To Tokyo To Love - Grab it!



Okay, it's official now.
Hari ini novel kedua saya sudah beredar di toko buku, terutama di Gramedia Bookstore.

Novel ini saya tulis di minggu pertama saya pulang ke Jakarta setelah bermukim selama 2 tahun di Jepang dan terutama akibat tinggal di Tokyo selama sebulan. Saking seringnya naik kereta di Tokyo, saya tidak bisa melupakan bau kereta-kereta di Tokyo dan campur aduknya perasaan saya setiap kali naik kereta di kota itu. Pemandangan kota dengan gedung-gedungnya, kebiasaan orang Jepang yang selalu duduk di kereta dengan khidmat, rasa tersenggal-senggal karena mengejar-ngejar jadwal kereta supaya tidak ketinggalan... semua saya serap seperti spons. Dan, begitu saya tiba di Jakarta, kenangan itu, bau itu, begitu memuncak... lalu, lahirlah novel ini.


Proses lahirnya novel ini lumayan panjang dan berliku juga. Awalnya novel ini saya tulis dalam bahasa Inggris. Alasannya semata-mata karena ide-ide yang berhamburan di kepala saya saat itu dalam bahasa Inggris. Ketika draft novel ini jadi, penerbit saya meminta saya menuliskannya dalam bahasa Indonesia, dengan beberapa alasan. Akhirnya, jadilah novel ini berbahasa Indonesia. Sampai sekarang saya masih bermimpi untuk bisa menerbitkan versi bahasa Inggrisnya. Mudah-mudahan nanti ada jalannya. Wish me luck.

Saya juga berhutang terima kasih kepada beberapa orang. Satu orang yang harus saya sebutkan disini saking pentingnya perannya dalam memberi kritik dan kasih sayang (hehehe) adalah Nenek FM. Dia itu lah kelinci percobaan saya. Saya pernah memberinya draft/naskah ini yang belum jadi untuk dinilai. Hasilnya? Dia muntah-muntah...
Eniwei, Nek, thanks for everything. The truth is always motivationally encouraging when it comes from you.
Lalu, ada Barb dan Je yang juga saya jadikan kelinci percobaan. Hasilnya? Gagal total! Mereka menyerah pada bab pertama (si Je malah pada paragraf pertama) dengan alasan klise: sibuk! Halah!
Setelah mereka, saya kapok meminta orang lain untuk jadi kelinci percobaan. Jadi yang saya lakukan adalah memasukkan naskah ini ke penerbit dan kemudian memaksa dua teman saya: Romo dan Raatje untuk membuatkan kesan-kesan singkat tentang saya sebagai pengganti halaman biografi mini. Herannya, tanpa pernah membaca naskah ini sebelumnya, mereka mau aja membuatkan kesan singkat tentang saya?! Ck ck ck...

Well, akhirnya, buat para hadirin yang terhormat, cepat-cepatlah pergi ke toko buku dan membeli novel ini. Lalu, jangan lupa tinggalkan komen tentang novel ini disini. Hehehe... Tiada kesan tanpa kehadiran anda semua. Makasih ya, semua!

Ps: untuk Pak Dhe, ditunggu aja janjiku. Tapi muntah tidak dijamin yak kekekeks...

Plan B

Dalam satu wawancara, perempuan manis salah satu anggota AB Three ini pernah bilang kalau dia tidak pernah bisa keluar rumah tanpa membawa pinsil alis. Kalau sampai si pinsil alis ini ketinggalan, mood-nya bisa kacau seharian. Suatu obsesi yang aneh atas pensil alis, menurut saya. Tapi toh saya tidak bisa menghinanya karena saya sendiri punya obsesi yang aneh pada sisir.

Saya cuma punya satu sisir. Warnanya oranye. Sisir itu sisir plastik bergigi. Bukan jenis brush atau sikat. Dan sama sekali tidak kinclong mengilap mahal. Tapi kalau menyisir rambut saya... Wuiiiih, hebat sekali. Saya langsung merasa cakep! Tidak ada satu sisir lain pun yang bisa menandingi kehebatan sisir oranye itu!
Saya mencuri sisir itu dari si Kumendan, bapak saya, sewaktu saya masih SMP. Si Kumendan yang punya obsessive compulsive berlebihan terhadap barang-barang miliknya, jelas (waktu itu) terlihat ingin ngamuk. Tapi demi melihat mata saya yang berbinar dan kerelaan saya mencuci dan menyimpan sisir itu, si Kumendan mengalah. Dari SMP sampai sekarang si sisir masih saya simpan dan pakai. Waktu kami pindah ke Jepang pun saya bawa-bawa itu sisir. Sewaktu minggu lalu si Mami melihat saya mengeluarkan sisir dari tas saya, si Mami serta merta menjerit syok.
"Ya Alllllllaaaaaaaaaaa, itu sisir butut jelek masih disimpan-simpan aja! Buang!"
Jelas, saya tidak menuruti kata-kata beliau. What else is new, right?

Sisir itu memang sudah butut. Walau warnanya masih oranye, giginya sudah hilang 5. Bayangkan! Bayangkan apa yang dipikirkan orang kalau saya nekat menyisir rambut di tempat umum (toilet umum, bis, kereta, pesawat...) dengan sisir oranye itu! Gile nih cewek, tasnya sih kulit buaya, gayanya sih kosmopolitan, ngomongnya sih cas cis cus bahasa Inggris, tapi liat dong sisirnyaaa...

Sisir itu sudah berkali-kali hilang. Tapi selalu ketemu lagi. Emang jodoh kayaknya. Pengalaman sisir oranye itu hilang yang paling dramatis adalah sewaktu kami masih tinggal di rumah tua di Halim. Sisir yang saya jelas-jelas letakkan di meja rias tiba-tiba raib. Habis lah saya puas menuduh semua orang yang ada di rumah, termasuk Hikari yang masih berumur bulanan. Tidak ada yang mengaku. Malah semua orang menyukuri hilangnya sisir oranye butut itu. It was about time I healed myself, kata mereka. Si Mami malah jelas-jelas tersenyum puas. Saya meradang. Lalu saya ingat. Penghuni rumah itu bukan cuma kami sekeluarga. Ada penghuni lain yang tak terlihat yang sering menyembunyikan barang-barang di rumah kami. Dan dia itu bukan tikus! So, you want to know what I did?
Di kamar, di dekat meja rias itu, saya berteriak mengancam!
"Woooiiiii, jin sialan! Kembaliin sisir gueeeee! Gue butuh sisir itu sekarang! Kalo sampe besok pagi sisir gue gak balik, awas lu!"
Ajaib sisir saya balik sebelum 24 jam!
Mau mencoba?

Nah, sekarang kita ke pokok masalah sebenarnya.
Kalau si penyanyi tadi tidak bisa meninggalkan rumah tanpa pinsil alis, saya tidak bisa meninggalkan rumah tanpa sisir satu itu. Kemana-mana, sisir itu saya bawa. Terutama jelas, kalau saya mau ke kantor. Alasannya bukan karena emotional attachment saya pada si sisir. Ini lebih kepada bencana yang bakal terjadi kalau saya sampai ketinggalan sisir. Alasannya adalah kebiasaan buruk saya.
Setiap hari, setiap mandi pagi, saya selalu keramas. Naaaaaaah, saya punya kebiasaan tidak pernah menyisir rambut basah saya. Saya selalu membiarkan rambut saya kering sendiri. Jadi, bayangkan apa yang terjadi seandainya sisir itu ketinggalan namun saya sudah meloncat ke dalam mobil, memacu mobil kencang-kencang ke kantor, dan sesampainya di kantor, sesaat sebelum membuka pintu mobil dan sesaat setelah melirik spion, saya baru menyadari kalau saya belum sisiran?!
Kejadian begitu terjadi bukan cuma sekali.

Pesan moral saya hari ini adalah harus selalu punya Plan B dalam hidup ini. Segimana pun pahitnya Plan B itu (karena untuk orang perfectionist dan penderita obsessive compulsive, saat mendapatkan Plan A tidak berjalan sempurna seketika itu juga hati ini jadi hancur berkeping-keping dan depresi melanda). Ketika saya lupa membawa sisir sementara rambut saya bertebaran ke seluruh penjuru mata angin, saya harus punya Plan B! Plan B saya adalah masuk ke gedung kantor lewat pintu belakang dan menghilang dari gegap gempita kantor hari itu dengan alasan sibuk. Coba kalau saya tak punya Plan B, anda pasti sudah enek membaca posting saya yang lagi-lagi soal rambut...

A Day to Learn

Ada yang terjadi hari ini di kantor. Dan hari ini bukan Hari yang Seru atau Hari yang Bau. Hari ini bisa dibilang sebagai Hari yang Membuat Hati Sesak. Yaaah, saya kan juga manusia. Tidak setiap hari saya bisa mendapat pelajaran hidup yang bisa membuat saya ketawa.

Beberapa minggu lalu, saya harus melakukan sesuatu dan saya harus melakukannya bersama seorang subordinate saya. Then, something happened when we were working on that thing and I had to make a decision. A fast one. Selesai. Semua beres. Or so, I thought.

Setelah hari itu, beberapa kolega saya meledek saya atas apa yang terjadi dan (keputusan) apa yang telah saya lakukan. Kesian deh, lu. Kata mereka. I took it easy because nothing harm was done. Yang paling menderita dengan keputusan saya ya memang saya sendiri.

Lalu, datang hari ini. Kami dipanggil bos untuk meeting. Tiba-tiba di dalam meeting itu, si bos menyindir seseorang. Beliau menyebut seseorang itu sudah melakukan kesalahan besar dan kesalahan itu bertambah besar lagi karena si orang itu sudah menyeret-nyeret anak buahnya untuk melakukan hal yang sama. I just knew that the boss was talking about me. And I also knew that the boss behaved that way because of something said by one of my colleagues.
Saya bukan pengecut yang tidak bisa menerima teguran. Kenapa harus menyindir?
Ini pelajaran hidup nomor 1 hari ini. Warn people when they make mistakes. Gak perlu nyindir. Menyindir doesn't solve the problem.

Saya bisa menyadari keputusan yang saya buat beberapa minggu lalu dilihat dari kacamata si bos adalah (bisa jadi) suatu keputusan yang bodoh, salah, atau bahkan membahayakan (seseorang). I had to make a decision at that time and I did. If it was a bad decision, I would take the risk. Lalu pelajaran hidup nomor 2 hari ini adalah tidak semua orang bisa percaya bahwa seorang penjahat perang mungkin mau menerima resiko atas kejahatannya. I should have known that.

Kolega si pembisik itu sepertinya menyadari bahwa dia telah membuat saya terusik. Sepertinya, dia juga tidak menyangka si bos akan berlaku seperti yang beliau lakukan. Yang kemudian dilakukan kolega saya adalah membuat alasan. Excuse.
Pelajaran hidup nomor 3 hari ini, sayang, perbuatan bisik-membisik itu tidak perlu, buang-buang waktu, dan seringkali membahayakan. Masih ada manusia seperti saya yang sanggup dihadapi langsung dan dikonfrontasi. Efisien, efektif, dan langsung selesai.

Seusai meeting, saya termenung sendirian di meja saya. Lagipula, kalau ada orang lain, namanya diskusi, bukan termenung. I was asking myself why I was so upset. Toh, saya (kira-kira) tahu konsekuensi dari keputusan saya. Kenapa saya harus kesal?
Diri saya beralasan bahwa saya mungkin tidak akan kesal kalau kolega saya itu menegur saya langsung tanpa perlu berbisik-bisik kepada yang lain.
Tapi hati kecil saya langsung membantah. Pelajaran hidup nomor 4 hari ini untuk diri saya sendiri adalah when you make mistakes, accept them. Don't make excuses. Saya sudah membuat kesalahan. Apapun konsekuensinya saya harus hadapi. Bagaimanapun bentuk konsekuensi itu, juga tetap harus saya terima. Saya tak perlu lagi menenangkan hati dengan beralasan 'mungkin saya tidak akan kesal begini kalau dia melakukannya dengan cara lain'. No excuses.

Then, I made peace with myself.

Hari yang Bau

Setelah sebelumnya kami mengalami Hari yang Seru, hari Kamisnya kami mengalami hari yang lain lagi. Tapi sebelum membaca postingan ini, pastikan saja anda tidak sedang melakukan kegiatan makan-memakan, apakah itu makan nasi, makan lauk-pauk nasi, atau makan orang!

