kelas penuh obrolan ngalur-ngidul. Saya dan Papap menghindar dan memilih menunggu di area yang berbeda, sementara Hikari duduk nyaman di mejanya sambil ngobrol dengan seorang cewek (itu yang kami lihat terakhir sebelum kami pergi).

Belum 45 menit kami menunggu, saya melihat sosok Hikari muncul di kejauhan.
Eh, itu anak ngapain? Kok udah keluar?
Dengan riang, dia menghampiri kami. "Ayo, Pa, kita ke Junction."
Kami syok.
"Kok Hikari sudah keluar?"
"Sudah selesai belajarnya."
"Ah, yang benar?"
Si Papap langsung menyuruh saya balik ke kelas tes tadi dan bertanya langsung ke panitia. Ternyata Hikari tidak berbohong.
"Iya, bunda. Hikari sudah selesai."
"Ha? Sudah?" Mata saya membelalak menatap teman-teman Hikari yang lain yang masih berada di dalam kelas dan masih sibuk melakukan sesuatu.
"Iya, Hikari sudah selesai lebih dulu. Sudah boleh pulang."

Saya dan Papap tambah syok. Waduh, what did he do?
Sewaktu kami tanya ke anak kunyil itu tentang tesnya, jawabannya singkat. "Aku menggambar balon. Ada seribu balonnya, Ma. Banyak."
Berjam-jam saya, Papapnya, Eyangnya menginterogasi Hikari dengan berbagai cara dan bahasa. Jawabnya tetap sama: Menggambar seribu balon.
Kami tak percaya.

Sungguh, kemarin kami baru merasa berdosa tak mempercayainya karena ternyata Hikari jujur. Tesnya memang hanya menggambar, dan ia menggambar balon. Seribu, seratus, sepuluh, siapa yang tau?
Dan apa hasil tesnya?

Hikari tetap normal dan gak ada keanehan. Papap sampai mengerutkan dahi. Ke-bodor-an Hikari ternyata tak terdeteksi. Yang membuat kami luar biasa takjub adalah hasil tes itu bertolak belakang dengan hasil pengamatan kami dan hasil pengamatan gurunya (yang baru diberikan ke kami oleh si guru pada akhir semester lalu). DAN, hanya dari hasil menggambar saja, si panitia psikotes bisa memberikan prediksi personality Hikari sebanyak 2 halaman penuh! Kami memang bukan ahlinya sih dan mungkin kami (plus gurunya) bisa salah mengambil kesimpulan tentang anak kami sendiri, tapi.... 2 halaman? Dari 30 menit menggambar? Satu gambar? Dengan kondisi hiruk pikuk begitu? Please?

Contohnya: Kalau lihat dari gayanya belajar dan kemampuan matematikanya (gen ini bukan diturunkan oleh saya), terlihat bahwa dia Left-brain dominant banget. Tapi di tes itu ternyata disebut dia Right-brain dominant. Ada lagi hal-hal lain dari hasil tes itu yang membuat saya dan Papap saling bertatapan selama beberapa menit yang sama sekali tidak ada unsur romantisnya.

Ternyata kami tidak sendiri. Maksudnya tidak sendiri bertukar-pandang-tak-romantis itu. Satu aula penuh orang tua berebutan memprotes panitia dalam acara 'Penjelasan Hasil Psikotes' itu. Semua punya keberatan yang hampir sama.
"Anak saya ditulis jenius. Tapi apa saya bisa percaya dia jenius dengan cara tes begini? Hanya dari satu lembar gambar, anda bisa menyimpulkan begitu? Anda bisa punya hasil 2 halaman penuh?"
Lah, yang ditulis jenius aja protes apalagi yang ditulis luar biasa tak biasa...
Sekali lagi kami tak ikut ribut disitu. Kami kan pecinta damai.

Pulang dari acara itu,
"Pap, cari second opinion?"
"He-eh." Ngangguk. "Segera."
"Trus anak ini untuk sementara mo diapain?"
Papap mengernyit memandangi anak semata wayangnya itu. Yang dipandangi malah mengedip-ngedipkan matanya sambil tebar pesona.
"Mungkin kita yang harus di tes sama psikiater, kali."
"Kita? Kamu, kali," jawab Papap dengan muka lurus.

