After Life

A week before I got sick, I borrowed two books from my friend, Barb. Both of them are by Mitch Albom: Five people you meet in heaven and Tuesday with Morrie. Both of the books, in a way, are similar because they talk about Death.

The days when my sickness was the worst, and my temperature was the highest, I had finished reading Five People You Meet in Heaven and I was in the middle of Tuesday with Morrie. So, during my worst hours, my mind was asking questions: whether I had bird flu or not, (if I did suffer from it) whether I was gonna die, who are the five people I'd meet in heaven (my best friend, my cousin, Keanu Reeves?... Na-ah, he's still alive), and how I was gonna die (paralized first or die in my sleep). I also began to wonder how people would react if I really did die (crying? laughing? cheering? toasting?). Those days I really really thought I was between life and death...
But, good news, I am getting better instead of getting worst (Alhamdulillah, thank God). The doctor also told me:
1. I didn't suffer from bird flu.
2. I wasn't going to die.
3. That I was overdosed, therefore I was hallucinating.

Awesome.

Today is a week after my worst days. I have finished reading both books. What did I get to learn from all of this?
Never read any books when you are under heavy prescription!

This reminds me of my experience before the delivery process of Hikari. For nine months, I equipped myself with all the books I could find about 'Pregnancy' and then 'Giving Birth'. My mom tried to warn me that I might scare myself when the real time came (having read those A-Z of pregnancy and delivery). As a normal child, I ignored my mom (who had given birth to three children and witnessed dozen others). And, as story told, Mom is Always Right: I was scared to death when the days approached the D day.

Again, the moral of the story is: Never read any books when you are under huge stress!

Well, now, what do I have left?
Oh, words of wisdom.

So, my advice to you all is: Never trust anyone who is under heavy prescription and huge stress!

At the moment you are reading this, I'm begging Papap to buy me my reading supply. I'm running out of books and I don't care if a book would make me hallucinate again!

Boookkk, pleaaseeee.................. Anyone?

Namanya Ngeledek

Selagi kepala bisa diajak jalan ke teras rumah sebentar, saya pun duduk kriyep-kriyep menatap taman di depan rumah. Taman cuma sepetak pun tak jadi masalah. Yang penting pergantian pemandangan.

Gak lama, bunyi tok-tok-tok terdengar di kelokan. Ah, tukang cingcau. Rasanya seru juga minum cingcau, kata si iblis di kuping kiri. Jangan, kata malaikat, ntar elu minum segelas, ditusuk infus 10 botol mau?! Saya pun menuruti si malaikat. Terakhir kali saya diinfus, tangan kurus saya mendadak gemuk seksi merah merona. Iya, jarum infusnya salah masuk dan membuat tangan saya bengkak berhari-hari.

Tukang cingcau lewat, godaan lain segera menyusul: tukang bakso, tukang somay, tukang es dawet, tukang otak-otak. WOI, Bang! Waktu saya gak sakit, ente kemana aja?!
Iman saya masih teguh kukuh berlapis baja bersenjatakan rencong bervitamin cacing. Saya masih sabar duduk kriyep-kriyep di teras. Cuaca mendung dan angin ilir-ilir makin membuat nikmat ke-kriyep-an saya. Kepala pusing, perut panas, badang meriang pun tak begitu terasa.

"Mbak, mbak..." kata pembantu saya pelan. Dia sangka saya pingsan kali.
"Jadi dibikinin bubur?"
"Bubur?" Uuugghh... sudah seminggu makan bubur tak ada rasanya itu... "Yah."
"Sepiring?"
"Setengah aja."
"Kata Papanya Ari harus sepiring, Mbak."
"Yey, udah tau pake nanya lagi!"
"hehehe...."
"Lauknya apa, Tat?"
"Ayam blender ada. Mau telur rebus?"
Uuugghh... itu lagi itu lagi..
"Pake lauk apa jadinya, Mbak?"

Tok tok tok tok tok..... "SATE PADAAAANNNNGG, SATEEEE PADAAANNGG!!!"

"........"
maaf, yang punya blog lagi istigfar

Down for the Third Time

When I am writing this, I am struggling with my body because I am having a typhoid fever. It's been four days and I'm so tired of being in bed watching CSI (for the hundredth time). So, here I'm sneaking my way out of the bedroom to the computer (Papap is not home yet, my parents are downstairs, and Hikari is playing outside). I missed the chance to meet other bloggers last Sunday too... *hiks*

This desease is nothing new for me. I have been hospitalized two times for having typhoid fever before, and have been kept at home many times for having its symptoms. Even my best friend Ms. AC told me I've made it a hobby. To tell you the truth, I'm glad having this typhoid fever. With Indonesia's recent deseases-condition: bird flu, chikungunya, dengue fever, God-knows-what-else, my sickness is less life threathening... hehehe... And, I've got to admit that before I got my blood tested, I was scared to death that I might have infected by bird flu. Thank God, I didn't.
So, guys, if you need some advice on how to stay healthy, don't come to me.

My mom knows a secret recipe to cure the sickness faster: a mix of raw egg (ayam kampung, what do you call it in English? Farm chicken? Huahahaha...) and honey. BUT, I wouldn't advice that medicine anymore now. You know. Bird flu?
There is still another medicine that works like wonder. I've tried this and it made my stomach feel better. The medicine is made from dried worm. Yes, worm. Like, a worm in the earth? That's the one. So, clean these worms (of course after you manage to catch them), rinse them, water them, but do not use soap. I'm sure you're that intelligent... hehehe... Then, dry the worm under direct sunlight. Next, cook them without cooking oil until it is really really dry. When you are done cooking... eat them.
Yucky?
You bet!
That's why I'd rather order that worm medicine from the Chinese drug store. They have the dried worms in capsules...

Okay, then, I've got to go. Not because I want to, but my head is starting to ache.
Bye.

The Job

Pekerjaan apa yang paling berat, paling demanding, emotionally involving, stressful, etc., di dunia -bila amanatnya diemban dengan sungguh-sungguh?

Jawabannya: Pengawas Ujian di Endonesyah

Sudah seminggu ini saya menjadi pengawas ujian di kantor tempat saya bekerja. The first time (again) in three years. Naturally, semua yang mengajar di kantor ini pada akhir semester akan mengawasi ujian murid-murid juga. Dan murid-murid yang diawasi ini satu) bukan murid kita sendiri, dua) terdiri dari beragam usia dan latar belakang. Kesamaan dari mereka hanya satu: dalam tiap kelas pasti ada cheater(s) alias pencontek, walau dengan derajat ke-akut-an yang berbeda.

Bila kita jenis orang yang EGP banget sama para cheaters ini, kita bisa duduk tenang di depan kelas menganggur tanpa perduli dengan orang-orang yang kita awasi tanpa terkena penyakit stress dan darah tinggi.
Sayangnya, saya bukan jenis pengawas EGP.

Pada hari pertama ujian, saya harus masuk ke dua kelas di jam yang berbeda. Sebelum masuk ke kelas pertama, guru kelasnya sudah mendekati saya,
"De, begini ya. Kalau elu masuk kelas gue, jangan lupa pasang tampang sangar! Kelas gue itu penuh dengan cheaters bla bla bla bla..."
Tuh kan, belum masuk aja udah bikin stress...

Si guru ternyata tidak salah, apalagi berbohong. How I wished she was wrong. Belum lagi ujian dimulai, saya sudah harus berteriak luar biasa kencang, "SILEEEENNNNNTTT!!!" gak pake please. Lalu, urusan penting selanjutnya dilakukan: mengatur siapa duduk dimana. Dan ternyata tindakan saya yang ini sungguh tepat: Semua siswa yang duduk di depan kedapatan mencoba mencontek. Saking desperado-nya mencontek, mereka bahkan tak sadar kalau saya berdiri tepat di dibelakang kursi mereka.

Kelar kelas pertama, saya harus masuk ke kelas berikutnya. Sebelum masuk jam berikutnya, saya kembali didatangi guru kelas kedua, juga dengan kalimat awal yang sama, "De, elu nanti masuk kelas gue. NAH, kelas gue itu bla bla bla bla...."
Saya pun menjerit, "Tiddddddddaaaaaaaaakkkk!!!"
Kelas pertama, satu jam ujian saja sudah membuat saya darah tinggi.

Atas jeritan dari hati saya yang paling dalam, para kolega saya menghibur, "Ah, De, elu kan jagonya bikin anak-anak itu bertekuk lutut. Reputasi elu tuh udah terkenal bahkan setelah elu pergi ke Jepang kemaren..."

Sialan! Pekerjaan gue itu sebenernya guru atau tukang jagal sih?

catatan: murid-murid dari dua kelas itu, usai ujian meratap-ratap pada gurunya.
"Ma'am, kok tega banget sih ngasih kita pengawas kayak begitu?"
"Ma'am, saya kan hanya ngelirik sedikit aja... Nama saya gak dicoret kan?"
"Ma'am, saya lulus gak ya? Duuh, saya ngeri banget pas ujian tadi..."

HUH!

Alamat dimana?