Pulang kantor malam Kamis itu, niat saya untuk berleha-leha sepertinya terlalu ambisius dan sedikit egois. Rumah berantakan, mainan berserakan, cucian baju menumpuk, cucian piring bergeletakan, lantai berdebu tebal tak tersentuh kain pel, kaca-kaca jendela tebal dengan debu, langit-langit penuh dengan sarang laba-laba... Ya enggak lah! Gak gitu-gitu amat nasib kami setelah ditinggal pembantu pulkam 3 hari. Tapi yang pasti, cucian baju memang belum tercuci hari itu karena saya pulang kantor sudah malam.

Kegiatan mencuci baju sebenarnya tidak termasuk kegiatan rumah tangga yang paling saya musuhi nomor satu. Masih ada mencuci piring, ngepel, dan terutama MEMASAK yang jadi my number one no-no kalau pembantu pulang kampung. Tapi, setelah cucian kotor selesai dicuci, baru lah siksaan sebenarnya dimulai: menyetrika!

Malam itu saya punya tumpukan baju-baju kotor calon akan dicuci. Tumpukan itu saya bagi dua: satu tumpuk, saya masukkan ke mesin cuci dan mulai dicuci, tumpukan lainnya saya biarkan di ember untuk sesi mencuci kedua. Sementara itu, jemuran baju yang sudah kering masih bergelantungan di sekitar saya. Saya pun mengaktifkan Survival Strategy mode nomer tiga: Memanggil Papap.
"Be, tolong angkatin jemuran yak. Aku mau mandi."
Yang dijawab dengan manis oleh Papap, "Oke!"
Saya pun mandi dengan tenang.
Di sela-sela acara mandi saya yang lama itu, Papap berseru.
"Mam, sekalian aku lipat dan aku masukkin lemari ya?"
Saya jawab dengan pasti, "Okeeeeeeeeeeeee!"

Selesai mandi, saya lihat Papap sudah hampir selesai memasuk-masukkan baju ke lemari, lemari dia, lemari saya, dan lemari Hikari. Mata saya terantuk pada ember tempat baju yang masih bertengger di depan tivi. Duh, pikir saya, dibuang kemana tuh baju-baju kotor yang tadi gue taro disitu?
"Be, baju kotor yang di ember itu tadi kamu taro di mana? Di atas?"
Papap memandang saya enggak ngerti.
"Baju kotor yang mana? Gak ada baju kotor."
"Yang di ember itu."
"Wah, gak tau deh. Aku cuma ngambil baju yang udah kering."
Ya, bener sih udah kering tapi kan...
"Jadi tadi kamu ngambil baju-baju yang mana dari tempat jemuran?!" Nada saya sudah mulai tinggi sedikit.
"Ya, semua yang ada di tempat jemuran," kata Papap polos.
"Yang digantung di jemuran?"
"Iya, sama yang di ember. Itu baju kering juga ka....n?"
"Aaaaaaaaarrrrrrggggggggggghhhhhhhhhhhh!!!"
"ITU KAN BAJU KOTOR BELUM DICUCI!!!"

Malam itu, saya habiskan dengan mengendus-endus isi lemari-lemari baju. Bayangkan apa yang terlukis di wajah saya begitu saya harus mengendus pakaian-pakaian dalam....

Pesan moral saya kali ini: Pakailah pewangi pakaian saat mencuci baju. Seandainya anda terpaksa harus melakukan kegiatan mengendus seperti saya, setidaknya anda tidak akan sampai pingsan saat melakukannya.

Hari yang Seru

Kemarin sungguh suatu hari yang seru.

Awalnya adalah kepulangan pembantu kami yang sangat mendadak di hari Senin malam yang memaksa saya mengatifkan Survival Strategy mode demi terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang tentram dan lancar untuk beberapa hari ke depan. Banyak Beberapa masalah langsung terbayang di kepala saya: bagaimana caranya Hikari bisa pulang sekolah dengan selamat dan setelah itu makan, tidur, istirahat di rumah sementara saya harus berangkat ke kantor sejak Shubuh karena ada tes wawancara dan training, sementara Papap tidak bisa cuti?

Solusinya? Seperti anak-anak tukang ngerepotin orang tua lainnya, saya langsung angkat telpon ke si Mami.

Untuk sementara satu masalah besar terpecahkan. Hikari bisa ditampung di rumah si Mami. Saya pun berangkat ke kantor dengan hati ringan. Semua rasanya sudah beres. Baju sekolah Hikari, beres. Baju ganti Hikari, beres. Snack Hikari, beres. Makan pagi Hikari, beres. Makan siang Hikari, beres. Makan siang Papap, bisa beli sendiri.

Sampai jam 11 siang, hati saya masih ringan. Tes interview yang harus saya jalani berlangsung lancar. Training juga lancar. Sampai jam 11 siang. Begitu perut saya kroncongan, saya baru sadar: TADI PAGI KOMPOR BUAT MANASIN AYAM UDAH GUE MATIIN BELOM?!

Dunia saya seakan gempa bumi. Saya telpon Papap yang tadi pagi berangkat belakangan.
"Be, tadi sebelum pergi liat-liat kompor gak?"
Jawabnya singkat, "Enggak."
Okay, that didn't work well.
Saya telpon si Mami.
Tentu saja saya habis diomeli dia!
Tidak menyelesaikan masalah juga.
Saya telpon adik saya meminta dia pergi ke rumah saya.
Kata adik saya, "terus gue liat kompornya darimana? Gue kan gak punya kunci."
Bener juga. And that didn't solve the problem
Lalu saya telpon teman saya yang tinggalnya satu komplek. Saya minta dia melihat apakah rumah saya masih berbentuk rumah.
Untung dia mau.

Begitu sampai di rumah saya (yang pagarnya tentu saja tergembok rapat), si teman langsung menelpon. Dia mengelilingi rumah saya dari sisi luar pagar (sebelah kiri dan belakang rumah saya masih tanah kosong).
"Sniff sniff... De', kayaknya sih gak ada bau gosong... sniff sniff... rumah lo juga masih utuh... sniff sniff... elu udah matiin kompornya kali... sniff sniff... emang elu masak apa?"
"Ngerebus ayam."
"Sniff sniff... Yang ada bau daging kambing... sniff sniff... tetangga lo kali ya..."
Okay, that didn't work well either.
Maka, dengan berbekal Bismillah dan hinaan orang-orang sekantor, saya pun melanjutkan training. Padahal hati ini rasanya pengen langsung terbang ke rumah.

Pulang kantor, sesaat sebelum Maghrib, saya jemput dulu Hikari di rumah si Mami. Saya berhasil meloloskan diri dari ceramah si Mami setelah menginjak gas mobil kencang-kencang meninggalkan si Mami yang berkacak pinggang di depan rumahnya.
Sampai di rumah, Alhamdulillah, saya lihat bangunan rumah saya masih utuh dan tidak gosong. Saya pun bergegas mengambil kunci dari tas dan mulai berusaha membuka gembok pagar rumah yang setinggi satu meter.
Sialan, kunci yang gue bawa SALAAAAHHH!!!
SIALAN, GUE PAKE ROK HARI INI!!!!

Dikeremangan langit sore Maghrib, saya singsingkan rok saya dan mulai memanjat pagar dengan disaksikan Hikari. Begitu sampai di puncak pagar...
"LHO, BU? LAGI NGAPAIN?"
"ADUUUUUUUHHH!"
Tetangga saya itu ya, udah tau saya lagi tengkurap di atas pagar besi, eh, bisa-bisanya disapa!!!

Kejadian kemarin itu menyisakan jari tangan saya yang bengkak karena kejepit pintu pagar dan harga diri yang hancur berantakan...

Oh, ternyata, pagi itu saya tidak menyalakan kompor sama sekali. Dan ayam saya itu? Basi tanpa ampun.

Meminta Tanpa Meminta

Rambut saya sudah panjang -setidaknya untuk ukuran saya. Saya juga sudah gerah. Tapi karena saya orangnya kekeuh (sudah bersumpah untuk manjangin rambut supaya gak disangka embak-embak), saya teteup gak mau potong rambut. Sumpah, I really feel ugly!Bolak-balik, saya menanyakan pendapat Papap tentang rambut saya.
"Bagus gak, Be?"
"Potong gak, ya?"
"Berantakan gak?"
"Cakep gak?"
Kalau saya sudah segitu desperado-nya, saya nanya Hikari juga.
"Rambut mama cakepan panjang atau pendek, Ri?"
"He-eh."
Loh?

Setelah hampir 6 bulan, komen Papap masih standar aja: "Iyaaaaaaaaaa."
Loh? Ditanya bagus atau enggak, jawabnya iya. Itu kan double answers.
Atau diplomatis?

Tadi, 15 menit yang lalu, Papap lagi nonton event otomatif di tivi Indonesia. Saya lagi bengong di depan komputer. Seperti biasa. Tiba-tiba Papap manggil.
"Ma, sini deh. Liat presenternya."
Saya masih cuek. Gengsi dong disuruh liat-liat cewek laen. Emang gue cewek apaan?!
"Ma, liat presenternya deh. Rambutnya bagus tuh."
Saya penasaran juga. Saya beranjak ke depan tivi. Yang ada di layar tivi adalah bapak-bapak setengah baya yang botak.
"Hah?"
"Bukan. Bukan dia. Tunggu bentar."
Sedetik kemudian tampang presenter itu muncul.
RAMBUTNYA PENDEK!

Oh iya, sebelum saya balik ke ngambek-mode-on, saya cuma mau promosi aja.
Novel kedua saya akan segera beredar. Judulnya To Tokyo To Love (link menyusul ya, kalo udah kaleman dikit hehehe). Cepet-cepet ditungguin di Gramedia yak! Kalo hari ini belom ada, dateng lagi besoknya. Besoknya belom ada, dateng lagi lusanya. Pokoknya caranya begitu deh biar gak keabisan...

That Pesta Blogger...


The party is over. Now, I guess, I'm left with moral responsibilities to tell you how the party was, how my impression is.

I didn't stay until the last session. I left after lunch because my friends had some boring things to do (haha!) and I had to be back with Hikari who has a mild fever.
Anyway, for this PB08, I can't help comparing between the first and the second parties. Of course, still they both are incomparable by nature.

First, I cannot say that this year Pesta Blogger was attended by more people than the previous party. The PB08 was still crowded with people. Besides, I'm not good at numbers, I don't want to be held responsible for any statistic mishap. One thing for sure, the number of sponsors was overwhelming yesterday. We all got nice souvenirs and a lot of junk fliers. I especially love the paper bag printed with Pesta Blogger symbol on it. I collect paper bag, indeed.

The place where the PB08 was held was I thought more convenient for gathering than the previous place. The room had a balcony. Now, this is the tricky part. Most people who chose to sit in the balcony couldn't really pay attention with the discussions below (on the stage). My friends and I were no exception. We were busy taking pictures, chitchatting, gossipping, clapping hands... you name it. The problem was there was a considerable distance from the stage to the balcony. In the balcony, we were safe to do whatever we wanted to do. If you didn't feel like listening to the discussions and had an urge to take pictures, chitchatting, the balcony is your place of refuge.

This year Pesta Blogger also had more formal discussions, not to mention the speeches. As a teacher, I was used to speeches and discussions. Not necessarily loving them, though. As for other bloggers around me, I couldn't say the same thing. It was kind of sad (like the Oh-I-wish kind of sad), considering the discussion with the foreign bloggers was actually interesting. I also wish the moderator could dig deeper when the foreign bloggers were talking, not just asking how they felt about being in Indonesia. It's so tourist-ish. And probably, for the next time, the committe could figure out some formats of discussion that can engage most participants. To tell you the truth, speech -the formal one- is not one of them.

And then there is one thing: The theme of PB08 is Blogging for Society. It's really an interesting topic. Unfortunately, until the end of the first session (before lunch break), I couldn't get what actually the committe wanted by having that theme, or what they wanted the bloggers to do with the theme. Or may be I missed it? Shouldn't they have told us what Blogging for Society was? Or why? or How? Probably it's just in my nature to ought to have everything clear, explained, directed. I kept waiting the time when the committee would tell us, "Okay, guys, so now you know what Blogging for Society is. Then, go out there and do it!" You know, a kind of mass action. For the betterment of our country, of course.

Lunch, on the other hand, was in a better arrangement than the previous year (hahaha...). I guess the committee finally realized that in event like this, you simply cannot have a serve-yourself (buffet?) lunch.
All and all, I had a great time. I met friends from the previous party. I met new ones too. I even managed to take a picture with the chairman (*chuckled*). My rombongan sirkus also came, although two of them couldn't make it (your loss, guys). We even had a resolution to set up a blogger community (hopefully, this is not just a resolution). I went home with stories for Papap (he couldn't attend because one of us had to take care of Hikari).

