Showing posts with label Books. Show all posts
Showing posts with label Books. Show all posts

Muhasabah Cinta

Pulang dari Pesta Blogger 2009 tanggal 24 Oktober yang lalu, saya mendapat kejutan lagi. Ada sebuah paket berbungkus kertas coklat dengan kertas pengantar tertera nama Lingkar Pena disana. Tak sabar saya robek pembungkusnya dan...

Alhamdulillah, tulisan pendek saya berjudul Cinta Tak Selalu Merah Muda masuk dalam buku kumpulan cerita pendek Asma Nadia dan kawan-kawan. Buku itu telah terbit di tengah bulan Oktober. Ternyata.

Ini memang kejutan karena sudah lama sekali (lebih dari setengah tahun) saya tidak mendengar kelanjutan dari proyek buku itu. Bahkan, Mbak Asma sekarang sudah di luar negeri.

Eniwei, saya berharap buku ini berguna bagi yang membaca karena berisi curhatan penulis-penulisnya. Pengalaman jelek, jangan ditiru, yang baik, silahkan diingat-ingat. Mau tahu sedikit lebih banyak tentang bukunya? Lihat aja disini.
photo source: anadia.multiply.com

To Tokyo To Love - Grab it!



Okay, it's official now.
Hari ini novel kedua saya sudah beredar di toko buku, terutama di Gramedia Bookstore.

Novel ini saya tulis di minggu pertama saya pulang ke Jakarta setelah bermukim selama 2 tahun di Jepang dan terutama akibat tinggal di Tokyo selama sebulan. Saking seringnya naik kereta di Tokyo, saya tidak bisa melupakan bau kereta-kereta di Tokyo dan campur aduknya perasaan saya setiap kali naik kereta di kota itu. Pemandangan kota dengan gedung-gedungnya, kebiasaan orang Jepang yang selalu duduk di kereta dengan khidmat, rasa tersenggal-senggal karena mengejar-ngejar jadwal kereta supaya tidak ketinggalan... semua saya serap seperti spons. Dan, begitu saya tiba di Jakarta, kenangan itu, bau itu, begitu memuncak... lalu, lahirlah novel ini.


Proses lahirnya novel ini lumayan panjang dan berliku juga. Awalnya novel ini saya tulis dalam bahasa Inggris. Alasannya semata-mata karena ide-ide yang berhamburan di kepala saya saat itu dalam bahasa Inggris. Ketika draft novel ini jadi, penerbit saya meminta saya menuliskannya dalam bahasa Indonesia, dengan beberapa alasan. Akhirnya, jadilah novel ini berbahasa Indonesia. Sampai sekarang saya masih bermimpi untuk bisa menerbitkan versi bahasa Inggrisnya. Mudah-mudahan nanti ada jalannya. Wish me luck.

Saya juga berhutang terima kasih kepada beberapa orang. Satu orang yang harus saya sebutkan disini saking pentingnya perannya dalam memberi kritik dan kasih sayang (hehehe) adalah Nenek FM. Dia itu lah kelinci percobaan saya. Saya pernah memberinya draft/naskah ini yang belum jadi untuk dinilai. Hasilnya? Dia muntah-muntah...
Eniwei, Nek, thanks for everything. The truth is always motivationally encouraging when it comes from you.
Lalu, ada Barb dan Je yang juga saya jadikan kelinci percobaan. Hasilnya? Gagal total! Mereka menyerah pada bab pertama (si Je malah pada paragraf pertama) dengan alasan klise: sibuk! Halah!
Setelah mereka, saya kapok meminta orang lain untuk jadi kelinci percobaan. Jadi yang saya lakukan adalah memasukkan naskah ini ke penerbit dan kemudian memaksa dua teman saya: Romo dan Raatje untuk membuatkan kesan-kesan singkat tentang saya sebagai pengganti halaman biografi mini. Herannya, tanpa pernah membaca naskah ini sebelumnya, mereka mau aja membuatkan kesan singkat tentang saya?! Ck ck ck...

Well, akhirnya, buat para hadirin yang terhormat, cepat-cepatlah pergi ke toko buku dan membeli novel ini. Lalu, jangan lupa tinggalkan komen tentang novel ini disini. Hehehe... Tiada kesan tanpa kehadiran anda semua. Makasih ya, semua!

Ps: untuk Pak Dhe, ditunggu aja janjiku. Tapi muntah tidak dijamin yak kekekeks...

Meminta Tanpa Meminta

Rambut saya sudah panjang -setidaknya untuk ukuran saya. Saya juga sudah gerah. Tapi karena saya orangnya kekeuh (sudah bersumpah untuk manjangin rambut supaya gak disangka embak-embak), saya teteup gak mau potong rambut. Sumpah, I really feel ugly!Bolak-balik, saya menanyakan pendapat Papap tentang rambut saya.
"Bagus gak, Be?"
"Potong gak, ya?"
"Berantakan gak?"
"Cakep gak?"
Kalau saya sudah segitu desperado-nya, saya nanya Hikari juga.
"Rambut mama cakepan panjang atau pendek, Ri?"
"He-eh."
Loh?

Setelah hampir 6 bulan, komen Papap masih standar aja: "Iyaaaaaaaaaa."
Loh? Ditanya bagus atau enggak, jawabnya iya. Itu kan double answers.
Atau diplomatis?