Rasa bingung saya berubah jadi geli ketika melewati seruas jalan di daerah Bekasi. Pagi itu (kayaknya, lebih pantes dibilang SHUBUH itu dey), saya nangkring diboncengannya Papap. Kudu berangkat pagi, eh, subuh-subuh karena ada ultimatum dari kumendan bahwasanya saya kudu sampe di kantor sebelum ayam jago berkokok. Padahal saya biasanya pergi ngantor pas ayam jago tidur siang, bo! Eniwei, hari itu, saya berangkat pagi, eh, subuh.
Demi menghindari kemacetan luar biasa serta rasa kantuk yang lebih luar biasa lagi, saya rela dibonceng Papap dengan Bebek odong-odongnya selama 1.5 jam perjalanan daripada nyupir kuda sendiri ke kantor. Lalu kami pun melewati jalan yang gak biasanya saya lewati. Jelas, motor kan gak bisa lewat jalan tol... at least not in Indonesia, and not his kind of motor deh.

Karena tidak merasa kenal dengan alam sekitar, mata saya pun jelalatan mencari papan iklan toko-toko disepanjang jalan itu. Saya mau baca alamatnya. Jalan apa sih ini?
Satu toko akhirnya memberikan alamatnya dengan jelas: Jalan Jatimekar. Oooh, pikir saya, disini tuh Jatimekar tho. Saya pun kembali meluruskan pandangan. Kembali menatap belakangnya batok helm si Papap.
Hanya beberapa meter kemudian, jalannya motor kembali tersendat. Saya menoleh dan tak sengaja membaca papan nama yang lain: Jalan Raya Bogor. HAH?! Jalan Raya Bogor? INI JALAN RAYA BOGOR??? Belum sempet kagetnya hilang, beberapa meter kemudian papan nama yang lain, di ruas jalan yang sama, bertuliskan: Jalan Pondok Gede.
"..........????"
Saya pun mencolek Papap, "Beh, ini dimana sih? Ini jalan apa?"
Yang dijawab Papap, "umengaelgno."
Oh, iya, lupa. Dia kan pake helm isi bantal plus penutup mulut dari gorden. Saya pun berusaha mencari sendiri informasi yang benar. Ternyata seruas jalan itu mempunya nama jalan yang berbeda-beda walau jaraknya hanya semeter-dua. Gak tau deh gimana caranya Pak Pos bisa menemukan si Who di Where. Kalo udah begini, saya nyanyiin aja lagu TK-nya Hikari jaman di Honjo dulu, "Yubingya-san, itsumo, arigatoooooo." (baca: Mr. Postman, thank you, always).

Cerita sepenggal jalan yang punya multi nama itu mengingatkan saya pada pengalaman saya dulu. Juga soal nama jalan, walau beda kasus.
Waktu itu saya sedang berada di salah satu bank besar di Jakarta. Saya lupa apa kepentingannya, tapi saat itu saya harus menyebutkan data diri saya ke seorang Mbak-Resepsionis-Cantik-Tapi-Tak-Pernah-Senyum. Dia sibuk menuliskan data diri saya di selembar kertas resmi. Kenapa juga dia gak suruh saya tulis sendiri ya?
"Nama?" tanyanya sambil terus menunduk.
"xxxxx," jawab saya.
"Alamat?" masih menunduk. "Jalan?"
"Mars," jawab saya kalem.
"JaLANNN?"
"Jalan? Mars."
Dia mengangkat muka. "Rumah EMBAK, JALAN apa?!"
"Jalan MAAARRRSSS." Gile, emang dia aja yang bisa pake nada sopran?
Eh, dia melotot. "Alamat yang benar, Mbak!"
"RUMAH SAYA di JALAN MARS!"
Setengah gak percaya dia menulis di kertas lagi. Sambil melototin saya tentunya.
"Lengkapnya?"
"Jalan Mars Komplek Angkasa."
Pada saat ini dia meletakkan pulpennya di meja. Sampai pulang saya tidak tahu kenapa dia bisa sesadis itu sama saya. Untungnya pada saat kejadian saya datang bersama seorang teman, yang diperjalanan pulang memberi pencerahan, "elu juga sih punya rumah di jalan begitu komplek begitu. Dia pikir elu kan becanda aja!"
Yah?!

Kebayang gak sih kalo orang-orang dari jalan berikut ini melamar pekerjaan, misalnya.
"Alamat?"
"Jalan Dogol."
".... Kamu baru ngelamar kerjaan aja udah berani ngebanyol ya...."
Nah lo!

catatan: Jalan Dogol benar ada di Jakarta Pusat, seperti juga Jalan Jendul di Jatiasih, Bekasi dan Jalan Haji Pitak di Bekasi (lupa, selatan timur barat utaranya). Punya nama jalan yang lebih ancur lagi?

Somewhere in Nowhere

It sounds like a joke when I wrote that my housing complex was so remote that it didn't have a zip code. It still doesn't.

Unfortunately, it is not a joke. Well, at least it is not, for my neighbors-who-share-the-same-street's-name. None of them knows the zip code, or knows if in any case we are entitled to have a zip code.

If you still think I am joking, or just being dramatic, I'll tell you this: go get yourself a newly-revised map and locate our housing complex. It is not even there... Our housing complex, I mean, forget the zip code.

Finally, I realized, this non-existance of zip code should have opened my eyes about the remoteness of my house; therefore, I wouldn't have expected to have a decent internet connection. Learning from my two-month experience, whenever I contacted all those most-recommended providers, they always replied my request with...
"Ibu yang terhormat dan baik hati. Dengan sangat menyesal kami memberitahukan bahwa kompleks perumahan Ibu belum terjangkau oleh layanan kami. Semoga sukses lain kali."

And so I was left with one and one choice only: the one that I am using but I won't recommend. Can you guess what it is?

Fasilitas

Kata orang, manusia yang kreatif itu adalah manusia yang kalau diberi kesempitan fasilitas akan berusaha sedemikian rupa menggunakan akalnya sehingga fasilitas yang terbatas tidak menjadi penghalang kreatifitasnya.

Sekarang, please do tell me...
Kalau fasilitas koneksi internetnya dodol n bloon, kita harus kreatif ngeblog seperti apa ya?
Mengirim surat berperangko ke blogger dot com yang berisi postingan terbaru kita setiap kali kita mau update?

Yeah, right!

Grrrhhhh.........!!!

Apa yang pertama kali dilakukan perempuan-perempuan Indonesia (oke deh, dan beberapa laki-lakinya) yang bermukim di luar negeri ketika sedang kembali ke tanah air? Cari makanan khas Indonesia? Ah, udah basi kali je. Perempuan sekarang kan banyak yang pinter masak, terutama yang bermukim di luar negeri. Ini bukan pujian, tapi kenyataan. Lah, kalo gak memaksakan diri untuk pinter masak di negeri orang, sapa yang mau masakin toh?
Eh, jadi ngelantur. Oke, pertanyaan di atas tadi, apakah sudah bisa dijawab oleh para hadirin sekalian?
Blum?
Duh!
Jawabannya itu hanya satu: POTONG RAMBUT!
Kok?
Potong rambut di luar negeri itu banyak bikin miris hati, karena. Pertama, tentu saja, karena harganya muahaalll. Tapi, buat saya, bukan itu yang jadi soal. Kalau kasus saya, potong rambut di negeri nyang itu sungguh melelahkan dan membuat sport jantung. Gimana gak sport jantung? Saya dan si pemotong rambut tak pernah bisa sebahasa dan sepaham. Ujung-ujungnya, potong rambut di situ entu malah bikin capek karena kudu jungkir balik menggerakkan segala badan menirukan bahasa Tarzan. Belum pernah tuh saya dipotong rambut sesuai dengan yang saya pesan. Segitunya saya sudah pernah nekat menyimpan rasa malu dengan meminta tolong teman lokal untuk menuliskan instruksi-instruksi pemotongan rambut saya. Satu-satunya yang menjadi penghibur hati saat potong rambut disana adalah pelayanan plus penyambutan yang 100% memuaskan ditambah dengan kursi cuci rambut yang gak pernah bikin leher patah tulang…

Naaah, sekarang saya kembali ke tanah air tercinta. Harusnya tak ada lagi masalah potong memotong rambut toh? Well, guess what?
Sebulan setelah saya beredar di kampung halaman, rambut ini sudah mulai bikin gerah. Potong aaaahhh, pikir saya. Maka pergilah saya dan si rambut ke suatu mall ngetop yang jaraknya selemparan sepatu dengan Cikeas itu. Kaki ini pun mantap rasanya melangkah ke gerai potong rambut yang franchise-nya ada dimana-mana. Setelah memastikan kalau gerai yang saya tuju benar-benar tempat pemotong rambut profesional (dan bukannya sekolah pemotong rambut yang isinya para pemotong rambut pemula sedang memotong rambut korbannya), saya dengan PD-nya melaporkan diri ke resepsionis.
“Mbak, saya mau potong rambut.”
Si Embak melirik. “Duduk dulu deh, Mbak.”
Oke lah, batin saya. Gak pake senyum manis dan penyambutan sempurna pun tak apa. Saya cuma perlu potong rambutnya.
“Berapa orang lagi, Mbak?” tanya saya.
“Satu.”
Asiiiikkkkkk, sorak saya dalam hati.
Lima belas menit kemudian saya masih menunggu di seberang meja resepsionis yang maha tinggi dan lebar itu.
Setengah jam…
Empat puluh lima menit…
……………..
Kok gak ada pergantian pelanggan? Mana yang menunggu (selain saya)? Dua orang pemotong rambut sudah selesai dengan pelanggan mereka…
Tiba-tiba seorang cewek berambut pirang panjang (bukan bule), berbaju baby doll, bercelana legging masuk. Si Mbak resepsionis langsung menyambut. Mau creambath dan potong, kata si cewek itu. Silahkan cuci rambut, balas si Mbak Resep.
Lho kok? LHO? LHO KOK?