Yes, this year's party has an air of more formality (and some complained about it) but it has more detailed arrangement. Most things were nicely and neatly in order. I wish I could stay longer. In the end, BRAVO for the committe! Good job!

And for those who were present in spirit and wishes, I wish you were there with us too!
Pesta Blogger

My rombongan sirkus: Sitha si baju coklat and Kenny si kaos putih. We disconnected our line with the office for the day. Well, at least two of us did and one of us tried to hahaha...


With Sir Mbilung. Unfortunately I didn't have a chance to meet NengJeni. Another time, mbak?

Jawab dong!

Adalah si Santi, seorang ahli multilingual sekelas rocket scientist, yang sering mencekoki kepala saya dengan ide-idenya yang brilian. Sebelum hari ini, kalimat terakhir dari dia yang saya ingat adalah, "Elu jangan mati dulu, Dep. The country needs people like you." Ya ampuuuuunnn... That's what I call a motivational speech!
Tadi siang dia kembali ke layar YM saya dengan satu pertanyaan dahsyat, "kenapa sih elu gak pernah ngebales komen orang di blog elu?"
Saya langsung speechless.

Pertanyaan yang susah dijawab. Apalagi karena di depan saya lagi ada boss...

Sebenarnya, Jeng Santi bukan orang pertama yang bertanya tentang hal ini sih. Cuma, dia yang pertama kali bertanya plus memberi background reasons atas pertanyaannya.
Kenapa ya saya gak jarang merespon komen pembaca blog saya?
Jawabannya sebenarnya sederhana:
1. Koneksi internet saya itu paling banter cuma bisa buat ngebaca komen. Kalau mau ngebales, ya ampuuuuuun, dodolnya setengah mati.
2. Memang awalnya saya punya konsep, atau prinsip, atau konsep plus prinsip bahwa ruang tempat pembaca berkomentar adalah ruang bebas intervensi. Maksudnya, seperti blog saya yang isinya benar-benar sesuai isi jidat saya tanpa pembaca boleh protes *grin*, ruang komentar juga ruang tempat pembaca bersuara sesuka hatinya tanpa saya ikut protes. Jadi, sehabis membaca komen para pembaca, saya ketawa-tawa sendiri, ngedumel-dumel sendiri (tapi berkeras hati gak mau intervensi), mikir-mikir sendiri. *sungguh egois!*
Lalu gimana dong kalo ada pembaca yang berkomentar keterlaluan? Ya, kalo saya gak setuju, saya bikin posting khusus untuk mengomentari komentar si pembaca tadi.
Tapiii, sumpah, saya selalu membaca baik-baik semua komentar pembaca. Kan seneng kalo ada yang isi komen. Kesannya jadi ada yang baca blog gue, gitu loh hehehe...
3. Tadinya, dibandingkan dengan menjawab komentar pembaca di blog (lihat alasan no. 2), saya juga lebih memilih untuk berkunjung ke blog-blog pembaca saya. Alasannya juga karena koneksi internet yang berharga banget sehingga saya harus memilih mau ngapain nih gue begitu koneksinya nyambung supaya gak kena jebakan batman. Selain itu, saya merasa sudah kewajiban saya untuk membalas kunjungan. Etiketnya begitu. Tapi, seringkali koneksi internet menjadi penjahat atas niat mulia saya... *hayah*

Tapi, tadi siang Santi memberi saya alasan-alasan yang sangat luar biasa untuk disanggah. Katanya: Kalo saya pergi ke blog pemberi komen kan isi postingannya beda. Kalo komen pembaca gak dijawab di blog (saya) sendiri, gak akan terjadi diskusi. Topiknya jadi nganggur. Padahal diskusi itu kan salah satu alat mencerdaskan bangsa (bo'ong deh, yang terakhir ini saya yang nambahin).
Itu satu alasan penting dari Santi yang saya ingat. Dia tadi nulis banyak juga soalnya. Dan, jangan lupa ada faktor boss yang berdiri di depan saya. Eniwei, saya terkesan dengan alasan-alasan yang tadi dia kasih ke saya. Dia sungguh... seorang pendidik sejati!

Well, let me tell you something, San. What you said is another way of seeing things. I might agree with you .
Kalau anda sendiri, bagaimana perlakuan anda terhadap komen di blog anda?

Hikari...

Hikari tampil ngegaya. Disini juga ada. Giginya sudah hilang 3 *meratapi wajah ganteng anakku* tapi teteup pengen gaya.

Berdandan lah, wahai para ibu dan tante!

Para bapak, ibu, dan tante atau om dengan keponakan, jangan berbangga dulu kalau punya anak atau keponakan yang ganteng, cantik, lucu, berkulit putih halus, mirip orang Eropa, dsb. Sebelum anda sekalian berbangga hati, nasehat saya, sebaiknya anda berkaca dulu. Mirip gak tuh anak sama anda....

Hikari yang putih dan sipit itu bagi saya jelas anak paling ganteng sedunia. Kalau sudah begitu, rasanya kemana pun dia pergi, saya mengikuti dia dengan dada membuncah saking bahagianya. Sewaktu pertama-tama tiba di Jepang, dada saya masih membuncah. Sebulan kemudian, setelah adik bungsu saya yang ikut menemani kami pindahan ke Jepang kembali ke Jakarta, si Mami menelpon saya.
"De', udah jalan-jalan kemana aja?"
"Kesana kesini kesana..."
"Kalau jalan-jalan, jangan lupa dandan ya."
"Dandan? Tumben Mami ngomongin dandan."
"Iya. Jangan lupa dandan."
"Kenapa memangnya."
"Iya. Jangan lupa dandan!"
"Iyyaa. Tapi kenaapaa?"
"JA-NGAN LU-PA DAN-DAN!"
"IYYAAA. Tapi kenapaaaa?!"
"Anak kamu kan putih..."
"Terus?"
"Sipit..."
"Terus?"
"Cakep..."
"TERUUUS?"
"Kayak anak Jepang..."
"..................."
"KAMU KAN ITEM! KALAU JALAN SAMA DIA, KAMU DISANGKA PEMBANTUNYA, TAU!"
Kalau adek bungsu saya ada di dekat saya saat itu, benjol seribu pasti kepalanya saya pentung! Ternyata dia laporan sama si Mami kalau saya, Papap, dan Hikari berjalan-jalan di jalanan Jepang, kami lebih mirip gambaran seorang ayah Jepang dan anaknya yang sedang berjalan-jalan bersama pembantunya yang seorang TKW asal Indonesia...

Cerita sedih ini ternyata bukan milik saya seorang.
Sebut saja Nona Y. Seorang perempuan akhir 30-an, berdarah Arab, berkulit hitam, dengan tubuh pendek. Dia punya keponakan lucu cantik mirip orang Arab sejati yang berkulit putih mulus, berhidung mancung, bermata bulat cantik, berbulu mata lentik.
Suatu hari, si Nona Y yang pecinta anak-anak ini mengajak keponakannya jalan-jalan di mall. Dasarnya memang pecinta anak, aura Nona Y yang terlihat di mata orang memang sangat penuh kasih, penuh perhatian, penuh cinta.
Tiba-tiba dia didekati seorang ibu-ibu.
"Mbak, dari yayasan mana?"
"Hah?!"
"Dari yayasan mana? Saya mau cari baby sitter yang perhatian kayak mbak."

Mau ketawa, tapi saya gak tega...

Persepsi!

Kami berdiri berdampingan di depan stan penerbit & penyalur buku-buku dan ensiklopedia import. Sambil ngeces.
Sang teman membolak-balik lembaran ensiklopedia impor yang mengilat.
Saya mendengarkan si penjual mempromosikan kecanggihan barang jualannya.
"Ini berguna sekali, bu. Kalau Ibu pesan sekarang, saya kasih diskon 20%."
Sang teman melirik saya.
"6 juta 5 ratus. Murah, bu, dengan diskon."
Teman saya keselek.
Saya mengangguk-angguk.
"Bisa dicicil juga, bu. Cicilannya... bla bla bla.."
"Bisa pakai credit card juga, bu."
Saya mengangguk-angguk.
Teman saya batuk-batuk.
"Gimana, bu? Pesan sekarang?"
Saya berdehem. "Saya minta kartu nama mbaknya deh. Minta brosurnya juga."
Wajah si penjual langsung berseri-seri.
Kami meninggalkan stan begitu kartu nama dan brosurnya ada di tangan saya.
2 meter dari stan, teman saya menyikut.
"Gila lu, mau beli?"
Saya meliriknya.
"Siapa yang bilang mau beli?"
"Lah elu tadi minta brosur?"
"Emang gak boleh?"
"6.5 juta mahal, tau!"
"Yang bilang murah sapa?"
"Lah elu tadi kalem banget waktu disebutin harganya! Gue aja hampir copot jantung."
Saya menghadapkan diri ke muka teman saya.
"Coy! Miskin boleh aja. Itu realitas. Tapi kan kita gak perlu nunjukin ke orang laen kalo kita miskin..."

Pesta Blogger 2008: Past & Future

Sudah siap ke Pesta Blogger 2008, teman-teman?
Sudah beli baju baru? Booking salon? Nyari PP (Pendamping Pesta)? Minjem peta lokasi pesta? Survey lokasi? Sudah siaaaaaaaap???

Saya belum.

Ada yang berbeda mengenai PB08 ini buat saya pribadi.

Pertama, tahun lalu saya sudah heboh sekaligus deg-degan sendiri jauuuh sebelum pemesanan tiket pesta itu dibuka untuk umum. Tahun ini, sehubungan dengan koneksi internet saya yang byar pet, saya baru tahu tentang pesta ini PAS tanggal pemesanan tiket dibuka! Kok beruntung sekali! Coba bayangin kalau saya tahunya baru bulan depan. Siapa yang rugi coba kalo saya enggak ikutan? (Ya, saya sendiri lah. Itu sudah pasti!)

Kedua, tahun lalu saya dapet undangan *pipi bersemu merah, if that's possible*. Tahun ini... masih untung saya enggak telat daftar!!!

Ketiga, tahun lalu si Nenek FM gak dateng. Tahun ini... Keep on dreaming, yeah, baby...

Keempat, tahun lalu saya datang ke pesta tergesa-gesa dari kantor, kehilangan menit-menit penting pertama, hp jatuh di lantai marmer dingin sampai case-nya bubar berantakan, pulangnya enggak dapat bis. Tahun ini, saya bersumpah tidak akan mau dipaksa masuk kantor! Tidak akan mau berangkat dari kantor! Saya juga sudah menyeret Papap untuk ikut daftar di pesta. Untung dia dapat tiket juga... *lega*

Kelima, tahun lalu saya celingukan di ruang teater yang temaram tanpa tahu mau duduk dimana, duduk disebelah siapa, siapa yang duduk di sebelah saya. Tahun lalu saya benar-benar pejuang solo karir. Tahun ini saya bersumpah tidak mau celingukan lagi! Setidaknya, tidak sendirian! Jadi, saya mengajak rombongan sirkus dengan pemain A, B, C, D supaya saya bisa sok sombong (udah sok, sombong pulak) njelasin ini itu kepada rombongan sirkus saya tadi itu tentang bedanya PB07 dan PB08. Kan mereka anak baru.... Persoalan hari Senin di kantor saya disumpah-sumpahi mereka, saya pikirin belakangan saja.

Sekarang, baru lah saya siap-siap...

Expectation. Yours truly.

Dulu, duluuuu banget, sewaktu saya masih umur-umur SMP dan SMA, si Mami selalu mengomeli saya setiap kali beliau mendapati saya sedang uring-uringan karena kecewa. Kecewa terhadap tingkah laku, perlakuan orang kepada saya.
Ya. Saya memang seringkali marah, kecewa, ujung-ujungnya uring-uringan sakit hati setiap kali ada orang yang seenaknya membatalkan janji atau mengingkari ucapannya pada saya.
Seorang tante yang (lebih dari 3x) secara last-minute membatalkan janji dengan saya.
Seorang kerabat lain yang (juga lebih dari 3x) menarik ucapannya.
Seorang teman yang (bolak-balik) cuma bisa janji-janji untuk ini itu.
Berbeda dengan banyak orang yang menganggap pembatalan janji tanpa alasan, penarikan ucapan tanpa rasa tanggung jawab, pengumbaran kata-kata tanpa nilai-nilai, pemberian janji tanpa niat untuk melakukannya itu suatu hal yang biasa, lumrah, tak perlu dimasukkan hati, saya tidak bisa melihat kelumrahan dibalik semua itu.
Saya bisa termangu-mangu.
Berpikir keras tentang alasan logis yang -menurut saya- harusnya ada.
Lalu, menangis diam-diam.