Susah Sedih

"Low point. Low point," kata Kate Winslet sambil menampar pipinya dalam The Holiday ketika ia baru mencoba bunuh diri.

Beberapa minggu terakhir, saya juga berada dalam titik terendah dalam hidup. Dimulai dari hal-hal kecil, berpuncak pada sakitnya Hikari, dan sampai sekarang masih tersisa rasa-rasa pahit. Sialnya, saya termasuk orang yang tidak bisa mengeluarkan rasa sedih. Apalagi membagi kesedihan. Setiap kali saya ingin curhat mungkin sambil nangis bombay goyang India, saya langsung kecil hati. Pikir saya: 'segitu aja kok udah KO. Masalah orang lain jauh lebih besar, bo'. Begitu. Satu-satunya orang yang ketiban sial pernah di-curhat-i sembari nangis oleh saya hanya kawan saya si Mbak'e. Itu juga mungkin karena dia seorang psikolog makanya saya bisa mengumbar air mata. Bawaannya pengen ngadu aja kalo ketemu orang berprofesi demikian.

Tapi, hanya sekali itu saja! Bukan apa-apa. Setelah saya puas nangis kejer di depan Mbak'e, saya jadi malu sendiri. Lah, kalo ngomong soal MASALAH, si Mbak'e itu punya masalah jauh lebih besar dari saya sampai membuat rambutnya berubah warna tanpa perlu ke salon. Sedangkan masalah saya hanya keciiilll... bila dibandingkan dengan masalahnya. Saya pun langsung stop sedih pada saat itu juga. Malu, coy.

Nah, kemaren itu saya rasanya pengen nangis kejer lagi, pengen teriak+tantrum, pengen lempar-lempar barang, pengen nabok kanan kiri, pengen melatih jurus pencak silat, pengen curhat. Tapi sekali lagi, belum sempet keluar rasa sedih dan frustasi, saya sudah keburu memberangusnya. Takut ge-er, merasa punya masalah paling besar sedunia. Apalagi -apalagi nih- beberapa minggu belakangan faktanya orang yang punya masalah jauh lebih besar dari saya itu jumlahnya ribuan.

Gak lucu aja kalo...
Kriinnngg...
"Halo, teman? Lagi sibuk gak? Hiks. Gue mau curhat nih."
"Halo juga. Sibuk? Enggak. Gue lagi kongkow-kongkow aja."
"Kongkow-kongkow? Enak bener. Dimana?"
"Di atap rumah."
"Hah?! Ngapain lu diatap rumah?"
"Ngeliatin banjir di bawah kaki gue."

Mau nyoba teman lain di hari lain juga rasanya gak mungkin...
Kriinnngg...
"Ya, De?"
"Lagi apa, say? Hiks. Sibuk? Hiks."
"Nnggg... gak juga sih. Kenapa?"
"Gini loh, gue kan la..."
Tuuuut
"Bentar ya, De. Gua ada panggilan masuk."
"Lagi sibuk kan lo."
"Gak. Hanya lagi nunggu kabar dari Tanjung Priok."
"Hah?"
"Iya, sodara gue kemaren naik kapal Lavina itu..."

Apa gak susah buat sedih saya itu?
Apa gak di-kemplang-i orang banyak kalo saya ngaku lagi sedih dan frustasi?
Nasib...

Bahkan, mau curhat ke orang-orang di rumah ini malah lebih susah lagi.
"Ma, aku sedih banget deh. Hiks. Aku..."
"Gitu aja sedih! Kamu tuh jangan sedikit-sedikit masalah diambil pusing."
"Aku kan belum ngomong apa-apa?"

atau
"Pa, aku lagi sedih nih."
"........................"
Salah objek. Mantan komandan pasukan gak punya cukup training dan pendidikan untuk memberi ekspresi yang tepat pada seseorang yang berkata dia sedang sedih.

Curhat ke adik saya?
Mendingan bunuh diri.

Ke pembantu?
Mendingan bunuh diri lalu bunuh diri lagi.

Ke Papap? Ini kejadian nyata. Saya kirim sms.
Pap, aku capek lahir batin. Bla bla bla... Bisa darah tinggi kalo begini caranya.
Tut tut... sedetik kemudian reply Papap masuk ke hp.
I love you , too.
Langsung cari golok.