Saya pun berdiri menghampiri resepsionis (telat banget gak seeh?!).
“Mbak! Saya mau potong rambut MASIH LAMA?!!!”
Si mbak terbelalak. “OOOOOhhh… ya ampun… saya lupa kalau ada Embak…”
Cerita setelah kejadian ini saya hilangkan secara sengaja.

Proses selanjutnya, saya dilayani oleh (sepertinya) laki-laki muda berambut ikal dicat pirang yang penampilannya sungguh fashionable. Saya jadi menyesal datang dengan celana pendek dan kaos belel. Tanpa dandan pula.
Si Mas pirang itu membolak-balik helai rambut saya dengan dua jarinya sambil melirik tak tertarik.
Waduh, nih orang sepertinya kok bete banget liat gue sih?!
“Kamu gak mau dicreambath?” tanyanya.
Ealaaahh… dia ber-kamu-kamu. Disangka anak SMP kali gue ini je?
“Gak. Saya mau pergi lagi.”
Mulutnya membentuk huruf O.
“Rambut kamu tipis ya…”
“Iya…” Duh.
“Halus banget sih.”
“…..”
“Jidat kamu juga lebar ya.”
“???”
“Supaya gak kelihatan tipis dan bisa nutupin jidat kamu yang lebar, dipotong model Yuni Shara aja lah….”
“….”

Orang itu membuat saya dekat dengan Tuhan. Dia berhasil membuat saya Istigfar sepanjang masa. GUE GITU LOH YANG BAYAR ELU. KENAPA JADI GUE YANG DIHINA-HINA??????!!!!!!!!!!!!!!!!!

Aaarrrgghhh!

As the personification of Idefix, Obelix’s cute little dog in Asterix and Obelix, I am furious slash angry slash mad slash enraged slash infuriated slash upset to read the news about the preparation set by the government to welcome His Majesty George W. Bush. I don’t care about the: why he is coming, where he is coming or when, how he is coming, who is going to meet, whom is going to see him, what mission he is carrying, which party is going to protest against him, bla bla bla… I don’t care. Besides, those things don’t matter. What we will do about those things- that matters.
However, I am, really, am FURIOUS when I learned where he will be getting off!!! That man is going to get off his big-bad helicopter in BOGOR BOTANICAL (and historical) GARDEN, next to a pond filled with beautiful lotus flowers, among thousand collections of hundred-years-of-age plants, and at the same time, sacrificing the green grass. Dear God, whhhyyyy thereeeeeeee? This is so worth protesting!

Handphone, si Mami, dan Kacamata

Saat di Jepang dulu (hmm… sepertinya saya sekarang selalu memulai tulisan dengan kalimat begini? *mikir*), ada sebuah iklan handphone untuk para manula. Di negeri yang segala apa bisa dikerjakan dari handphone (termasuk bayar belanjaan dan beli karcis kereta), handphone buat manula sepertinya dan seharusnya bukan suatu hal yang aneh.

Ah, ternyata tidak begitu.

Pada kenyataannya, bagi orang-orang tua generasi perang dunia kedua (apalagi pertama!), handphone itu musuh, bukan kawan. Memakai handphone itu seperti memakai mesin ATM (apalagi kalo mesinnya super canggih dan menggunakan kanji); dipencet tombolnya, malah nanya melulu, gak dipencet, uang gak keluar. Buat Sensei-sensei saya dan para kerabat serta teman sesama manula, handphone bukan barang bawaan. Apalagi barang pakai-an. Maka, ketika ketika iklan hp buat manula itu muncul, saya pun tersenyum geli (sementara sensei saya tersenyum kecut).

Di iklan itu digambarkan dua orang kakek-kakek beruban (yang masih gagah berkumis memakai yukata lengkap) sedang membicarakan hp milik kakek A. Si kakek B terlihat agak alergi dan ngeri begitu kakek A mengeluarkan hpnya. Kata si kakek A, “hohoho… hp ini manula-friendly looh. Liat niiiiyyy…” Lalu, si kakek A pun memencet sebuah tombol dan segera saja suara cucunya terdengar dari seberang sono. Dan ketika ia selesai bicara, kakek A hanya perlu memencet tombol yang sama. Mudah toh? Maka kakek A dan B pun tertawa bersama.
Iklan itu keburu selesai sebelum saya sempat bertanya: kalau mau nelpon ke nomor lain, gimana caranya?

Sesampainya saya di Jakarta, si Mami yang baik hati merelakan nomer hp plus pulsanya dan tentu saja beserta tempat SIM cardnya (baca: handphonenya) untuk saya. No worries, kata si Mami. Ternyata beliau punya 4 nomor dan 3 hp! Haiyyyaah!!!

Soal hp, manula pemakai hp disini ternyata jauh lebih canggih dari negeri yang tadi saya ceritakan itu karena disini gak ada hp untuk manula. Si Mami yang juga sudah nenek-nenek itu (bow, udah punya cucu kan…) ternyata hp-hpnya selalu super canggih. Mami bisa pakai Bluetooth, bisa pake fasilitas denger-denger musik, bisa ini itu. Kebalikannya, si Babeh –yang ahli radar n satelit itu- malah gatek berat kalo soal hp. Tiap kali si Babeh mau pake hpnya (yang hanya untuk nelpon saya, adek-adek saya, atau si Mami), pasti minta pencetin kita sehingga dia hanya tinggal mangap doang. Balik lagi ke si Mami, dari datang sampai sekarang ini saya sering ternganga-nganga ngeliat Mami mamerin kebolehan hpnya. Saya nganga bukan liat hpnya; saya nganga liat gaya Mami. Nenek-nenek, gitu looh. Saya jadi berasa dinosaurus banget.

Tapi kecanggihan hp sini dan pemakai manulanya terbentur satu masalah.
Suatu kali, saat sedang memamerkan kebolehan hpnya –dan dirinya, tentu saja- hp si Mami berbunyi. Panggilan masuk. Si Mami memegang hp itu sekitar selengan jauhnya. Matanya mengernyit-ngernyit.
Kita: Gak dijawab, Mam?
Mami: hmm? (sambil bolak-balik merhatiin si hp)
Panggilan masuk itu pun berhenti.
Eh, nyala lagi!
Si Mami kembali mengernyit-ngernyit melihat si hp.
Kita: WOI! Gak dijawab? (maksudnya: brisik, euy!)
Mami: Ngggg… kacamata Mama mana ya?
Panggilan masuk kedua tadi berhenti lagi.
Sedetik kemudian, hp bunyi lagi!
Kita: MAAAAAAAAAKKK, itu hp mau dijawab gak seeehhh?!
Mama: lagi nyari kacamata dulu.
Kita: ngapain juga nyari kacamata dulu?
Mama: kan mau lihat siapa yang nelpon. (dengan nada kalem-kalem aja. Pada saat ini si hp udah bunyi untuk yang keempat kalinya)
Kita: emangnya kalau gak kenal sama nomer telponnya trus gak dijawab?
Mami: ya, dijawab juga dong.
Lhaaa????

Sekarang saya gak heran lagi kalau lihat orang-orang seumur emak saya yang hanya diam memandangi hpnya sementara si hp menjerit-jerit digenggamannya. Ini bukan karena para manula negeri ini pada gatek. Tuh orang pasti lagi gak bawa kacamata.

Mudik

Saya bukan orang Jakarta asli tak perduli bahwa saya lahir-besar-hidup di Jakarta. Emak Babe pun bukan orang Jakarta walau sebagian besar hidup mereka dihabiskan di Jakarta. Tapi ketika sebagian besar penghuni Jakarta –baik yang ngontrak maupun beli putus- berduyun-duyun meninggalkan Jakarta untuk pulang ke kampung masing-masing di hari-hari Lebaran begini, saya sekeluarga tetap setia dengan kota ini. Keluarga saya tak punya tradisi mudik –entah ini adalah suatu berkah atau musibah- karena kami tak punya kampung yang bisa diaku sebagai halaman kami. Kok bisa? Yaaa…. Begimana lagi? Alasan pertama: kedua orang tua saya itu berbeda kampung beda propinsi beda bahasa beda kelakuan. Jadi, menentukan kampung halaman buat keluarga saya agak susah juga. Kedua: Eyang saya yang kampung halamannya sudah jelas bukan di Jakarta, tiap Lebaran malah mudik ke Jakarta karena semua anak-anak, cucu-cucu (dan cicitnya yaitu Hikari), keponakan-keponakan, dsb dll, ada di Jakarta. Ketiga: Nenek-Kakek saya sudah meninggal dunia sebelum saya sempat kenal mereka yang membuat kata ‘kampung halaman’ menjadi kata-kata tanpa makna. Singkatnya, tidak ada hal sekecil apapun yang bisa memberikan alasan kepada saya untuk berkata, “saya mau mudik Lebaran ini.”