Menurut si Mami, sebagai manusia, saya terlalu punya ekspetasi tinggi terhadap manusia lain.
Menurut si Mami, saya terlalu menganggap tinggi nilai-nilai para manusia.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu (berusaha) lurus dan baik, saya jadi menganggap atau mengharapkan orang juga selalu lurus dan baik.
Menurut si Mami, hanya karena saya selalu menepati janji, saya berharap orang lain juga menepati janji mereka.
Menurut si Mami, hanya karena saya bekerja keras, saya berpikir orang lain juga harusnya melakukan hal yang sama.
Menurut si Mami, saya itu.... antara bodoh dan naif...
Si Mami, sebagai seorang ibu, benci melihat saya sakit hati.

Sejak dulu, si Mami selalu menasihati (dengan nada yang enggak bisa dibedain dengan ngomel-ngomel) saya supaya tidak terlalu polos. Tidak terlalu melihat dunia dengan nilai kesempurnaan yang tinggi.
Kalau berjanji, harus ditepati.
Kalau berkata, harus ada integritas.
Kalau berpikir, harus logis.
Kalau berjiwa, harus manusiawi.

Saya berusaha. I could say I did. I tried very hard.
But, I failed.

Saya kembali menjadi saya.
Yang melihat dunia dengan kepolosan.
Yang memandang manusia dengan ketinggian nilai-nilai integritas.
Yang meminta kesempurnaan dari setiap janji, nilai, pemikiran...
Apa hasilnya?
Saya jatuh.
Bangun lagi.
Jatuh lagi.
Jatuh lagi.
Bangun lagi.
Jatuh.
Kembali jatuh.
Bangun dengan terseok-seok.
Jatuh.
Lalu bangun.
Untuk jatuh lagi.

Si Mami kembali menasihati saya.
Mungkin hati beliau sudah berdarah-darah melihat saya.
Mungkin mata beliau sudah merah menangisi saya.
Tapi satu yang saya tahu pasti.
Jauh di dalam lubuk hatinya,
Beliau bangga pada kegigihan saya.
Untuk berharap pada manusia.

Bukan saya yang harus menurunkan ekspetasi saya kepada manusia.
Ekspetasi saya baik-baik saya.
Biarkan orang lain yang menaikkan nilai dirinya,
untuk memenuhi ekspetasi saya.

Pertanyaan saya sekarang: apakah saya hanya seorang diri?

*untuk teman saya yang hatinya masih penuh pengharapan pada nilai-nilai kemanusiaan. It's still there. Or, at least, I am still here.

Beda Mazhab

Si Papap ketawa ngakak begitu melihat hasil saya nyalon. Kata Papap, saya mirip Polwan, atau Kowad, atau Kowal, atau Wara. Gak ada bedanya sih. Kata saya malah saya mirip Yang Terhormat Ibu Menteri Sri Mulyani.

Awalnya Jumat sore itu sepulang kantor saya harus menunggu Papap pulang kantor karena saya tidak bawa kunci rumah. Sembari menunggu lewatnya mobil Papap, dan daripada saya menunggu di pinggir jalan selama 2 jam, saya memutuskan untuk masuk ke mall. Tapi, 2 jam di mall, sendirian, mau ngapain?! Saya kan bukan model cewek doyan shopping atau kelebihan duit (2 hal itu berkolerasi). Akhirnya saya memutuskan untuk nyalon.

Ada 3 salon disitu tapi yang 2 ada embel-embel 'Salon and Training Center'. Saya melakukan hal yang saya pikir pintar: pergi ke salon ketiga daripada saya jadi korban Training Center.
Di salon ketiga, hairstylistnya bertanya tentang preference saya. Walau rada kaget, saya bilang saya normal. Masih cinta laki-laki. Masih doyan Keanu Reeves (persoalan kata orang Keanu Reeves itu gay, bukan masalah. Itu karena dia belum ketemu gue aja...).
Ternyata, maksud si hairstylist itu saya mau dipotong model apa.... Ya ampun!
Karena sadar salon itu bukan salon langganan saya, saya minta dipotong model yang aman: dirapihkan aja! Gak dipotong pendek, gak pake jigrik, gak perlu jadi kreatif, gak butuh imajinasi. But, you know what she said?
"Mbak, kalau rambut dari pendek mau dipanjangin, jangan dipotong shaggy begini. Nanti jadinya malah berantakan. Mencuat-cuat kesegala arah. Harusnya rambut mbak dipotong sama rata aja."

Waktu itu, saya pikir, "wow, that's definitely new!"
Di salon langganan saya, Mas Herman (hairstylist saya itu) punya paham begini: "Mbak, secara nih ya rambut embak itu berombak, eh, tapinya nih mau dipanjanggggiiin, kita harus potong shaggy. Ka-reee-na potongan shaggy bikin rambut gak keliatan kempes. Trus, shaggy juga bikin rambut gak keliatan berantakan. Kan kesannya sengaja shaggy, begitu. Sengaja diacak-acak..."
Selama lebih dari setengah tahun saya percaya Mas Herman. Kemarin, saya pasrah dengan si mbak pemotong rambut baru itu. Memang sih dengan si Mas Herman saya juga gak jadi lebih mirip Luna Maya. Tapi rasanya saya lebih belum siap jadi Ibu Sri Mulyani...

Perbedaan mazhab di jaman modern begini buat saya mengherankan dan jelas menimbulkan korban! Bila perkara soal teknik memotong rambut aja bisa memakan korban, apalagi soal politik, agama, dan soal berat-berat lainnya. Korbannya bukan cuma bisa terlihat gak keren, tapi bisa mati sekalian kan?! Gimana caranya untuk bisa meminimalkan jatuhnya korban?
Saya memilih si hairstylist untuk bisa memperlihatkan -atau setidaknya menggambarkan- hasil akhir dari mazhab yang dianutnya. Kalau dia bilang saya harus potong shaggy, dia harus bisa kasih lihat tampang saya nantinya. Kalau seorang politikus mengajak saya untuk mempercayai partai politiknya berdasarkan mazhab yang dia anut, dia harus bisa memberi gambaran kepada saya akan jadi bagaimana saya nantinya kalau saya setuju dengan dia. Whether I'll end up being rich or in jail. Kalau seorang guru agama menyarankan saya untuk percaya dengan mazhab yang dia anut... nah... umm.... dia juga harus bisa menjelaskan tentang mazhab yang lain...
Saya berhenti disini dulu deh....

Eh, pesan moral saya kali ini: you'd better stick with the hairstylist whom you are familiar with. If you look ugly still, at least you know just how ugly you'll get.

Ini Jawabannya...

Mungkin karena sudah bawaan seorang guru, setiap kali saya menulis (fiksi) saya selalu menyelipkan sepotong dua potong pesan moral. Cerita-cerita saya biasanya juga berkembang dari potongan pesan moral itu. Sepertinya hal kayak begini tidak terlalu baik untuk dicontoh: you'll end up feeling older and looking older than you wish you were not.

Begitu juga dengan Hair-quake.

Ada pesan moral saya disitu yang saya yakin bisa bikin para laki-laki manyun. Papap salah satunya. Pesan moral saya hanya satu, eh, lima kata.

Laki-laki (itu) gak penting!

Buat yang udah baca (yang belom baca silahkan mengejar ketinggalan kalian), yok kita balik ke Andita. Lewat Andita, saya ingin menggugat suatu konsep kebahagiaan perempuan yang katanya hanya ada di dalam hubungan dengan laki-laki. Sebenarnya, kalau saya boleh lebih jujur dan kasar lagi, saya ingin menggugat kata-kata seorang teman perempuan saya yang mengatakan prestasi tertinggi seorang perempuan adalah dengan mendapatkan pendamping dan menikah. Kenapa saya jadi inget pembantu saya yang ijin pulang kampung setahun lalu ya? Jadi, ketika Andita dipaparkan pada kenyataan kehilangan (dalam bahasa Santi 'kaburnya') seorang laki-laki yang dia cintai, peristiwa itu tidak harus jadi akhir sebuah cerita (baca: novel). Buat saya, ending terbaik adalah Andita dapat beasiswa ke Amerika, bo! Masa bodoh dia mau dapat pacar atau enggak. Hidup tidak berakhir pada kepergian (atau kehilangan, atau kaburnya) seorang laki-laki. Hidup baru berakhir ketika diri sendiri memutuskan hidup itu harus berakhir. Begitu juga dengan kebahagiaan. One can decide where s/he wants to start.

Itu pesan moral saya hari ini. Juga jawaban saya atas janji yang molor. Juga pemaparan teori saya bahwa penemuan sepotong pesan moral berarti satu tambahan garis kerutan di wajah. You'll end up feeling and looking older.

What's for the anniversary?

Teman : Hei, De', happy anniversary ya.
Saya : Thanks.
Teman : Candle light dinner dong?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Dirayain?
Saya : Nope.
Teman : Terus? Ngapain dong elu?
Saya : Ngasih kartu.
Teman : Elu ngasih kartu ke si Babe?
Saya : Iya.
Teman : So sweeeeeeeeett....
Saya : Hm.
Teman : Isinya apa tuuuuh?
Saya : "Selamat tanggal 14. Semoga tahun ini menjadi tahun terakhir kamu lupa tanggal 14."

A Player or Not A Player

"There is something sexy about men and musical instruments."
My girl friend said that some 20 years ago. And we were like thirteen something years old wearing a white-and-blue uniform.
This girl and I were at our school festival and she was staring at 5 seniors who were doing their band perfomance on the stage.

My friend discovered sexy and mEn at the age of 13. I found out about sexy and mAn about 10 years later when I watched Val Kilmer in The Saint. Please noted that I met Papap earlier before watching Val Kilmer...

I separated from my girl friend a year or more later, but her words have stayed with me ever since. Not because she was right, but because she was deadly right.
Whenever there is a band performance, girls scream out loud and go nuts for the band players. Mind you, the players are not always (hardly ever always) handsome. Yet, girls don't seem to mind. It looks like a musical instrument could suddenly increase the level of sexiness to whoever (read: men) touches it. That girl friend I was talking about eventually went out with the drummer because she thought he looked cute when he held the sticks. (I'm wondering if chopsticks have the same effect...)
The sad part is I still cannot see the truth of my friend's wisdom. So, in this world of girls-loving-band players, I am blind. If a man is a band player and he is not sexy (or Val Kilmer, or Keanu Reeves look-alike), then hitting a drum or strumming a guitar won't make him suddenly become sexy on my eyes. The fact that I think Sting is sexy is purely because he was born sexy. I bet he was sexy too when he was still a teacher (which makes him even sound sexier).

Papap, I think, knows this phenomenon -I mean me being not affected by men holding musical instruments. That's why he never tried to win me by a guitar, which is the only musical instrument he can play a little. But, I know once upon a time he had won some admiration from some girls only by holding a guitar (he didn't necessarily need to play it, trust me).

A week ago, Papap went home with a CD of Indonesian Top 40 songs. He played the songs over and over again in his discman and watched the music channel. I almost got a mental breakdown when one day he tried to make me listen to the songs. When I couldn't handle it again I screamed.
Papap laughed. He just loved it when he saw me cracking.
"I'm practicing Top 40 songs."
"It's been awhile since I keep track on the Top 40."
"And there is this band at the office..."
"And I am in."
He stopped and watched my face. I know that Papap could (some 15-20 years ago) played a guitar, but I also know that he doesn't sing. I don't have to tell you how terrible his voice is so you just have to trust me. Papap trusts me on this too.
"You mean you are applying to be in the band?"
"No, I am in the band. I am the lead vocalist."
"You what?!"
Papap belly-laughed.
"Why would they do that?"
"Because there is nobody else."
"And I have to keep practicing the songs."
"Why? To make your voice sound nicer?"
"No. To make me remember the songs. Sometimes when the band plays a song, I have no idea which song they are playing."
At this point I had to laugh.
"So..." Papap eyed me. "Can I have a guitar for my birthday present?"
Papap has never asked for or wished for a birthday present ever. When he mentioned the guitar, I knew it was serious.
"Well, sure, but why?"
"May be I can sing and play the guitar too."
Suddenly the voice of my 20-something-years-ago girl friend rang in my ears.
"You know who is the sexiest, De'? The lead vocalist who plays instrument."