Curhat dengan Hikari?
"Ri, mama lagi sedih nih..."
"Mama sedih? Huaaaaaaaaaaaaa (nangis kejer)... Mama jangan sedih, nanti Hikari sedih juga. Huaaaaa (nangis kejer)."
"Deeee! Itu anaknya diapain?!" teriak si Mami dari lantai bawah.

Saking frustasinya saya karena saya gak bisa mengeluarkan rasa frustasi-sedih-penat saya itu, saya bergerilya ke teman-teman yang lain. Saya pikir satu-satunya cara untuk keluar dari Sedih dan Susahnya Sedih adalah dengan Menyepi.

"Dung, ada kerjaan yang butuh ngirim orang ke luar kota seminggu dua minggu gak?"
"Banyak lah."
"Gue mau dong."
"Gue cuma bilang banyak. Gue gak bilang kalo gue bisa ngasih kerjaan begitu."

Mending cari orang lain daripada terjadi pembunuhan dengan penganiayaan berat.

"Bo, elu masih jadi interpreter sewaan kan?"
"Masih. Knapa?"
"Ada kerjaan buat gue gak? Gue mau dong kalo ada kerjaan di luar kota seminggu dua minggu."
"Kalo ada, udah gue ambil duluan kali."

Dasar! Sama orang sedih kok masih gak mau ngalah...

Thank You

Thank you, friends, for your birthday's wishes. Your wishes have surely cheered up my day. By the way, no need for the Belated word. It's on the 8. The Upacara Girang Sukma performed by Nenek Remaja was conducted one day early after my request. I couldn't wait for her to kill me...
THANK YOU! THANK YOU!

Afraid No More

First day of the month.
An announcement was put on the information board.
THIS MONTH'S BIRTHDAY'S PEOPLE, it said.
People gathered in front of that white piece of paper.
Fingers were pointing at dates, and then at names.
Cheers were heard.
A name was mentioned.
A face was screamed at.
"Next week, it's yours!"

I bowed. To them.
From all those names, only one name was lunged out?
I tried to beam.
I tried.
Excitement escaped me.
Skepticism, though, haunted me. It still does.
Simple reasons.
Bad lucks always come to me on that day.
They just happen.
Just my luck.

This week is no exception.
My glass is full.
Yet, water is still poured into it.
Oh, I see bad luck coming. I can even smell it.
I ran to Nenek Remaja and asked for help.
Kill me, I begged.
She comes from water too. She must understand.

I tried to inhale.
And tried to exhale.
I closed my eyes.
Enjoying the killing.
And out of the blue, I got...
a too-early phone call,
a too-early book gift,
a too-early kiss,
and too early cheers.

Tears are running down my face, now.
I feel peaceful.
I feel... I understand.

The early killing made the soul reborn.
The early phone call lifted the black clouds.
The early gift stopped the pouring water.
The early cheers colored my world.

"Come, O, the number 8."
"You may bring your chariot full of bad lucks for I am not afraid anymore."
"I have friends and sunshines. What do you have?"

Little things... that kill you

Semuanya hanya hal-hal kecil.

Anak balita yang tiba-tiba ngintil gak mau melepaskan pegangan.
Pembantu yang pinter masak tapi gak pinter membujuk anak.
Si Mami tiba-tiba punya ide untuk melakukan Spring Cleaning Day (baca: mengubah saya menjadi upik abu).
Si Babe yang kumat sakitnya sehingga gak bisa gantian jadi supir.
Janji si A, B, C yang sudah lewat deadline tapi tak kunjung direalisasikan.
Si Papap yang saking sibuknya jadi pergi setelah sholat shubuh pulang selesai orang-orang sholat witir.
Tetangga yang iseng bertanya kenapa saya gak pernah ikut arisan (yang diadakan jam 4 sore!).
Masalah kantor yang sebenarnya secuil tapi jadi segede gajah.
Pemulung yang tiba-tiba kehilangan tenaga sehingga gerobaknya terlepas dan melesat menabrak mobil saya.

Tambahkan hal-hal kecil itu dan itu lagi dan yang ini sedikit demi sedikit demi sedikit demi sedikit....

"Nek Fitronk, can't you just kill me now?"

Balada dah...

Lewat mitnait,
anak baru aja molor,
mata berat,
badan pegal,
iler hampir netes,
alarm berbunyi....

Waktunya bikin latihan buat murid-murid besok hari.

Kill me please...

Blogger Templates by Blog Forum