Tadi, 15 menit yang lalu, Papap lagi nonton event otomatif di tivi Indonesia. Saya lagi bengong di depan komputer. Seperti biasa. Tiba-tiba Papap manggil.
"Ma, sini deh. Liat presenternya."
Saya masih cuek. Gengsi dong disuruh liat-liat cewek laen. Emang gue cewek apaan?!
"Ma, liat presenternya deh. Rambutnya bagus tuh."
Saya penasaran juga. Saya beranjak ke depan tivi. Yang ada di layar tivi adalah bapak-bapak setengah baya yang botak.
"Hah?"
"Bukan. Bukan dia. Tunggu bentar."
Sedetik kemudian tampang presenter itu muncul.
RAMBUTNYA PENDEK!

Oh iya, sebelum saya balik ke ngambek-mode-on, saya cuma mau promosi aja.
Novel kedua saya akan segera beredar. Judulnya To Tokyo To Love (link menyusul ya, kalo udah kaleman dikit hehehe). Cepet-cepet ditungguin di Gramedia yak! Kalo hari ini belom ada, dateng lagi besoknya. Besoknya belom ada, dateng lagi lusanya. Pokoknya caranya begitu deh biar gak keabisan...

Ini Jawabannya...

Mungkin karena sudah bawaan seorang guru, setiap kali saya menulis (fiksi) saya selalu menyelipkan sepotong dua potong pesan moral. Cerita-cerita saya biasanya juga berkembang dari potongan pesan moral itu. Sepertinya hal kayak begini tidak terlalu baik untuk dicontoh: you'll end up feeling older and looking older than you wish you were not.

Begitu juga dengan Hair-quake.

Ada pesan moral saya disitu yang saya yakin bisa bikin para laki-laki manyun. Papap salah satunya. Pesan moral saya hanya satu, eh, lima kata.

Laki-laki (itu) gak penting!

Buat yang udah baca (yang belom baca silahkan mengejar ketinggalan kalian), yok kita balik ke Andita. Lewat Andita, saya ingin menggugat suatu konsep kebahagiaan perempuan yang katanya hanya ada di dalam hubungan dengan laki-laki. Sebenarnya, kalau saya boleh lebih jujur dan kasar lagi, saya ingin menggugat kata-kata seorang teman perempuan saya yang mengatakan prestasi tertinggi seorang perempuan adalah dengan mendapatkan pendamping dan menikah. Kenapa saya jadi inget pembantu saya yang ijin pulang kampung setahun lalu ya? Jadi, ketika Andita dipaparkan pada kenyataan kehilangan (dalam bahasa Santi 'kaburnya') seorang laki-laki yang dia cintai, peristiwa itu tidak harus jadi akhir sebuah cerita (baca: novel). Buat saya, ending terbaik adalah Andita dapat beasiswa ke Amerika, bo! Masa bodoh dia mau dapat pacar atau enggak. Hidup tidak berakhir pada kepergian (atau kehilangan, atau kaburnya) seorang laki-laki. Hidup baru berakhir ketika diri sendiri memutuskan hidup itu harus berakhir. Begitu juga dengan kebahagiaan. One can decide where s/he wants to start.

Itu pesan moral saya hari ini. Juga jawaban saya atas janji yang molor. Juga pemaparan teori saya bahwa penemuan sepotong pesan moral berarti satu tambahan garis kerutan di wajah. You'll end up feeling and looking older.

Hayo tebak!

Setelah sekian lama, masih saja ada orang yang menanyakan: "Kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Prasta?!"
(Herannya gak ada yang tanya kenapa Andita gak jadi pacaran dengan Ricky???)

Iya, saya lagi ngomongin novel Hair-quake saya itu yang endingnya... ehem... ternyata bikin orang patah hati.
Terus terang, maksud saya tadinya bukan itu. Bukan untuk mematahkan hati siapapun.
Gini deh. Kita main tebak-tebakan aja yuk. Terutama untuk yang udah baca. Yang belum baca, silahkan baca. Hehehe...

Pertanyaannya: Kenapa sih saya tidak mengakhiri cerita itu dengan membuat si tokoh utama pacaran dengan salah satu cowok disitu?

Jawaban saya ditunggu seminggu lagi yak. Moga-moga pada hari Selasa minggu depan, internet kantor nyala dan boss gak nyuruh meeting lagi meeting lagi! Hehehe...

Radio On!

Masih tentang Hair-Quake!

Kalau penasaran kenapa Andita tidak jadi pacaran dengan Prasta,
atau kenapa Andita mau pergi dengan Ricky,
atau kenapa sih Andita ribet banget dengan rambutnya,

dengerin radio Indika fm 91.60 yuk!
besok, Kamis, 29 Mei 2008
jam 9 - 10 pagi!

Broken-Hearted Muslimah

Mengapa harus kata jatuh cinta yang berada di depan kata cinta?

Apakah cinta memang selalu identik dengan musibah dan malapetaka?

Mengapa harus ada kata mati yang berada di belakang kata cinta?

Apakah cinta memang selalu menghadirkan segumpal lara dan setetes air mata?

Sejumlah kisah, sejumlah peristiwa, lahir dan tumbuh bersama cinta.


Bersama Asma Nadia dari Lingkar Pena Publishing House dan teman-teman yang lain, saya menulis cerita ke-12: The Heart-Breaker. Semoga buku ini bisa memberi manfaat buat kita semua!

La Tahzan for Broken Hearted MUSLIMAH
Asma Nadia, Intan Arifin, Dian Ibung, Dyotami, Dewi Rieke Kustiantari, Novi Khansa', Me, Amelia Azma, Nasanti, Ummu Alif, Tary, Leyla Imtichanah, Mariskova, Id@ AZ, Esti Handayani.

Blogger Templates by Blog Forum