Happy Birthday, Papap! I'll buy you the guitar but you have to drop the singing. One cannot have everything in this world, people say.

God is in the office

My life has been like a roller coaster.
Healthy to being Sick
Happy to become Sad
Having some jobs to jobless to having more than I can handle
Having no money to having some, then no money again
Getting more friends to quarelling with a few
After that, people love to tell me how life is like a wheel.
Once you are up, the next time you are down there.
I never think of life that way.
My roller-coaster life is just a proof that God is in the office.
And He is in charge.
And he never takes a leave. Even on holidays.

Happy Eid Mubarak, friends.
Let's renew our faith.
Stronger as years go by...

Maaf, Kami Bukan TPA


TPA
Tempat Penampungan Anak
Tempat Pembuangan Anak
Tempat Penitipan Anak

Sudah sebulan lebih pembantu kami uring-uringan. Rasa uring-uringannya dia masih ditambah dengan rasa deg-degan. Sekujur tubuhnya stress kalau jam sudah menunjukkan angka 2 siang, jamnya Hikari pulang sekolah.
Jangan salah dulu. Dia stress bukan karena Hikari. Pembantu kami itu stress justru karena ulah teman lama saya.

Semenjak Hikari masuk SD, Hikari berkenalan dengan teman satu perumahan tapi lain blok. Anak ini ternyata berada di sekolah yang sama dengan Hikari. Bukan itu saja. Mamanya si anak ini ternyata adalah teman sekolah saya yang baru saja pindah rumah ke perumahan kami.
Awalnya saya senang dengan pertemanan Hikari yang baru, selain juga saya senang ketemu teman lama. Lama-lama...

Mulanya, si Ibu sering mampir ke rumah saya. Alasannya sambil lewat, atau untuk ngobrol (dengan saya) atau ngajak main anaknya. Lama-kelamaan, si Ibu sambil lewat -entah ke pasar, ke mall, ke pengajian, kemana lah- sekalian menurunkan anaknya di rumah saya. Kalau tadinya frekuensi berkisar antara seminggu sekali, lama-lama jadi seminggu... 6 kali. Kalau tadinya si anak ditinggal hanya selama 30 menit, lama-lama jadi 3 jam. Lebih.

Lalu, sebulan lalu, pembantu si Ibu pulang kampung. Sejak itu setiap pulang sekolah si anak ditinggal di rumah saya untuk menghabiskan waktu bermain dengan Hikari. Sejak itu kelimpungan lah pembantu saya di rumah gara-gara Hikari gak mau tidur siang, Hikari loncat-loncat lari-lari kesana kemari, Hikari (dan temannya itu) membuat rumah jadi kapal pecah, dan seterusnya-dan seterusnya.

Awalnya, saya masih bisa menentramkan hati pembantu saya itu dengan beralasan kerepotan yang mungkin dialami si Ibu karena tidak ada pembantu di rumahnya. Memasak sambil ngangon anak sekaligus membereskan rumah (yang sebesar itu!) kan pekerjaan yang luar biasa menghabiskan energi dan pikiran.
Sampai seminggu yang lalu...

Hari Sabtu pagi saya, Papap dan Hikari masih leha-leha di tempat tidur. Malas bangun -apalagi mandi- kalau belum Adzan Dhuhur. Tiba-tiba mobil si Ibu berhenti di depan rumah kami. Keluar lah tiga pasang anggota keluarga itu: Ayah, Ibu, dan Anak mereka. Saya dan Papap blingsatan secara kami belum mandi walau saya bisa jamin kami saya gak sampai bau bantal. Si Ibu dan Anaknya masuk ke dalam rumah kami dengan santai.
"Anak gue mau main disini katanya."
"Elu mau kemana?" tanya saya dengan muka ngantuk dan senep.
"Gue mau belanja dulu. Titip yak!"
Lalu dia pun melenggang pergi bersama suaminya.
Pembantu saya merengut.
"Saya mau pulang kampung buat Lebaran minggu depan!"
Saya dan Papap liat-liatan.

Pertanyaan moral saya kali ini: Pilih Teman atau Pembantu?

Hayo tebak!

Setelah sekian lama, masih saja ada orang yang menanyakan: "Kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Prasta?!"
(Herannya gak ada yang tanya kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Ricky???)

Iya, saya lagi ngomongin novel Hair-quake saya itu yang endingnya... ehem... ternyata bikin orang patah hati.
Terus terang, maksud saya tadinya bukan itu. Bukan untuk mematahkan hati siapapun.
Gini deh. Kita main tebak-tebakan aja yuk. Terutama untuk yang udah baca. Yang belum baca, silahkan baca. Hehehe...

Pertanyaannya: Kenapa sih saya tidak mengakhiri cerita itu dengan membuat si tokoh utama pacaran dengan salah satu cowok disitu?

Jawaban saya ditunggu seminggu lagi yak. Moga-moga pada hari Selasa minggu depan, internet kantor nyala dan boss gak nyuruh meeting lagi meeting lagi! Hehehe...

Not my kind...

Apa yang membuat anda membenci tidak menyukai sebuah buku?
1. Judulnya?
2. Cover-nya?
3. Penulisnya?
4. Sinopsisnya?
5. Ceritanya secara keseluruhan?
6. Nilai-nilai yang disisipkan di dalamnya?
7. Editing-nya?
8. Harganya?

I love reading.
Tidak seperti film, saya tidak pernah menghakimi sebuah buku dari nilai-nilai yang dianut penulisnya. Atau sinopsisnya. Atau penulisnya. Atau malah covernya. Apalagi judulnya.
Beberapa kali saya berhenti membaca satu buku tanpa selesai. Itu biasanya karena:
a. Otak saya ternyata nggak nyampe dalam menelan isi buku.
b. Tanpa menyelesaikan membaca, saya sudah tahu kesimpulan buku itu.
c. Itu buku matematika. Atau aritmatika. Atau statistika. Atau apapun yang berbau tika-tika...
Tapi, saya tidak pernah berhenti membaca satu buku karena saya benci cerita di buku itu.

Hal yang sama terjadi kemarin ketika saya membeli sebuah buku yang berkaitan dengan satu hukum agama setebal kurang dari 100 halaman. Judulnya anggap saja sama seperti "Apakah kita boleh makan menggunakan sendok?"
Sampai halaman 55, si penulis masih berputar-putar dengan cerita 'Sendok adalah... dan Gunanya Sendok adalah..." Perkara Apakahnya belum juga disentuh. Eeh, belakangan, perkara apakah saya boleh makan menggunakan sendok hanya dibahas kurang dari 5 halaman. Itupun tidak ada kesimpulan yang dimulai dengan kata "Jadi...".
Kecewa dengan buku itu? Jelas. Tapi benci? Nggak tuh.

Selama ini saya tidak pernah membenci satu buku dengan alasan jelas. I love reading. Bahkan koran gurem yang dari kertasnya aja sudah gak enak di mata, tetap saya baca, tak peduli beritanya juga cuma yang gurem-gurem aja. Saya tetap membaca semata-mata untuk memuaskan mata saya.

Tapi beberapa waktu lalu saya membeli sebuah novel. Covernya keren. Judulnya modern. Ceritanya tentang kehidupan perempuan cantik yang sibuk dan mandiri yang tinggal di kota besar. Seharusnya saya merasa 'gue banget gitu loh' (terutama yang bagian cantik dan mandiri tinggal di kota besar haha!).
Nyatanya... Tidak sama sekali!
Dan itu bukan karena jalan ceritanya, bahasanya, editingnya, etc.
Ada satu hal di buku itu yang membuat saya -sebagai seorang yang senang membaca- menjadi tersedih-sedih bukan main. Satu hal itu adalah kesan. Cerita di buku itu memberi kesan yang sama ketika seseorang mengelompokkan manusia berdasarkan kasta: the haves, the so-so, atau the neither-one. Membaca novel itu membuat saya seakan-akan masuk ke sebuah kelompok eksklusif dimana saya tidak diundang tapi dengan nggak tau dirinya malah nongol di pertemuan kelompok itu. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya membenci sebuah buku.

Kalau anda, apa yang membuat anda membenci sebuah buku?

Our Mother's Signature

Nama perempuan itu Jeng DJ. Usianya di pertengahan 30-an tahun. Kata perfeksionis dan idealis sepertinya diciptakan khusus untuk dia saat dia lahir.

Saya sebenarnya lebih suka memanggil di Jeng TOA as in TOA mesjid. Ini bukan penghinaan. Hanya sekedar menyamakan deskripsi karakter dan bawaan orok dengan sebuah nama panggilan. Lagipula, TOA nya bukan sembarang TOA. TOA yang satu ini seringkali menyuarakan gema sebuah bom yang meledak. Meledaknya gak tanggung-tanggung: di kantor, di antara para pejabat tinggi, di tengah-tengah orang berhati lemah.

Saat ini -seperti juga saat-saat yang lalu- Jeng DJ sedang stress berat. Bawaannya (dikutip sesuai dengan kalimat aslinya) PENGEN NELEN ORANG. Ini akibat dia ditimpuki kerjaan yang gak tanggung-tanggung banyaknya dan jelas gak sesuai dengan nominal gaji.
Menurut saya pribadi sih, Jeng DJ pengen nelen orang bukan karena kerjaannya yang ngebludak. Dia sampai gahar begitu karena orang-orang yang harus dia kerja-samai mempunyai deskripsi 'sudah bego, goblok lagi'. Dan anehnya mereka selalu naik pangkat...

Coba sekarang kita bayangkan si Jeng DJ ini. Di tenggelamkan oleh kerjaan, di gaji rendah (haha!), di kerjain para kolega dengan menyuruhnya ikut panitia ini itu, dianggap terlalu idealis, dan yang paling menggelikan (buat saya) dia diiklankan sebagai berkepribadian tidak dewasa.

Lalu apa yang dilakukan oleh Jeng DJ?
Jelas apa yang selalu dilakukan oleh dia.
Ngamuk. Ngomel. Maksa orang untuk bekerja bener.
Does it work?
Jelas tidak.
Sebagai akibatnya, Jeng DJ jadi pengen nelen orang lagi.

Apa hubungannya Jeng DJ dengan saya?
Jeng DJ itu sosok yang menentramkan buat saya. Jelas bukan menentramkan dengan feeling yang sama seperti mendengarkan Pak Quraish Shihab berceramah tentang kemurnian hati. Feeling menentramkannya adalah seperti, "Oooooh, ternyata ada orang yang hidupnya lebih sial lagi dari gue!"
Tapi, applause should be given to her. Setelah selesai nelen orang, Jeng DJ biasanya sanggup tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya.
Bawaan orok Jeng DJ yang terakhir (tertawa-tawa lepas menertawakan hidupnya yang lebih sial dari saya) itu lah yang menjadi persamaan antara saya dan dia.

Terakhir kali saya bercakap-cakap dengan Jeng DJ, kami berkesimpulan bahwa kemampuan kami menertawakan kepahitan (hayah!) hidup ini berkat didikan ibu-ibu kami.
Perlu diketahui, walaupun ibu-ibu kami itu tidak saling mengenal, mereka sepertinya lulusan dari perguruan silat yang sama: Kejemnya gak kira-kira! Dan terutama, mereka selalu sanggup menaikkan dagu pasang tampang sekokoh batu walaupun cobaan hidup mereka luar biasa beratnya (having us as daughters, that is!).
Maka, selagi kami memperingati dan mengenang karakter Raja Tega mereka (yang terutama ditujukan kepada kami yang anak perempuan satu-satunya), kami mendapat satu kesimpulan. Satu pencerahan.
"Kalau emak-emak kita itu gak raja tega sama kita, yang ada sedikit-sedikit susah kita bakal mewek mulu kali ya?" kata saya berfilosofi.
"Iya, itu emang begitu itu mereka ngedidik kita."

Jadi, itu lah signature dari para ibu kami.
Pesan moral kali ini: what is your mother's signature on you?

REZAH

"Namanya Re-zah, Mama. Harus pake huruf H dibelakangnya. Mama harus sebut pelan-pelan. Reeee---zaaahhhh. Kalau pelan-pelan, namanya jadi merdu, Ma."

Rezah.
Itu panggilan Hikari untuk calon adiknya. Saya dan Papap hanya bisa tertawa mendengar rencana-rencana dia untuk adiknya.