Kalau saya bukan orang Jakarta, sebaliknya si Papap itu malah aseli yang punya Jakarta, walau logat bicara saya lebih Betawi daripada si Papap. Menikah dengan orang Betawi berkonsekuensi pada semakin bertambahnya alasan untuk tidak bisa mudik, atau sekedar pergi ke kampung orang. Maka dulu itu ketika kami harus berlebaran di negeri orang, tidak ada kerinduan-kepanikan-kericuhan-keinginan-keterpaksaan untuk pulang kampung. Perasaan ini biasa saja. Lebaran disini disitu disana, ya, sama saja. Hanya minus orang tua dan saudara kandung saja. Apa gak kangen orang tua dan saudara? Ya, kangen lah, tapi kan ada internet plus webcam, ada telpon, ada pak pos. Kami malah merasa sengsara lahir batin gara-gara satu hal: gak ada makanan khas Lebaran…

Tapi, terus terang saja. Kelakuan kami yang ini jangan ditiru. Akibat kecuekan kami pada tradisi mudik ini kami pun sukses diomelin oleh orang se-Jakarta yang punya hubungan darah dengan kami. Menurut mereka, kami tak punya rasa kasihan dan hormat pada orang tua dan saudara kandung yang ber-Lebaran tanpa kami. Lucunya, orang yang dikasihani mereka justru cuek abis aja dan malah sibuk melarang-larang kami pulang karena, “tiket pesawat mahal kan? Mending beliin kita oleh-oleh aja.”
Yyyeeeeeeeeeeyyyyyyyyy…………..

Menonton berita Lebaran di tivi membuat saya penasaran. Seperti apa sih rasanya harus mudik?

Eniwei, selamat kembali mudik ya teman-teman. Semoga mudik kemarin membawa rahmat lahir batin dunia akhirat.

HAPPY EID EL FITR
TO ALL OF YOU


Bantal dan Guling

Dulu, ketika pertama kali datang ke Jepang, waktu tidur adalah saat yang menderitakan. Kami memang tidak (mau) pakai perlengkapan tidur ala Jepang, semisal: futon, sejenis ‘tempat tidur’ khas Jepang yang sebenarnya hanya berupa beberapa buah ‘kasur’ tipis yang disarungi, dan ‘bantal’ yang gak beda jauh sama bakiak itu. Perlengkapan tidur kami, standar saja: kasur biasa plus bantal. Nah, disini lah masalah bermula.

Kasur dan bantal ternyata belum cukup menambah kenyamanan tidur. Kalau gak ada Guling, kok, rasanya belum mantafff… Kaki ini jadinya menyepak kesana kemari mencari posisi yang enak karena ketiadaan guling. Untuk mengakalinya, saya pun membeli dua buah bantal mungil berbentuk tabung pendek yang saya jahit, eh, Papap jahit menjadi satu. Walau rasanya gak se-pol pakai guling beneran, masalah pun untuk sementara teratasi.

Kemarin itu, sewaktu kita kembali ke tanah air tercinta, masalah guling tentunya tak jadi masalah. Mau tempat tidur isinya guling semua pun bisa. Beragam pula pilihan gulingnya. Dari yang empuk yang isinya kapuk berumur 100 tahun sampai yang keras yang isinya kapuk fresh from the tree campur bijinya. Tapi, seminggu setelah mendapat kenyamanan berguling, masalah baru muncul.

Ketika saat pergantian seprai terjadi, saya pun mulai ‘nggratak’ koleksi seprai emak. Apalagi si emak mempersilahkan saya memakai seprai manapun sesuka saya. Eh, ada seprai bunga-bunga nih. Ih, ada yang bulan bintang. Aduuuh, ada yang gambarnya abstrak gini. Ceilee, si emak, ada yang motif pink heart looh (yang disahutin oleh emak dengan “itu kan seprai kawinan kamu dulu!”)… Serunya ngelebihin sale baju Lebaran deh!

Akhirnya setelah se-jam-an saya memilih-milih, saya mengambil satu seprai berwarna biru polos…. Tapi… loh kok…???
“Miiiii, seprai yang ini kok sarung gulingnya hanya satu?”
“Emang.”

Hah, udah susyeh-susyeh! Ya sud, yang ini aja kalow begitu… Tapi, loh, loh…
“Miiii, yang ini kok sarung gulingnya juga hanya satu?”
“Emang.”

Loh!? Yang itu juga?! Yang ini juga kok?! Loh? LOH?! KOK SEMUANYA HANYA ADA SATU SARUNG GULING?
“Miiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii! Masa’ semuanya cuma punya satu sarung guling? Guling ogut kan ada duaaaaaaa!!!”
Si emak pun nongol di kamar, “emang dari sononya begituuuuu.”

Wah! Ini diskriminasi terselubung namanya! Kalau sarung guling hanya diberi satu dari pabriknya itu berarti kan guling di tempat tidur pun hanya boleh satu. Lalu, siapa dong yang berhak mendapat guling berharga itu? Sang suami? Sang istri?
Apakah ini dimaksudkan untuk mengetes siapa yang lebih sayang dan tidak egois diantara pasangan suami istri? Kalau si suami memberi si guling kepada si istri, itu berarti sang suami sayang banget sama istrinya? Kalau si istri menyerahkan kepemilikan guling kepada suami, apakah itu berarti si istri sangat setia dan hormat kepada suaminya?

Hayaaaaaahhhhh…. Kok susah banget!!!

“Maaaamiiiiiiiii!”
“Apa SIH?!”
“Laen kali kita bikin seprai sendiri aja lah!”
“Kenapa memangnya?”
“Untuk mengajarkan Hikari arti equality, egalitarianism, fairness….”


“Niiihh, gulingnya buat kamu aja,” kata Papap sambil ngeloyor ke luar kamar.

A Mother's Privilege

A-h, this is so classic. A working-out-of-home mother feels guilty because she cannot be with her children 24-7. I know for sure there are so many blogs that have discussed this, scientifically or personally. I don’t know which category mine belongs to. I don’t care. I just want to tell you that no matter how classic it is, the problem never seems to cease.

I thought after having a ‘long vacation’ from work would free me from the guilty feeling, but I was wrong. So wrong.

One week after I started working (and it is only four days a week, four hours a day plus 3 hours on the road), Hikari also began his long-gone-long-cured tantrums. Then he wouldn’t let me out of his sight for a sec. He also started to ask me do thing for him like putting on his clothes, feeding him, etc. I don’t mind, really, except for his new-be-dependent habit. I mean I’d missed him too. As soon as I stepped in the house and saw his longing face, I forgot being exhausted and worn out. I think a mother doesn’t have the privilege to feel exhausted, sad, worn out, drained, sleepy, anyting except being happy and cheerful all the time. The second week I worked, he fell sick. His flu and cold that he got two days after arriving in Jakarta haven’t cured yet, now he is throwing up, having an abdominal pain, and minor diarrhea. As if his sickness hadn’t made me felt guiltier and more panicky, everyone around blames me for what is happening. Now, I say this is really a mother’s privilege!

While working (now, out of home) is still something that I MUST do for survival, I haven’t been able to put aside the guilty feeling. At the same time, I know I am not alone because there are million of mothers all over the planet feel the same way, still it doesn’t cheer me up.

I’m just wondering if fathers are also blessed with this kind of feeling…

Sembalap

2 tahun kurang hidup di Jepun membuat insting sembalap saya menguap. Di negeri itu jangankan punya mobil atawa nyetir mobil, bisa numpak mobil beroda empat –termasuk taksi- adalah suatu kemewahan. Alasannya bukan hanya karena gak boleh melakukan kegiatan nyetir menyetir kendaraan bermotor oleh agen pemberi beasiswa si Papap, tapi juga karena…… MAHASISWA PANJERAN, gitu loh. Mana myungkiiiinnn punya duit lebih buat bermewah-mewah. Lagipula, misalkan –misalkan- disana saya bisa menyetir pun, saya pasti akan menyetir dengan baik dan benar (baca: tak bisa nyalip, tak bisa ngebut). Hilang juga lah insting sembalap saya itu. Dulu itu, jarak Halim-Pramuka bisa saya tempuh kurang dari 15 menit, kalau perlu (sayangnya, setiap hari, ya, perlu melulu).

Ketika balik ke kampung halaman tercinta yang selalu saya grundelin melulu, mau gak mau saya harus balik menyetir. Alasannya hanya satu: angkot yang beredar di perumahan sini tidak user-friendly.

Sayangnyaaaaaa…. (hmm… sekarang soundtrack suara sapa yang bisa saya pake ya? Bang Rhoma?), jalanan di dunia bagian sini ternyata juga sudah menjadi tidak user-friendly. Pertama, jalanan sekarang sudah dipenuhi oleh laler-laler kamikaze yang nyali bunuh dirinya (atau bunuh orang laennya) lebih serem dari pasukan Jepun jaman dulu itu. Motor-motor berani mati ini gila-gilaan maen serempetannya. Paling ngeri kalau lampu lalin sudah berubah jadi ijo karena deru suara ribuan laler ini yang saling berlomba dulu-duluan. Wong, lampu belum ijo aja mereka sudah maju duluan. Lalu kenapa saya gak ikut balapan dengan mereka? Nggilani. Walau saya sudah kawin, saya juga masih betah hidup. Lagipula jumlah mereka itu tak terhingga. Beraninya main keroyokan lagi. Alhasil mimpi lama saya muncul lagi. Dulu itu saya sempat bermimpi untuk membuat body mobil saya dialiri aliran listrik, sehingga kalau ada motor yang coba-coba mepet sejarak setengah meter motor itu akan terpentul-pentul. Jahat ya? Abis keki berat sih! Papap jelas tidak setuju dengan ide saya ini. Dia kan naek motor juga…

Alasan kedua yang membuat insting sembalap saya keder setelah laler kamikaze adalah jalanan akses dari rumah (emak) saya ke kantor yang hanya selebar tali jemuran. Hanya bisa dua setengah mobil, dua arah pulak! Kalo soal hanya bisa dua mobil, tidak begitu menjadi masalah. Tapi kalo jalanan selebar (para pesimis menyebutnya dengan: sesempit) itu juga dipake oleh pejalan kaki, motor slow-kagak-ngebut-kagak, tukang somay dan gerobaknya, tukang mangga dan motor olengnya, truk-truk nyasar salah jalan, anak kecil maen sepeda, dan anak balita maen gundu, sapa yang sanggup balapan???