"Mama jadi punya dua anak kesayangan, ya?"
"Adiknya perempuan atau laki-laki?"
"Kok perut Mama belum besar juga?"

Pertanyaan demi pertanyaan Hikari lontarkan tak sabar.
Sembilan hari yang lalu, pertanyaan itu berubah menjadi...
"Kenapa adik sakit, Ma?"
"Kenapa adik harus dikeluarkan sekarang?"
Dan saya tak punya jawabannya.
Yang saya tahu, life had been hard for this little one. Dia harus berjuang keras sekali sejak awal. Lalu Dia berkehendak Rezah hanya hadir untuk 12 minggu.

Law and Order

Sudah seminggu ini tol Jagorawi selalu macet. Kalau jam pulang kantor, macetnya di jalur menuju Bogor. Sebaliknya jam masuk kantor, macetnya di jalur yang ke arah Cawang.
Hari pertama macet -pas jam pulang kantor- radio bersuara empuk-empuk ngantuk yang saya putar menginformasikan sumber kemacetan itu.
Penyiar (suara besar bariton): "Pendengar yang terhormat, baru saja kami mendapat informasi dari petugas tol Jagorawi yang menginformasikan bahwa tol Jagorawi kilometer 6 sampai 8 kondisi jalan ramai padat."
Ramai padat jidat lu. Wong gue gak bergerak begene!
Penyiar lagi: "Kepadatan terjadi karena ada pembenahan di bahu jalan sampai dengan kilometer 8."
Saat itu yang ada dibayangan saya atas kata 'pembenahan bahu jalan' adalah adanya pekerjaan konstruksi di bahu jalan sepanjang tol. Entah kerikilnya lepas lah, entah aspalnya botak lah, entah jalanan bolong lah...
You know what I did find out?
Ternyata...
Ternyata...
Mulai dari kilometer 6 sampai pintu tol Cibubur, beberapa mobil patroli polisi sengaja parkir di bahu jalan supaya orang-orang tidak memakai bahu jalan itu untuk jalur umum!

Terus terang, harus saya akui. Bapak-bapak (gak ada Polwannya karena) yang baik, niat anda sungguh mulia. Memang para pengendara mobil yang suka seenak udelnya kalo nyupir di tol ini harus diberi pendidikan tentang tata tertib lalu lintas. Tapi, sumpah, Pak! Saya miris melihat caranya. Bukan, bukan miris kepada Bapak. You're just doing your job. Saya miris kepada sesama teman pengendara. Apakah kita (elu kali, gue sih enggak!) udah segitu tololnya sampai-sampai Polisi harus melakukan tindakan se-konyol itu supaya kita (elu kali, gue sih enggak!) jera?
Teman seperjalanan saya satu kali pernah meringis melihat deretan mobil patroli yang melintang di bahu jalan. Katanya, "kesian ya polisi-polisi itu. Buat bikin orang tertib aja sampe harus pasang badan begitu. Kalo ada supir yang ngebut nyelonong ke dia gimana tuh?"
Saya sih gak kesian sama polisi-polisi itu, kecuali kalau ada supir yang bener-bener nyelonong ke arah beliau. Saya justru kesian sama orang-orang yang menjadi obyek penertiban itu. Kesian, karena saking bebalnya, polisi-polisi itu sampai harus memakai jalan yang memiriskan seperti itu. Ternyata, warning sign aja gak cukup di negeri ini!

Pesan moral saya hari ini:
1. Bahu jalan itu untuk kondisi darurat. Titik! Emang ente mau diseruduk mobil pas lagi ngeganti ban mobil yang kempes di tol?!
2. Kalau tidak mau diperlakukan seperti orang tolol dan bebal, ya behave decently lah!
3. Hindari tol Jagorawi pas jam-jam sibuk.

Imej

Mungkin memang bukan salah anak-anak ketika setiap kali ditanya cita-citanya selalu menjawab PD, "jadi dokter!"
Dokter.
Di mata mereka (dan kita?), dokter itu hebat, tau segala-gala, bisa bikin penyakitnya hilang, tempat papa-mama bertanya (kadang-kadang pakai nangis juga), kelihatannya pintar, penampilannya necis, bla bla bla...
Setidaknya saya harus setuju tentang penampilannya necis. Berjubah putih pulak! Semua dokter yang saya lihat/kenal setidaknya memang necis. Hampir semua.

Saat itu saya sedang duduk di ruang tunggu RS menunggu giliran untuk dipanggil. Dokter yang saya tunggu belum datang juga. Saya sendiri belum pernah lihat tampang si dokter. Lalu, seorang laki-laki setengah baya dengan wajah kuyu berkulit gelap rambut acak-acakan, berkemeja lecek warna coklat luntur dan celana abu-abu muncul. Sembari lewat di depan para pasien -termasuk saya- dia menatap orang-orang yang sedang menunggu satu persatu. Begitu giliran saya, wajah butek saya (akibat kelamaan menunggu) langsung berkerut-kerut sembari melotot memberi pesan singkat, "apa lu liat-liat?!"
Laki-laki itu kemudian masuk ke ruang praktek dokter di depan saya. Belum sempat saya bereaksi, si suster memanggil nama saya untuk masuk.
"Silahkan, bu."
"Memang dokternya sudah dateng, sus?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Barusan."
"Hah? Yang mana?"
"Yang baru aja masuk!" kata si suster heran.
Mampus gue!

Pesan moral saya kali ini: dokter belum tentu memakai jubahnya kemana-mana...

Sekali Lancung...

Setelah 2 minggu tidak masuk kantor, seorang teman mengirimkan saya sms dengan nada prihatin. Tulisan singkatnya, "are you really seriously ill?"

Spontan saya meringis. Antara nahan meriang dan nahan harga diri yang jatuh ke kaki.
Bukannya gak menghargai pesan prihatin si teman. Tapi pilihan kata 'seriously ill' sungguh berkesan banget di hati...
Sebagai usaha untuk bercermin, saya pikir ini pasti gara-gara catatan medis saya yang merah melulu. Setelah sebulan sebelumnya masuk RS gara-gara usus buntu, bulan ini saya masuk RS lagi. Anyone wouldn't take your medical reason seriously after so many in-and-outs of the hospital. Sekali lancung ke ujian...

Sebenarnya, teman-teman di kantor sudah sering ngehina-hina saya.
Kalau orang-orang di kantor pada bergantian masuk RS karena demam berdarah, mereka berkomentar lain pada saya.
"Ah, kalo elu masuk RS, gue udah tau deh diagnosanya. Elu paling tipus lagi tipus lagi."
Sial! Tapi benar!
Mereka malah nambahin satu kalimat menakutkan buat saya.
"Kata orang, kalo udah 5 kali sakit tipus, elu bisa mati, tau!"

Yang membuat saya tambah tertohok adalah (dan ini gak ada hubungannya dengan sms si teman itu) dua hari sebelum saya balik dirawat di RS, Hikari baru saja pulang dari dirawat di RS juga selama seminggu!
Iya, dia juga sampai 2x dirawat.
Si Mami bilang saya kena bad karma. Ya, beliau memang sangat suportif.
Bad karma karena sewaktu si Mami nyuruh saya menunda pindahan rumah ke bulan Juni, saya ngeyel dan menolak mentah-mentah.
Akibatnya -kata si Mami- saya, Hikari, Papap, Hikari lagi, saya lagi, masuk RS lagi.
Saya bilang pada beliau.
"Ini bukan bad karma. Ini namanya disumpahin ibu sendiri."

Baru seminggu ini saya masuk kembali ke kantor.
Hari pertama masuk saya langsung disalami oleh seluruh karyawan.
Tentu disertai kalimat, "ternyata lama gak ngeliat elu bikin kangen juga!"
Yang tentu saya jawab, "yang gak jenguk gue, bukan temen!"
Hari pertama itu diakhiri dengan kalimat penutup.
"Sori ya gak jenguk. We thought it was nothing serious."
"........"

Sempurna

Sempurna
-Andra & The Backbone-

Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku akan selalu memujamu
Di setiap langkahku ku kan selalu memikirkan dirimu
Tak bisa ku bayangkan
Hidupku tanpa cintamu

Janganlah kau tinggalkan diriku
tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidup ku
lengkapi diriku
oh sayang engkau begitu sempurna .. sempurna

Kau genggam tanganku saat diriku lemah dan terjatuh
kau bisikkan dan hapus semua sesalku

Janganlah kau tinggalkan diriku
tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidup ku
lengkapi diriku
oh sayang engkau begitu sempurna .. sempurna

Kau genggam tanganku saat diriku lemah dan terjatuh
kau bisikkan dan hapus semua sesalku

Janganlah kau tinggalkan diriku
tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa

Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidup
ku lengkapi diriku oh sayang
engkau begitu sempurna .. sempurna

Hikari sayang,
Selamat Ulang Tahun.
You are unquestionably perfect.

Mobil dan Warna

Apa hubungannya mobil dan warna baju?
Gak ada?
Jawabnya: banyak! Dan fatal!

Waktu kami baru saja pulang dari Jepang, adik saya yang bungsu membujuk untuk mengecat ulang mobil kami yang sudah berumur. Aslinya, mobil itu berwarna hijau gelap metalik. Warna cat yang khas untuk mobil merk itu. Setelah beberapa tahun, warnanya berubah jadi gelap tanpa metalik. Hijau pun tidak. Tadinya saya agak ragu. Selain biayanya yang mahal, saya terlanjur cinta mobil itu apa adanya. Diluar dugaan, Papap sebagai penyandang dana malah setuju. Ya sudah. Saya akhirnya setuju mengirim Papap dan si adik ke bengkel cat mobil.

Sebulan kemudian, terbukti tindakan saya mengirim Papap dan adik ke bengkel dengan berdua saja tanpa pendamping ternyata adalah suatu kesalahan besar! Selera mereka berdua ternyata tidak bisa dipercaya!
Mobil itu berubah warna menjadi hijau MUDA metalik!
Bagus sih... tapi... HIJAU MUDA METALIK?!

Ibarat barang produksi pabrik, mobil itu langsung jadi barang reject satu keluarga. Kecuali adik saya dan Papap tentu saja. Tapi, setelah saya dan Papap pindah ke rumah sendiri, mau gak mau saya harus pakai mobil itu kemana-mana karena gak ada lagi mobil Mami yang bisa saya bajak.
Mengendarai mobil bercat ngejreng bagi orang berumur seperti saya ternyata berakibat fatal. Makanya, sekarang saya mau menasihati para hadirin sekalian supaya tidak menyontoh tindakan tersebut diatas, karena...

1. Cat mobil yang ngejreng membatasi kreatifitas kita dalam memilih warna baju. Suatu kali saya pernah ke sebuah pertemuan kantor yang sangat penting dengan memakai blus marun yang agak mengilat. Begitu saya keluar dari mobil hijau metalik dalam balutan blus marun mengilat, seluruh peserta pertemuan langsung melotot. Hancur lebur imej kalem-lembut-dewasa yang sudah susah payah saya ciptakan selama 10 tahun!

2. Cat mobil yang ngejreng berbahaya untuk keselamatan berkendara. Saking gampangnya mobil itu diciriin, mobil saya jadi semacam 'target of achievement' bagi pengendara lain. Mereka berlomba-lomba mematok target untuk melampaui kecepatan mobil saya.

3. Cat mobil yang ngejreng berbahaya untuk upaya menghilang-dari-kantor. Murid, kolega, teman, sampai bos menjadikan mobil saya sebagai patokan apakah saya sudah sampai kantor/belum.

4. Cat mobil yang ngejreng menjadi petanda keberadaan (asumsinya) saya. Suatu kali saya tidak dapat datang ke undangan seorang teman karena sakit sementara mobil saya dipakai adik main ke mall. Tak dinyana, ada teman yang melihat keberadaan mobil hijau metalik itu di mall. Kisah selanjutnya bisa ditebak!
Lalu, sewaktu Hikari sedang dirawat di rumah sakit, bos beserta teman-teman saya berniat menjenguk. Dari seberang jalan, mereka melihat mobil saya parkir di pelataran rumah sakit. Dengan pedenya mereka percaya saya ada di dalam rumah sakit, tanpa berusaha menelpon. Padahal saya sengaja menaruh mobil di situ dan pulang naik taksi saking kecapeannya.

5. Cat mobil yang ngejreng membuat orang mengira pribadi saya juga secerah ceria warna mobilnya.

6. Cat mobil yang ngejreng membuat orang mengira umur saya juga semuda warna mobilnya.

7. Cat mobil yang ngejreng membuat orang-orang itu mengira mereka tahu tempat-tempat nongkrong saya. Asumsi ini berbahaya mengingat mobil saya sering dipinjam adik saya yang doyan maen ke mall tiap wiken.

Tau Bapak Gue?

Kami terpaksa harus menutupi tawa cekikikan kami dari pandangan seorang laki-laki perlente berusia 25-30an tahun. Laki-laki itu sedang bersitegang dengan seorang petugas parkir di sebuah mall ngetop. Rupanya, si laki-laki itu tidak terima dengan pemberitahuan petugas parkir yang melarangnya parkir di spot tertentu yang bisa membahayakan pengemudi lain.

Yang membuat tawa kami meledak bukan karena melihat kenyataan kemunculan orang-orang gendeng yang rasanya semakin banyak akhir-akhir ini. Tawa kami meledak karena kalimat pamungkas laki-laki dewasa berpenampilan perlente seperti dia adalah:
"Kamu tahu Bapak saya siapa?!"

Laki-laki itu pun jadi bahan celaan kami selama beberapa menit kemudian.
"Lu inget gak kalo kita berantem jaman SD dulu?"
"Kenapa?"
"Kalo pas kalah, kita mewek sambil ngancem: Kita bilangin Bapak kita looh! Hu hu hu hu hu."
"Huehehehe... iya bener. Berantemnya bawa-bawa emak babe."
"Tapi itu kan wajar. Masih SD, bo! Lah, yang tadi? Segede gitu berantem masih bawa-bawa bapaknya?!"
"Eeeehh, jangan salah loh," teman saya yang tadinya diam menyambung. "Hari gini ada juga orang yang katanya mau jadi presiden tapi tiap kampanye bawa-bawa bapaknya..."
Yang lain diam. Mikir.
"Ooooh. Maksud lu, George Bush?"

Tua dan Dewasa

Ada hal yang berbeda dari diri saya sejak beberapa bulan yang lalu.
Saya tak lagi terobsesi mencukur rambut pendek-pendek.
Ini tidak ada hubungannya dengan perubahan hormon.
Ini ada hubungannya dengan tugas baru saya di kantor.

Sudah hampir 3 bulan, saya mendapat tugas baru: mengurusi kelas anak-anak.
Teman-teman langsung menyelamati saya.
Bukan karena tugas baru ini sangat prestigious, tapi karena otomatis mereka terbebas dari tugas paling mengerikan di kantor ini. Jadi, mereka menyelamati saya, karena saya sudah menyelamatkan mereka. Sompret!

Program kelas anak memang dianggap mengerikan oleh para kolega saya. Apalagi oleh para guru-guru. Karena itu, setiap kali guru-guru melihat muka saya -si koordinator anak yang baru- mereka langsung balik kanan bubar jalan menyelamatkan diri dari assignment dipaksa ngajar.

Yang membuat kelas anak mengerikan bukan karena sosok anaknya.
Well, ya, itu juga sih.
Untuk ngajar anak umur 6-12 itu butuh steroid 5x lebih banyak dari pelari marathon kelas dunia.
Selain itu, lesson plan, alat peraga, kesabaran ekstra, stamina tinggi (untuk ngejar-ngejar mereka), obat batuk (untuk menyembuhkan tenggorokan serak), kemampuan P3K, banyak berdoa adalah beberapa hal yang dibutuhkan untuk mengajar anak-anak.
Begitu pun bukan soal itu yang membuat program ini dianggap paling mengerikan.
Satu dan hanya satu hal yang menjadi momok program ini adalah ada siapa di belakang anak-anak yang kami ajar.
Jawabannya: ada mamanya, ada papanya, ada neneknya, ada kakeknya, ada tantenya, ada mbaknya, ada supirnya, ada teman mamanya, dan ada mama tetangganya.
Urusan sepele kecil yang berhubungan dengan satu siswa, bisa merembet panjang karena satu kompi pasukan di belakang anak itu.

Ribut-ribut dari hal yang remeh, seperti:
"Ibu, kenapa si A gak diusir dari kelas? Dia suka nyubitin anak saya!"
"Pak, kenapa sih surat untuk ortu dikasih ke anak saya? Kenapa saya gak di telepon aja?!"
"Bu, anak saya harus makan siang dulu sebelum masuk kelas disini. Jadi dia pasti akan terlambat masuk. Saya gak mau anak saya ditulis terlambat, ya!"
Sampai ke hal-hal yang... *&!@%#$*!^#, seperti:
"Saya gak terima anak saya harus ikut ujian susulan! Kesalahan dia kan hanya gak bayaran aja!"
"Saya bisa pecat situ, tau! Saya gak terima anak saya hanya dimasukin ke level ini!"
"Saya bisa beli gedung ini beserta isinya, tau!"
"Saya minta guru itu dipecat! Saya tidak suka sama muka dia!"

Saya memang patut untuk diselamati.

Saya lalu berencana untuk memanjangkan rambut supaya saya kelihatan lebih tua. Saya juga akhirnya mengikhlaskan diri memakai kacamata yang sudah beberapa tahun saya simpan di laci rumah demi kelihatan lebih dewasa. Dan Tua. Dewasa dan Tua.
Para guru memang meledek saya. Kata mereka, wajah dan penampilan saya kurang ibu-ibu untuk ngurusin para ibu dan bapak. Akibatnya, para ibu dan bapak ini seringkali melecehkan saya karena saya dianggap anak ingusan. Itu masih mending karena kadang saya juga dianggap resepsionis sehingga mereka selalu minta ketemu otoritas lain selain saya yang cuma resepsionis! Memangnya rambut pendek, muka imut-imut (*pletak!*), celana panjang dan sepatu boots tidak pantas punya pekerjaan seperti saya?
Kadang-kadang, saking mereka gak percayanya dengan jabatan saya, mereka sibuk bergerilya mencari kolega saya yang lain untuk minta dilayani. Para kolega saya pun dengan senang hati mengirim mereka kembali ke saya. Sompret!

Saya tidak mengerti ada apa sih dengan para orang tua sekarang ini? Seringkali mereka justru lebih galak mempertahankan diri ketika tahu anaknya berbuat kesalahan.
Mudah-mudahan solusi menuakan diri saya bisa berhasil.
Karena kalau enggak...

Been There Done That

Having been dealing with hospital(s) for too many times surely has made me an expert. Thinking about it again, I might be able to write a book about it. How does "Surviving Patient" sound to you? Or "Being Hospitalized and Actually Love It"?


Having been hospitalized for so many times (and trying to be proud about it), I know the hospital drill so well that I start to think about applying for the job at the hospital.
Here are some tips to survive the hospital drill:
1. Speak up, if your infus injection feels more hurt than the bite of a black ant. Trust me, if the nurse injects it right, you wouldn't suffer. If you don't speak up, you'll risk your hand! If it hurts like hell, then it means they have messed up with your hand.


2. If you are not lucky enough to reside in VIP room, make sure you ask for the bed next to the window. You may have to share the room with other patients, but you can have the view all for yourself.
If it is possible, ask for the room in which the patients are all the same age as yours. Why? The reason is not only about the Generation Gap. Research (mine) shows that older patients (like above 50) receive more visitors than the doctor prescribes. You wouldn't feel happy to be alone in the hospital while your neighbors have a bunch of visitors every 5 minutes. You wouldn't be able to sleep either.


3. Related to no#3, if possible bring a big sign written DO NOT DISTURB and attach it to your bed. Hopefully you can get rid of unwanted eyes coming from your neighbor's visitors. Only God knows why they are so curious about other people in other beds.

4. If you are not into 'sharing', put a label on your bath equipment (soap, toothpaste, toothbrush, etc.). That way other tenant would understand that those items are not provided by the hospital and so are not for public use. My last experience cost me a bottle of soap.

5. Hospital food is never made to satisfy individual's taste. If you don't like it, keep quiet. There will be no use of prostesting the taste of the food. My neighbor did it. The next day she had to have her breakfast at 11 AM.

6. If you have to allow the nurse to bath you in bed, always tell the nurse that you take a bath sometime after 7 o'clock. Having a bath at 5:30 in the morning while being sick is against Human Rights!

7. Take a note on the drugs given to you and the frequency the drugs have to be given to you. Yes, the nurses are supposedly professionals, but they are also human. Papap had to endure his headache longer than necessary because the nurses forgot and skipped one serving.

8. Turn your cellphone to Silent Mode. I had nightmares because my neighbor's phone always rang at 1 AM. The ring tone was the sound of a laughing baby. There is nothing cute about the laugh of a baby if you hear it in the middle of the night.

9. Bring earplug. It always comes in handy. Especially during Visitors Time, and you have no one visiting you.

10. If in any case, you need to undergo a surgery, remember this:
a. Long before the surgery, ask the doctor about your surgery clothing. Do you need to take the whole clothes off? Or not. If you have to have your tooth removed, you don't need to undress. Believe me. And do not assume. If you assume, they'll take all your clothes off.
b. IF there's no way to keep your clothes on (even part of them), tell the nurses you don't want them to leave you cold naked on a cold surgery bed more than 30 seconds. Tell them to remove your clothes, or blanket, or whatever, only seconds before the surgeon says "Let's roll on".
c. If possible, ask for nurses with the same gender as yours. It doesn't hurt to ask. It hurts if you don't.
d. Do not look at the nurses' face, either female, or -especially- male. Do Not try to memorize their faces. You don't want to bump into them again one day and be reminded that they have seen you without clothes.
e. If you don't feel like chitchatting during the surgery, ask them to make you sleep for the whole process. But, if you feel perky about being operated, then you can stay awake and enjoy the ride.

All and all, I must say I wish you never have to apply any of those above.

Oh, one more thing: if you are told to use a catheter, vote against it! Trust me on this!

One of Those Months

By this time, I should have been awarded with Customer of The Year Award!


Early May, I dragged myself to visit my love-and-hate-kind of place: Unit Gawat Darurat, only to find out that my suspicion was correct.
Again, for the fourth, fifth, sixth? time, I suffered from a typhoid fever.
The doctor told me to rest at the hospital, but I refused.
Oh, no, I knew the drill. I could do it myself at home.
Bedrest, porridge for a whole month, no spicy food, no sambal.
The doctor let me go with a note to come and visit him again in three days.
On the third day, I didn't return to him.

I did return to his colleague -the internist- on the fifth day with something new: a sharp pain below my right stomach.
This doctor had me X-ray-ed, blood tested, and a few other silly tests like bending my legs and doing some kind of ball-kicking.
Then, he told me what he had in mind. "I think you have an appendicitis."
You think?

He gave some drugs and sent me home. Of course, with another note: return to him in 5 days if I don't get any better.
I didn't return to him on the fifth day like he told me to.
And it wasn't because I felt better.

The fourth day I suffered from appendicitis, Hikari got sick. The next day he had high fever, was throwing up, and complained about the pain in his stomach. So, I got him to the hospital.
It was like a joke when his doctor told me, "Not a dengue. Definitely a typhoid fever."
Aaaaarrrggghhh....
Hikari was sent home with a bag full of drugs, and a wallet full of bills.
Why not hospitalized? Because Papap and I knew the drill.
We thought so.

Fortunately -at that time, we thought- Hikari was getting better soon. His fever was down and he was cheerful all over again. So, the third day after I saw Hikari was really getting better, I decided I wasn't getting better.

I returned to the UGD.
This time, the doctor didn't let me go home.
On the same day, I had to have a surgery to remove my appendix.

The surgery was a success. I stayed at the hospital for 3 days. I was home by Monday evening. Everything seemed to be normal again. Or so we thought. Sigh...

On Thursday, Hikari's condition suddenly became worse. He suffered from a high fever and complained that he felt so cold!
We had to bring him to the ER of Children hospital at 3 o'clock in the morning because he was shaking, feeling cold, and talking in his fever.
At the ER, we met a young and just-graduated-yesterday-kind of General Practitioner. The young doctor gave a medicine for Hikari's fever only and insisted us to return later, not to him, but to Hikari's personal pediatrician.
What's the use of taking Hikari to the ER then?!
But, we complied. 4 hours after the ER, we took Hikari to his pediatrician.
Despite his fever and trembling body, Hikari was sent home with another bottle of medicine.

12 hours later, Hikari wasn't getting better at all. His fever reached 39C, then 40.3C.
We had been to the ER, we had been to his pediatrician.
I was praying, crying, praying and crying. I even forgot about the wet scar on my stomach.
At 8 PM, we took Hikari to another ER. A different ER, with different doctors. My initial UGD.
Fortunately, these different doctors reacted well.
Hikari was soon got his first aid.
Between my crying and praying, I explained in details what happened with Hikari.
Oh, I swore too, for those doctors in the first hospital!