Mau saya tuh, biar saja jalanan mobil hanya untuk dua setengah mobil, tapiiii di samping jalanan mobil ada jalanan khusus motor, lalu ada jalanan khusus pejalan kaki dan sepeda, lalu ada tanah kosong sedikit buat anak-anak maen gundu (maen layangan juga boleh lah). Dengan begitu kan saya tak perlu mengandalkan insting sembalap saya untuk bisa sampai kantor tepat waktu tanpa harus berangkat sedetik setelah shubuh….

Kenapa, Pap? Ngimpi?
Loh, kata orang bijak kan, I dream therefore many things exist toh???

Blogging never dies...

Koneksi internet yang lebih menyiksa daripada puasa di hari panas terus di depan kita ada orang minum segelas gede es kelapa muda ini sudah sukses mematikan hampir semua jiwa ngeblog saya. Buktinya? Saya kehilangan kata-kata untuk melaporkan:
1. Papap ulang tahun tanggal 2 kemarin.
2. Kita ulang tahun pernikahan kelima tanggal 14 ini.
3. Hikari ngambek keluar rumah untuk urusan apapun dengan alasan OKAASAN, ATSUI DA YO (Mak, panas neh!) sambil menjerit 10 oktaf.
4. Saya dipaksa masuk kantor lebih cepat tiga bulan dari rencana. Kata dipaksa harap digaris bawahi, ditebalkan, dimiringkan, dikasih koma atas, lalu diketok mati.
5. Pembantu pulang kampung lebih awal dan meninggalkan pesan, “kalau kita mau balik kesini, nanti kita telpon deh.”
6. Sudah 20 hari saya gak kepingin motret-motret apapun. Kehilangan jiwa narsis merupakan tanda-tanda speechless yang akut.
7. Papap memonopoli laptop satu-satunya walaupun pernah bersumpe-sumpe kalo dia kagak mau nyentuh laptop ini.
8. Kemanapun kaki melangkah, saya diberondong dengan pertanyaan basi, “kapan punya anak lagi?”
9. Silaturahmi ke seluruh penjuru dunia yang menghabiskan tenaga dan ide karena tiap kali ditanya: Satu, disana ada salju ya? Dua, disana makan apa? Tiga, disana gak ada rumah makan padang?
10. Ternyata(!) papan pengumuman di depan calon sekolah anak saya bertuliskan ‘Kawasan Berbusana Muslim’.

Mau diceritain yang mana?

Alien at Home

Versi: NORAK

Satu-satunya orang di dunia ini yang mengatakan kalau saya ini orangnya kalem dan pendiam adalah (hanya!) penguji psikotes saya di suatu hari 3 tahun lalu. Kalau menurut teman-teman saya yang lain, asumsi si penguji itu –tentu saja- salah besar. Teman-teman saya bahkan sampai meminta nama lengkap si penguji untuk memastikan mereka tidak akan pernah mau diuji oleh beliau, berdasarkan diagnosis beliau atas saya. Walau rada-rada dongkol karena teman-teman saya tak mau percaya diagnosis seorang ahli atas kepribadian saya, saya diam-diam setuju juga sih sama mereka itu. Wong saya aja kontan cekikikan tak terkontrol begitu si penguji mengutarakan diagnosisnya…
Tapi kenyataan berbicara lain.

Sejak saya mendarat kembali ke tanah air tercinta tumpah darahku, saya mendadak sontak jadi pendiam. Bukan, bukan karena saya berubah kepribadian. Saya jadi pendiam karena saya t-a-k-u-t kalau saya memangapkan mulut ini maka seluruh imej C-O-O-L saya langsung hancur lebur… Gimana enggak, setiap kali mulut ini hendak mangap yang akan keluar adalah rentetan pertanyaan ini itu begini begitu.
“Loh, kok, disini udah ada mall?”
“He? Disini ada plaza juga?”
“Hoh? Ada Square apa tuh disitu?”
Dan menyemburlah cemooh dari mulut adik saya. “Nanya mulu lo. Kayak tamu.”

Kenorakan saya belum berhenti disitu. Begitu saya selesai sungkeman di kantor dan kemudian pulang bersama dengan teman-teman kantor yang lain, rentetan pertanyaan saya pun mulai lagi.
“Jadi, kalau dari rumah emak saya ke kantor itu saya mendingan naik apa?”
“Trus, nyambung bis apa?”
“Bayarnya berapa?”
“Pool bisnya dimana?”
“Apa tadi nama angkotnya?”
“Naiknya dari mana tadi?”
“Eh, bayarnya berapa tadi?”
Weleh… kalau bagian yang ini, saya bukan hanya norak tapi juga lemot.

Setelah beberapa kali sempat mangap tanpa sengaja, saya pun berusaha mengerem kenorakan saya. Takut juga kalau saya disambit karena mulut mangap saya berkata,
“Jakarta panas banget yak?!”
“Gile, tempat ini masih macet aja.”
“Duh, servisnya lama amat sih.”
“Naro tas disini aman gak ya?”
“Internet ini BISA LEBIH CEPET GAAAAKKKK?!”

Dan adek saya pun berkomentar, “kirain orang kampung aja yang bisa norak kalo dateng ke Jakarta...”
Yang dibales oleh saya, “kapan elu pergi keluar kota lagi? Gak sekarang aja?”

Back Home

Hi, there, it’s me again. I’m back in Jakcity (as Jeng Ratu called it) with internet connection that is more irritating than the traffic jam in the city (at least the traffic is not 24 hours). Where shall I start my first posting hometown?

First, thank you guys for your patience waiting for me to blog again. I know, I know, it’s rather unpleasant to come to this blog everytime (as if *wink wink*) only to find out that I haven’t updated anything yet. Been there too. Trust me, I tried to blog once I arrived but ended up yelling at the computer. When it comes to internet-things, gosh, this country hasn’t changed much… Anyway, I arrived in Jakarta in the evening of the 26. On the same day, that early morning, we left the hotel in Shinjuku and 5 minutes after Hikari set foot in the plane, he started his never ending question, “have we arrived in Indonesia yet?” for 8 straight hours! My mom picked us up in the airport and the first thing she did was taking Hikari in her arms (mind you, Hikari is 1 meter tall) and left us behind. I guess she must have missed my son that much…Oh, just FYI, there was no red carpet. Just a bunch of uniform men asking what we had been doing in Japan.

The next couple of days are boring and tiring days. Almost collapsed from the heat (Jakarta is in the middle of SUMMER, my mom said), we had to deal with the annoying fact that our Driving licenses, our ID cards, our ATM cards, all of them are expired. And now, the story of how to renew these things: guess which card is the easier to renew? ATM? I thought so but I was wrong. It was the driving license! It only took me 5 minutes to get a new one! Yippieee!!! How about the ATM? Bah! I almost jumped onto the CS’s desk and broke her neck for giving me that horrible service…

For a couple of days too Papap and I had been sleeping alone in our room. No Hikari. Here’s the story: my mom already prepared one room upstairs for us. And then… she prepared another room downstairs, next to my parents’ bedroom, for Hikari. After that, they have been keeping Hikari for themselves. I guess they must have really really missed my son that much…
Now, what I am doing is basically trying to locate where I am. It’s like this: my parents moved to this recent house while I was in Japan. This new house is in the middle of nowhere it doesn’t even have a postal code. And now, Papap and I are struggling to remember the so many small roads that can take us to civilization. The only problem is not one road can get us there faster.

Ooaaaaaaahh... I miss my high-speed-free-of-charge internet connection TOO!!!

Goodbye Japan

Autumn wind is blowing.
It's cold,
though the sun is shining.
As if saying,
today is the time
when tears and laugh collide,
unsure of which should be present
in one's heart.
Tokyo Tower, Japan, September 2006

At-the-moment Feelings: Con Te Partiro


Con te partiro
paesi che non ho mai
veduto e vissuto con te
adesso si li vivro
Con te partiro
che io lo so
no no non esistono piu
con te io li rivivro
Con te partiro
su navi per mari
che io lo so
no no non esistono piu
con te io li rivivro
Con te partirolo con te


Washington Hotel, Shinjuku, Tokyo


song by: Andrea Bocelli
photo by: me-who-else-?

Bloggers in Shinjuku

THE Day finally arrived when Indonesian bloggers met in Shinjuku...