5 days after that, Hikari was sent home with better condition.
It turned out that he had problems in his lungs. The problems use those names I can't even pronounce and spell correctly.
But, Thank God, he's been better since.

So, there we were, Hikari and I, two days at home, feeling week and exhausted.
I was about to feel relieved when...
when, on the third day Hikari was home, Papap went home from work with a high fever.
The next day Papap was brought to the UGD, my and Hikari's UGD. And he has been hospitalized since then. Until now.

And, everytime I turn around at the hospital, there is somebody saying, "Eh, Ibu. Kok masih di rumah sakit?"

Radio On!

Masih tentang Hair-Quake!

Kalau penasaran kenapa Andita tidak jadi pacaran dengan Prasta,
atau kenapa Andita mau pergi dengan Ricky,
atau kenapa sih Andita ribet banget dengan rambutnya,

dengerin radio Indika fm 91.60 yuk!
besok, Kamis, 29 Mei 2008
jam 9 - 10 pagi!

Pada Waktu Nya

Wooooooww…
Uuuuuuuuuuuu….

Yea, guys, I heard you.

Kelihatannya memang agak huebat banget saya bisa mengeluarkan buku langsung 3 pada saat yang hampir bersamaan. Padahal, there is no trick. You can all hear me saying, 'Gila aja!'

Cerita Anak, Hair-Quake, lalu sekarang La Tahzan for Broken-hearted Muslimah. Mereka ini pekerjaan jaman dulu. Jaman saya di Honjo. Jaman kerjaan saya cuma baby-sit, chatting, blogging, masak (aarrghh), foto-foto, nonton CSI basi, begadang, dan pekerjaan lain yang gak penting. Diantara waktu-waktu itu (Hikari sekolah atau tidur, Papap sekolah atau tidur, temen chatting pada tidur, sayur bayam udah mateng, CSI udah habis) saya mencoba untuk menulis cerita fiksi.

Semua ada waktunya. Selain Hair-Quake (yang saya kirim belakangan sebelum balik ke Indonesia), dua cerita lainnya saya kirim jauuuuuuh-jauh hari ke penerbit yang meminta. Bahkan si La Tahzan itu seharusnya terbit exactly dua tahun yang lalu!

But, Noooooooooo. God the Almighty tidak setuju. Tidak peduli segimana pun saya mengemis-ngemis, 'Mana dong, oh, mana dong?', Yang Punya Waktu tetap bergeming (bergeming as in cuek ajah). Timing Dia selalu tepat. Ya, iyalah. Dia gitu loooh. Nyuekin keluh kesah saya bukan berarti Dia tidak peduli. Ketika saatnya tiba (baca: duit kembang-kempis, BBM naik, anak mau masuk SD, beli lotere gak menang), tiba-tiba… BUM! Ketiga tulisan saya diterbitkan.

Sungguh suatu pelajaran hidup yang berharga. I should have known better.

Lalu bagaimana dengan tulisan selanjutnya?

Kayaknya sih Yang Punya Waktu belum memberi tanda kalau sekarang timingnya sudah tepat buat saya untuk menulis cerita yang lain. Hahaha…

Broken-Hearted Muslimah

Mengapa harus kata jatuh cinta yang berada di depan kata cinta?

Apakah cinta memang selalu identik dengan musibah dan malapetaka?

Mengapa harus ada kata mati yang berada di belakang kata cinta?

Apakah cinta memang selalu menghadirkan segumpal lara dan setetes air mata?

Sejumlah kisah, sejumlah peristiwa, lahir dan tumbuh bersama cinta.


Bersama Asma Nadia dari Lingkar Pena Publishing House dan teman-teman yang lain, saya menulis cerita ke-12: The Heart-Breaker. Semoga buku ini bisa memberi manfaat buat kita semua!

La Tahzan for Broken Hearted MUSLIMAH
Asma Nadia, Intan Arifin, Dian Ibung, Dyotami, Dewi Rieke Kustiantari, Novi Khansa', Me, Amelia Azma, Nasanti, Ummu Alif, Tary, Leyla Imtichanah, Mariskova, Id@ AZ, Esti Handayani.

Satpam atau CS?

Setelah ditunda-tunda beberapa lama, saya harus datang ke bank juga.
Karena sadar kalau hari itu saya bangun dengan mood yang berantakan, saya memutuskan untuk berdiam diri di mobil selama beberapa menit sebelum masuk ke dalam bank. Learning from experience, that is.

Tarik napas, keluar napas, lirik kaca spion, latihan tersenyum dulu supaya wajah tidak terlihat terlalu mengerikan. Di dalam sana, hal-hal yang normal bisa berubah jadi perkelahian panas.
Saya membuka pintu mobil. Melangkah keluar. Berjalan dua meter ke arah pintu bank.
Baru saja tangan saya hendak meraih pegangan pintu, pintu kaca sudah terbuka.
Seraut wajah coklat matang berkumis tipis muncul dari balik pintu.

"Selamat siang, Bu. Silahkan masuk," sapa suara berat dari Pak Satpam berseragam safari abu-abu gelap.
"Ada keperluan apa, Bu?" tanyanya ramah dengan senyum tulus yang muncul menerobos kumisnya.
"Bisa saya bantu? Atau Ibu mau langsung ke Customer Service?" Tangannya menunjukkan arah Mbak CS berdandan super rapi sedang duduk tegak di mejanya.

Mata saya cepat bereaksi.
Ke kanan, ada wajah coklat matang berkumisnya Pak Satpam.
Ke kiri, ada wajah putih bedak tebal lipstik merah rambut tersanggul rapi Mbak CS.

Keputusan yang mudah.
"Bisa sama Bapak aja?" tanya saya cepat.

PMS

PREMENSTRUAL SYNDROME

Boys, aren't you glad you don't have to experience it?!


Rasa sakit melilit di perut itu belum seberapa, karena PMS sendiri adalah gabungan dari gangguan pada emosi, fisik, psikologis, dan mood. Banyak perempuan merasakan gangguan di keempat hal tadi. Saya, entah harus bersyukur atau menyumpah, selalu mengalami penderitaan melulu di fisik.

Sejak pertama kali mendapat haid dan kesananya mengalami sakit haid, saya sudah mengantongi jam terbang pingsan di tempat-tempat publik: di bis, di angkot, di pintu gerbang sekolah, di kelas, di koridor sekolah, di mobil Eyang Kung, di halte bis, di taksi, dll. Yang paling sering tentu di rumah.
Setelah punya anak, sakit haid saya bertambah selain sakit perut juga migren. Untuk migren ini, jam terbang pingsan saya bertambah: di kantor dan di UGD RS Carolus.

Tiap perempuan punya PMS yang berbeda-beda. Teman saya ada yang bertambah nafsu makannya. Dari segentong jadi tiga gentong. Teman yang lain, ada yang malah jadi memilih puasa, karena setiap mencium aroma masakan langsung muntah. Ada yang bawaannya sensitif melulu. Disenggol dikit nangis, gak disenggol kejer. Ada yang bawaannya ngajak berantem melulu. Ada yang bawaannya mencetin jerawat. Ini karena tiap PMS jerawat segede jengkol muncul di seluruh permukaan wajah. Udah jelek, jerawatan pula. Untung ada ojek. Ada juga yang kerjanya marah-marah dan bawaannya pengen beres-beres rumah. Nah, kalo yang ini PMS-nya Mami saya. Pokoknya, kalau sudah PMS, dunia salah aja dah!

Mungkin, mungkin nih, karena itu pula Tuhan mengijinkan perempuan yang sedang haid untuk cuti sholat. Bayangin aja. Tanpa PMS pun, kita seringkali nangis kejer saat sujud di kaki Tuhan. Apalagi pas tingkat sensitif tinggi saat kita PMS???
"Hiks, ooooh, Tuhaaan, suamikuuu ituu..."
"Huaaaa... Tuhaaan... si Mami tuuuhh..."
"Ihiks ihiks... Tuhaaan... Waaaa...."
Segala apa diaduin.
Mungkin Tuhan gak sampai hati untuk bilang, "Bo, elu tuh cuma PMS doang!"

Balik lagi ke sakit perut saya pas PMS bulan ini, seperti ayam nunggu jadwal dipotong saya ngejogrok di pantry kantor. Sapaan pun bertebaran dari manusia-manusia penunggu kantor lainnya. Ketika rahasia terbongkar...
"Ohhh, lagi PMS ya?!"
"Iya. Tapi gak perlu pake teriak-teriak kali ya?"
"Sakit perut yaaa?!"
"Iya. Tapi gak perlu teriak-teriak."
"Wah, gue sih lebih milih sakit perut aja deh kalo pas PMS! Kalo gue pas PMS, bawaannya pengen marah-marah ngamuk-ngamuk sensi-sensi melulu! Orang yang gak tau kan disangkanya gue ini emang pemarah! Bener deh! Gue mendingan sakit perut aja!"

Kenapa ya manusia selalu berlomba untuk lebih menderita dari yang lain???

Berbagi Rezeki

Satu dari beberapa rencana kami sebulan yang lalu adalah memasang telpon dari Perusahaan Telpon Milik Negara. Sebagai warga negara yang baik, patuh pada peraturan dan beriman, kami mendaftarkan diri kepada Customer Service Online perusahaan tersebut.
"Ini nomer pendaftarannya, Pak. Nanti rumah Bapak disurvei dulu."
"Kapan prosedur lapangannya selesai?"
"Seminggu kira-kira. Minggu depan Bapak telpon lagi."

Perasaan kami girang. Wah, sudah profesional nih. Ada rasa bangga dan kami pun bisa tidur nyenyak selama seminggu.

Minggu berikutnya, saya yang menelpon.
"Mbak, nomer pelanggan sekian sekian kapan bisa dipasang?"
"Line telponnya belum ada, Bu. Telpon kami seminggu lagi."
"Kok bisa belum ada, Mbak? Wong saya tahu ini jalur lewat di pekarangan depan rumah saya. Teknisi telponnya aja waktu itu bilang tinggal tarik kabel dari kotak besi di depan rumah saya?!" (Kebetulan sewaktu kami sedang membangun rumah, tetangga sebelah sedang memasang telpon dari perusahaan yang sama)
"Iya, Bu. Tapi disini memang sudah penuh."
Sudah lah. Saya malas ribut. Kami menunggu seminggu lagi.

Seminggu lewat lagi. Jawaban perusahaan itu masih sama.
Tiba-tiba saya dengar kabar-kabar.
"Kemane aje lu! Masang telpon perusahaan itu memang lama tau. Bisa beberapa tahun. Kecuali elu mau bayar calo!"
"Kita pasang pake calo, Mbak. Waktu kita dateng ke kantor cabang itu, kita dikasih tau kalau jalurnya penuh. Trus, pas keluar ada calo dan satpam yang nawarin untuk pasang. Cepet tuh. Gak sampe seminggu udah kepasang."
"Pake calo. Bayar sejuta setengah. Tiga hari kring, De'!"
"Disini, kita kumpulin orang satu RT. Trus, minta pasang sama calo. Kalau rame-rame begitu, jadi lebih murah."
"Iya, kalau lewat jalur resmi, bertahun-tahun gak bakal dapet. Tuh, kayak tante itu."
"Gak usah masuk kantornya, Mbak. Baru sampai halaman parkirnya aja udah ditawarin kok."

Saya masih tak percaya. "Masa' sih?! Itu kan artinya mereka memberi kesempatan pada calo dong!"

Kemarin, Papap di telpon seorang petugas Perusahaan Telpon Milik Negara. Entah darimana dia tahu nomer telpon hp si Papap.
"Pak, katanya mau pasang telpon ya?"
"Iya."
"Kalau nunggu dari kantor, bisa lama, Pak."
"Trus?"
"Saya bisa ngurusin. Bayarnya belakangan aja kalau sudah terpasang."
"Biayanya berapa? Harga resmi kan? Tigaratus sekian?"
"Wah, bukan, Pak. Itu yang jalur resmi. Kalau mau cepat, biayanya SATU SETENGAH JUTA."

Mendengar cerita saya, seorang kolega berkomentar berat, "Yah, itu caranya mereka berbagi rezeki."

Kalau bukan karena fasilitas internetnya, saya tidak akan terus berharap ada mukjizat!

Blogger Templates by Blog Forum