:D:D:D :D:D:D:D:D

Kalimat pembukanya rasanya terlalu bombastis, cing, ;)) walaupun secara fakta benar adanya, sih. Siang tadi, jam sebelas lewat (lewat banyak lah), akhirnya terkumpul 5 orang blogger. Saya (tunjuk tangan), Papap, Hikari (;) ), Sir Mbilung Lord Ndobos, dan Mbak Emil. Naaahh, yang terakhir ini benar-benar kejutan yang manis karena kami tidak tahu sebelumnya kalau Mbak Emil sedang ada di Tokyo dan mau bergabung kopi darat. Sayangnya Mia-the-Ridho sedang sakit dan urung dateng ke Shinjuku. Cepet baek, ya, Mi. Jeng Ratu Negeri-Neri yang kemarin pindah rumah itu ditangisi karena ternyata tak datang juga [-). Padahal New York - Jepang itu kan jaraknya hanya selemparan kolor...

Setelah ngumpul di hotel Washington Shinjuku, kita berjalan kaki ke resto Indonesia yang se-area dengan 'landmark' LOVE Shinjuku (liat foto di postingan word of wisdom saya sebelumnya).

Di depan resto Indonesia ituh. Bisa nebak which one is who?
Photobucket - Video and Image Hosting

Sayangnya saya gak tahu kalau si Lord Ndobos itu tidak tahu tentang keberadaan si LOVE. Kalau tau kan sudah saya paksa bergaya di depan landmark itu dan saya potret untuk kemudian saya sebarkan ke seluruh penjuru dunia maya...
Sehabis makan siang itu, kopdaran kita pindah ke taman kota Shinjuku yang ada tempat bermain untuk anaknya. Maklum, salah satu blogger ini masih doyan main pasir dan perosotan. Soriiiii banget ya Lord Ndobos n Mbak Emil. Kopdaran kita hari ini bertema Anak-anak.... :.

Puas ngobrol ngalur ngidul sambil ngeliatin Hikari main pasir dan perosotan, kita pulang kembali ke jalannya masing-masing. Sampai di kamar hotel, kami bertiga (maksudnya, saya plus Papap plus Hikari) harus kerokan karena matahari siang ini ternyata palsu. Anginnya dingin banget je. Saltum abis, gue hari ini! b-(

Dua blogger dewasa sedang mengamati seorang blogger dibawah umur:
Photobucket - Video and Image Hosting

Ehhhh... pas di kamar, saya baru inget... Pak Dhe! Pilemnya kumaha atuh???

A Word of cheap Wisdom




location: Shinjuku
photo by: Papap
model: me-who-else?
word of wisdom: me-who-else?

Shinjuku! Shinjuku!

Para blogger yang tercintah. Untuk mempererat tali silaturahmi sekaligus saling mencocokkan muka dengan imajinasi, hadirilah, banjirilah, ramaikanlah, gila-gilailah, kopdar Shinjuku yang bertempat, ya, di Shinjuku, Tokyo, negara Jepang, hari Sabtu tanggal 23 September 2006, jam... setelah jam sebelas siang lah.
Berhubung saya juga bukan orang Tokyo asli, maka tempat per-ngobrol-an akan ditentukan kemudian setelah kita berurun rembuk memaksa Sir Mbilung Lord Ndobos untuk meng-guide kita ke tempat yang lebih asyik. Urun rembuk akan diadakan di lantai 1 Hotel Washington Shinjuku jam... setelah jam sebelas siang deh. Kalau belum tahu Hotel Washington Shinjuku itu dimana, saya beri foto jalanan di depan hotel deh. Kalau belum jelas juga, silahkan minta petunjuk Sir Mbilung sebagai dewan penasihat...

Ayoooo........ banjirilah, banjirilah, banjirilaahhh....!!!

Me Look Like

I don't have a clue why it happens to me. Aside from having dark skin, I cannot possibly be mistakenly accused as Indian.
For one thing, my nose is pug and my eyes aren't almond shaped, nor cashew-nut shaped. They never resemble the shapes of any peanuts at all. Then, my eyebrows aren't thick and my cheek bones are barely shown. Also, I never (trust me!) move or swing my head when I talk. I don't sing (God forbid!) and it's been a hundred years since the last time I danced. Next, my hair is always cut short and I absolutely never-ever wear the you-can-see-my-belly-kinda clothes. Except when I wear Bikini, which is even not in this life. The thought of it is enough to give me butterflies. So, in short, I cannot -in any way- look like an Indian.

But it seems that the native Indians don't think so. Besides the white people, Indians can also be seen often in Tokyo. It is like everyday I bump into them. Shinjuku, Akihabara, Shibuya, Roppongi, etc etc etc. Whenever we bump into each other, the women will stare at me from my head to toe. They probably think I'm so ultra modern that I wear jeans and T-shirt instead of their traditional Sari. The men, on the other hand, always give me warm smiles, which -forgive me- without realizing it I always reply the smiles with blank faces read 'do I know you?'.

For some time, I regarded their attention (and a bit of curiosity) simply as foreigner-to-foreigner greetings. You know, when you are a legal alien in a country, you always tend to observe whether there are other aliens around -legal or illegal. BUT, one day, I suddenly had an enlightenment. I was in Akihabara, the wellknown electronic city, pretending to be interested in Papap's speech about the differences between one electronic device and the others (DO NOT ask me to name them for I could hardly understand what electronic devices stand for). Suddenly, a few Indian men approached me and spoke to me in -logically- their language. When I -again- gave them my blankly stupid look, they said, "Indian? No?"
So I knew. All this time these people think I am one of them because of my skin. I guess it is time to reconsider the try-to-be-exotic program.

If I had known I looked quite like an Indian, I would have joined Miss World and became a movie-star-plus-dancer-plus-singer. Instead, I think, I'm more fit as a Sinbad genie in the picture above.

.... and Papap thinks this whole thing is quite amusing.

Tokyo Blues (after Part 1)

Out of the room, into the rain
Today we were again ushered out of our room, but this afternoon we already had a plan. We'd like to visit some wellknown districts in Tokyo: Roppongi, Shibuya, Harajuku, you name it. If you want to know why they are considered famous, click here. Outside, the rain was falling. Not too heavy but enough to make us wet. It wasn't comfortable to travel around but we set our heart to it while wishing the rain would stop. Of course it didn't stop. Just like what the weatherman predicted the night before. Don't you hate these weather guys for being so obnoxiously correct all the time? I do.

Roppongi
Although I often feel enough-is-enough with these trains (having to ride them one too many), I know I'd surely miss them when I'm back home. Comfortably convenient, when it is not rush hour. Not for long we arrived in Roppongi, the city of pleasures where you can find Tokyo Hard Rock Cafe -not that it is so important. When I got there, I had the same impression as the first time I visited Ginza two years ago: what's the difference? This place is just the same as the others. What makes it so popular? I guess my imagination is too weird. I kinda imagined that these places are colored differently. Yellow for Shinjuku, Green for Roppongi, Red for Akihabara... It would be like a Disneyland.

Keanu Reeves
Finished with Roppongi and Harajuku (please keep in mind that I didn't meet Agnes Monica in Harajuku), we headed to Shibuya while cancelling our trip to Tokyo Tower. It was still raining and there was no point of going to Tokyo Tower. Honestly, I see no point of going there at all, but Papap insisted that the tower is taller than Monas. Okay. Got that.
In Shibuya station I bumped into a big billboard. Literally-honestly, I really BUMPED into it! I was walking tailing Papap who were trying to locate where we were when suddenly he turned right and left me walked into a wall. I stopped just in time to avoid the collision between my big forehead and the wall. But may be it was meant that way so that I could see before my eyes the wall presented... "Ladies and Gentlemen, the most handsome, the most wanted, the most talented... Keaanuuuu Reeeeeves...."

So, I just........ kissed him.

Tokyo Blues (Part 1?)

I am counting the days; 5 days already. Tokyo, one of the most advanced cities in the world and now I am living in it. People say each city has its different atmosphere, its own unique characters. I have 20 days to inhale them.

Living in a hotel for 20 days for me is quite an achievement. Extraordinary one. I mean, come on, 20 days in this tiny winy room that doesn’t resemble a house in any way! I’m sure even if I stayed in a suite, the feeling would still be the same. Now, I understand how those superstars feel whenever they say ‘living from one hotel room to another’. I have prepared myself then, in case I turn out into some kind of superstar in the future...

This kind of living has successfully planted 3 words in my mind: loneliness, boredom, and traveling. The only good thing I have from this kind of living is I do NOT have to COOK! Everyday I’m free from the obligation to cook. Everyday we eat different kinds of food. Outside, of course. No cooking, no washing dishes, no cleaning room. For a human being that enjoys no-cooking-days and eating-out-days, this is heaven. Please note that I haven’t missed my kitchen yet... But, there are times when I don’t want to go out. I just want to lie down in my bed. And I especially want to go out of the room after lunch hour so then I can wake up a little later. Unfortunately, I don’t have that luxury. These cleaning ladies are so persistent and insistent that they knock on our door when it is time for them to clean the room despite the Do-Not-Disturb sign hanging on our door. So, there we are, every afternoon, ushered outside from our own room…

Now that I am outside the hotel, all I can do is going around the city, and perhaps going shopping a little?! Sound nice, eh? You bet! For a couple of days, but it gets really tiring and costly afterward. I miss my bike, already. In Honjo, we went around the (small) city by bike. No need for bus, taxi, or train. Here in Tokyo, we need the train and our feet. No ojek. Getting on and off the train are tiring, especially when we have to change the platform. And walkiiiinnnggg… somebody, please please please invent an ojek business here… I’m wondering when I can start using high heels again (not that I enjoy it). And, I still am amazed (and still feel disbelief) by the trends of carrying tote bag and wearing high heels. I guess I am so fashion dinosaur -whatever that means. One day when we were exhausted from walking around Asakusa where a great temple is located, I could not help feeling… sore all over my bones from seeing women in their high heels. Forgive me.

Have I told you how busy and crowded Tokyo is? (or at least, that’s how I feel about this city and about Shinjuku, especially) Everywhere I turn my head around, I see people. I cannot even do my triangle-shaped-arms pose (you know, when you put both arms on your waist) without people stumbling into them. And, if I stop my walk for a second, someone behind me will bump into me, and another one behind him will bump into him, and the next person will bump into that third one, and the bumping goes on. I must ask tetangga sebelah for a trick to avoid this bumping incident or else I’m gonna be arrested for public disturbance.

Today, something outrageous happened. We were in Tokyo train station trying to reach the stairs to our platform. The distance between us and the stairs was only 1 meter or less, but we couldn't move forward! Between us and the stairs hundred and hundred of people were walking from all sides covering the landing of the stairs. It was just impossible to cut the stream! Wanna know what I did? I just laughed. Stupid, eh, but what else could I do? Papap, on the other hand, began to whistle low. He imitated a sound that sounded something between an ambulance sirene and a local bug (called Semi-chan, which produces we-we-we sound). He pushed the baby car (with Hikari inside) forward toward the stream of people while whistling low. Miraculously, people began to notice and stopped walking (while the other people behind them again bumping into each other). The way to the stairs was clear and we could get there safely. If I had known this trick earlier...

Tokyo, like any big cities in the world, is full of foreigners. Look who’s talking. Speaking (or trying to exercise) Japanese needs extra effort because almost everyone speaks English, or an English-sound-like language. The only Japanese language I hear is from the salesmen/women who promote their products out loud (another characteristic in Japan). Unlike many other foreigners, you –Indonesians- don’t need to be amazed by this; you can hear the screaming of salesmen/women in any markets. The only difference is the language. One thing that is the same between Tokyo and Honjo is the way people in both areas eat in a restaurant. For us, or for me especially, eating in the restaurant is a way to relax. By eating in a restaurant I want to convey a message that I can spend as much time as I want. In Japan, it is a different philosophy. You eat quickly and get outta there quickly too. No chatting, no slow eating, no non-sense. If I take longer time in that restaurant, I am being selfish because many people would need my seat but can't. This depresses me, especially when my only reason to be in a restaurant is to take a break from a loooonnnggg walk...
Come to think of it... I just realize that I still have an upcoming Shinjuku kopdar. Which restaurant is willing to take us in for more than an hour? Sir?
What? We don't care?
Right!

picture: that person in the picture is supposed to be pointing at a sign with the station's name on it.

Waktu tak pernah menunggu

Teman-teman, tunggu saya di Jakarta. Tanggal 26 nanti, pagi-pagi sekali, saya akan menaiki pesawat itu, menghabiskan waktu 8 jam di udara, dan mendarat ketika beduk buka puasa berbunyi. Insya Allah. Tapi sekarang ini saya sedang menghitung hari menunggu kepulangan kami ke tanah air. Duapuluh hari lamanya kamar hotel di Shinjuku, Tokyo, akan menjadi rumah sementara kami. Wah kok sempit ya? Untung ada internet gratis...

Ada teman yang jahil mengganggu, "elu beneran mau pulang? Ngapain pulang? Bukannya lebih enak disana?"
Jawaban saya selalu sama.

PULANG.
Siapa ya tidak ingin pulang? Kemana pun itu, kata pulang selalu identik dengan kata rumah dan segala perasaan sentimentil di dalamnya. Home, catat. Bukan sekedar House. A house is made of bricks, but home is made of heart and soul.
Dan, ya, saya ingin pulang.
Tidak ada keraguan sedikitpun tentang itu. Kami ingin pulang dan tidak ada kesedihan (mudah-mudahan) dengan keputusan itu.

Lalu mengapa saya (dan kami) mengharu biru? Wah, saya memang batu, saya memang ndablek, saya memang cold-hearted, tapi saya juga manusiaaaa... yang punya perasaan. Tak mungkin saya tak sedih meninggalkan kota yang sudah menjadi my second home itu? Mana mungkin saya tak sedih meninggalkan teman-teman yang sudah menjadi keluarga itu? Tak mungkin saya tak sedih mengingat betapa anak semata wayang saya si Hikari bisa sembuh total tinggal di Honjo itu? Mana mungkiiinnn... *background soundtrack harus lagunya Nia Daniati*
Bukan 'pulang' yang menimbulkan kesedihan (dan entah kenapa, kadang ada kepedihan juga), tapi 'leaving' yang menyebabkan.

Karena itu, kalau saya sudah kembali ke tanah air nanti.... kopdar yuk!!!

ps: maaf, untuk teman-teman semua. Saya belum sempat blogwalking dan membalas email. Buat sepotongroti, oleh-olehnya bisa diambil di Shinjuku tanggal 23 nanti...

Tokyo yang bising

"Tokyo? Bising."
Dan teman baik saya pun menjerit, "ealaaaahhh... bising? Kurang bising apa Jakarta-mu, bo?!"

Praktis baru 3 hari dan 2 tiga perempat malam saya secara resmi tinggal di Tokyo. Kebisingan, keramaian, kesibukan ini hampir tak tertahankan. Ya, selama 2 tahun tinggal di Honjo membuat saya lupa seperti apa rasanya tinggal di kota.

Ah. Mungkin begini lebih baik.

picture: menghabiskan waktu di Akihabara.

One-Last-Minute


People who often hang out with me usually think of me (and sometimes refer to me) as cold-hearted. I don't blame them because I realize that I seldom show any warm feelings toward people or things or animals or (even) babies. It's not that I hide them. I just... don't feel like exaggerating them. You'll see, when you meet me. Besides, I find things more amusing in laughing and being a cynic. I didn't even cry or be sad when I left my parents two years ago because -being a cynic- I knew that I would be hearing their voices again exactly 1 minute after my arrival in Japan. God knows how right I am...

But this time... this time is different. All the packing and shopping and partying and saying goodbyes made my returning-hometown seems unreal for me. But, when my time was up and I was left with the one-last minute of my time, I couldn't help... crying.

First, it started with my Japanese class. The last session I joined was merrier. We laughed a lot and I didn't feel like I was about to leave. Then the 75-year-old Hasegawa Sensei -out of the blue, out of his habit- made us listen to one Japanese folktale about a girl who doesn't talk much. May be my Sensei was trying to send me a message? Anyway, when the session ended, my Sensei said his short farewell speech. So short that I didn't get a chance to feel anything. But, when everyone was away, the one-last minute, he shook my hand and told me his last words: Goodbye. You are one of my best students (Okay, at this kind of situation you are not allowed to reveal the whole truth!). I will miss you... pause...I don't think we will meet each other again... pause... but I will always remember you for the rest of my life.
He blinked. I cried.

And then came another farewell. This time we had a lunch invitation from my other Sensei: Shoda Sensei. He was my Japanese teacher for a couple of times but he was more like my mentor. He and his wife are also like the substitutes of our parents and Hikari's grandparents. When Hikari was sick, the Shoda couples were the ones who took us to the hospital and they were there to wait for Hikari to recover. Before going to their house, I knew this would be tough. I just didn't know how tough. We had a really nice lunch and we exchanged cheerful farewell messages. Then, we were left with the one-last minute... Gosh, I wish...

It was the same with our other friends. When we still had time, we laughed a lot and exchanged jokes. But, time never stands still. And then we were left with the one-last minute. And I feel like my heart was exploding for trying to grasp everything just so I won't... forget.

Guys... thank you. Honjo... thank you.
I won't forget.

Washington Hotel, Shinjuku, Tokyo. September 9, 2:48 AM, while looking out of the window from the 16th floor.

Goodbye Honjo...

Bahasa Menunjukkan Bangsa. Kata Mereka.

Bahasa menunjukkan bangsa. -kata siapa sih?-



Dulu, ketika saya membaca slogan begini, saya tak begitu perduli. Malah saya mengangguk akur. Eh, belakangan, setelah setua ini, saya baru sadar kalau saya salah mengerti arti slogan itu. Dasar lieur. Dulu itu arti dari slogan tadi saya artikan seperti ini: Berbahasa lah yang baik dan benar, yang sesuai tempat, yang sesuai manfaat. Dengan berbahasa yang benar, anda akan terlihat (atau tertunjuk) sebagai bangsa manusia (yang berbudaya, bermartabat, berpendidikan).

Ternyata saya salah ya?!
Saya baru sadar kalau saya salah ketika mampir ke dua blog ini beberapa waktu lalu: Pak JS dan Mbak AS. Ketika mampir di blognya Mbak AS itu, saya terhenyak dengan komentar yang bunyinya begini...

yang komentar pake bahasa inggris itu nggak bisa bahasa indonesia ya? atau biar keliatan pinternya..? mimpi pengen jadi bule kali ya? hahahahahaa........bule coklat!!! -Feb. 8, 2006-

Apakah itu berarti kalau kita menggunakan bahasa Indonesia lalu tidak bisa terlihat pintar? Kok saya tidak bisa memahami ini ya?

Tapi kemudian, walau komentar itu selalu terngiang-ngiang di kepala saya, saya tak begitu ambil pusing. Sampai... saya berkunjung ke tempat Pak JS.

Jeduueeerrr! Kepala saya tiba-tiba terasa dihantam sesuatu membaca komentar ini...

Gunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa blog Bapak. untuk apa jadi mentri yang mewakili indonesia tapi pake bahasa Inggris ?!. Dimana Semboyan "Berbahasa satu, Bahasa Indonesia" ?? -June 19, 2006

... tiba-tiba saya mengerti arti sebenarnya dari Bahasa Menunjukkan Bangsa. Benarkah asumsi yang saya tarik kalau slogan itu diartikan menjadi "Kalau saya tidak memakai bahasa Indonesia, maka saya bukan orang Indonesia?" Walau saya merasa kalau asumsi saya itu benar, saya masih bergeming. Ah, pikir saya, mungkin karena kedua pemilik blog itu para public figure, maka mereka mendapat komentar seperti itu.

Tapi... ketika saya membuka blog ini tadi pagi, walau saya bukan public figure, saya mendapatkan komentar yang berbunyi kira-kira 'Kalau orang Indonesia, pakai dong bahasa Indonesia'...

Dan saya pun tak tahan untuk diam saja. Maka saya pun berpikir sekarang lah waktunya untuk memproklamasikan ketidak setujuan saya atas subyek diatas: Bahasa menunjukkan Bangsa dan kalau saya tak berbahasa Indonesia maka saya bukan orang Indonesia???

1) Saya SUNGGUH SANGAT TAK SEIDE dengan pendapat demikian. Siapa kah anda yang bisa menentukan saya orang Indonesia atau bukan?! Apakah para generasi tua yang tak bisa berbahasa Indonesia namun hidup dan mati di negara bernama Indonesia itu bukan orang Indonesia? Jangan salah! Mereka bukan hanya sekedar berbahasa daerah, mereka juga berbahasa Belanda dan Jepang!

2) Rasa cinta dan bangga saya sebagai orang Indonesia tidak, sama sekali TIDAK, bisa diukur dengan bahasa apa yang saya gunakan, baik di blog ini atau di media lain. Apa anda punya alat pengukurnya?

3) Kalau urusannya hanya karena anda tak bisa mengerti apa yang saya tulis disini, dengan segala hormat, tulisan saya tak perlu anda baca. Silahkan pindah ke blog lain. Saya mengusir anda? Bukan! Saya hanya memberlakukan kepada anda apa yang saya lakukan pada diri sendiri: Ketika saya terdampar pada blog-blog milik orang Indonesia yang berbahasa Jawa/Batak/Sunda/Prancis/Jepang/dsb, saya tak pernah menggugat mereka untuk mengubah bahasa mereka. Itu bukan blog saya! Saya hanya tamu! Kalau saya tak suka/tak mengerti, ya tidak usah balik lagi. Beres kan?

4) Pembaca blog saya ini bukan hanya orang Indonesia. Ketika saya menulis suatu peristiwa yang di dalamnya bercerita tentang kawan-kawan saya yang non-Indonesia, apakah tak sewajarnya saya menggunakan bahasa yang mereka juga mengerti? Maaf. Saya menulis dalam bahasa Inggris bukan karena saya ingin kelihatan pintar atau malah tak ingin terlihat Indonesia. Saya menggunakan bahasa asing karena saya butuh menggunakan bahasa itu. Sesederhana itu.

5) Blog bukan media yang mengharuskan atau membutuhkan saya menggunakan bahasa Indonesia atau sebaliknya mengharamkan saya menggunakan bahasa asing. Kalau misalnya saya menggunakan bahasa asing ketika berbicara dalam pidato kenegaraan, pidato 17-an, ngantri tiket di bioskop, belanja cabe di pasar inpres, tawar-menawar baju di pasar Tanah Abang... silahkan, caci maki lah saya! Sebaliknya, kalau saya memberi presentasi tentang Indonesia dihadapan publik asing lalu saya menggunakan bahasa Indonesia (tanpa penerjemah), akan terlihat seberapa dungu kah saya?

6) Saya penganut paham: Berbahasa yang baik (di tempat dan kondisi yang tepat) akan menunjukkan seberapa berpendidikannya seseorang. Apapun bahasa yang digunakan, gunakan dengan baik.

7) Sebelum meributkan soal bahasa apa yang digunakan seorang Indonesia, tulisan ini mungkin bisa dijadikan bahan pemikiran. Mungkin anda akan menemukan kalimat ini "In 1972, the governments of Indonesia and Malaysia collaborated on a project to reform and simplify spelling for both versions of the language; this consisted largely of eliminating Dutch spellings in favor of more phonetic Malaysian spellings. Malay and Indonesian have about an 80% overlap in vocabulary and are mutually intelligible; the variations in vocabulary, pronunciation, and usage have been compared to the difference between American English and British English. Where Indonesian retains many Dutch loan words, Malay typically replaces these with words based on English."

Little House of Laura Ingalls

Hasegawa-sensei, my 75 y.o. Japanese teacher, has this habit. Everyweek he would lend me a novel (English) and when I returned that novel, he would give me another. This habit of his has been going on for about one and a half year. The same amount of year I have been in his class. He lent me Sydney Sheldon's, Agatha Christie's, some others, and the last one is the Laura Ingalls' books. All the 7 of them plus 3 others! And guess what?! My Sensei bought the books in 1950 and he still kept the receipt! It costed him 687 Yen at that time!

I have never read the books, but I watched the movie. I guess everyone back home at that time watched it since there was nothing better to watch in TVRI. Honestly, I found watching the movie before reading the books helpful because there are some descriptions that I wouldn't understand unless I have watched it.

Now, about the books. There are 7 of them telling a story about Laura's family (parents and sisters) and 3 others about her own family (husband and daughter). The books also depict the values that most Americans held at that time. Since the books were written based on Laura's real life, we can see a real glimpse of the early American history, the early life of the American farmers. For me, reading the books made me think about the life of a farmer who depends on earth and weather so much...

And then, there are others. Check these:
1. I learn that at that time Children should be Seen NOT Heard. Hmm... to tell you the truth it gives me ideas...
2. Some Americans at that time believed that 'A good Indian is a Dead Indian'.
3. Even Laura's educated mother was terribly afraid of Indians.
4. In one of the book telling the journey Laura took to the Indian country, her neighbor complained about the government rule that forced the white people to go out of the Indian country. She said that it was better for the white to take that vast land since 'God knows the Indians don't do anything with it'.
5. On the countrary, they are really proud of their Declaration of Independence that says '...that all men are created equal...'.
6. At that time, the way to punish children is to whip them. I heard it is now considered a crime.
7. Married women couldn't work outside the house.
8. Children went to school if they were not needed in the farm.
There are many others to tell but it is better to read them by yourself. I myself was very surprised (and foolish) when I read the 7th. book. I finally understood which man Laura married while it was actually written on all the seven covers: she used her husband's name on her novel.

Now, read what Laura's father in law said to his son (Almanzo Wilder, Laura's husband) when Almanzo was 9 years old:

This country goes three thousand miles west, now. It goes 'way out beyond Kansas, and beyond the Great American Desert, over mountains bigger than these mountains, and down to the Pacific Ocean. It's the biggest country in the world, and it was farmers who took all that country and made it America, son. Don't you ever forget that. -Farmer Boy, p. 124-

A little of this and that

Forgotten
I watch the 2004 'Forgotten' movie. It was okay, except for two things: 1) Julianne Moore is still too fresh and pretty as a depressed mother whose child is killed in an airplane crash, 2) I cannot accept the ending (where all this disaster is caused by A-L-I-E-N-S).
I have a favorite scene, though. Check these lines between a police officer and some NSA guys (NSA stands for National Security Agency, in case you need a clue).
Police Officer: Do you know about the children?
NSA: What children?
PO: How about a plane crash? Do you know about it?
NSA: We don't know any plane crash.
PO: You don't know nothin', do you? .... NSA, you said?... Better buy a better lock!

How Safe is Honjo?
Ever wondered? I was about to write 'how safe is Japan?' but I guessed I had no statistics to prove. May be I shoule write 'how safe is most Japan areas?'. The answers are these...
1) You can leave your key hanging on the outside door, nobody gets in to your apartment (we -no, Papap- accidently left our apartment key three times).

2) You can leave all your things in the bike, nobody takes them:
Photobucket - Video and Image Hosting
3) You can abandon your bike for days, still nobody will take it:
Photobucket - Video and Image Hosting
4) You can leave your baby car everywhere, still nobody wants it:
Gunma Safari Park. Somebody left the baby car outside the gate.
Photobucket - Video and Image Hosting
5) You can sell animal food in a stall with no guard, and put a can for the money next to the food. Nobody cheats, nobody grabs the money (or the animal food): Gunma Safari Park
Photobucket - Video and Image Hosting
6) You can sell newspapers the same way as the above animal food. You can be sure you'll get the money or the newspapers back safely: Train station
Photobucket - Video and Image Hosting
How obedient are Japanese to rules?
Ha! I guess the answer is VERY, but I have one picture here that says the opposite:
Photobucket - Video and Image Hosting
An empty sidewalk near a supermarket and a pachinko. The parking lot for bikes (bicycle and motorbike alike) is improved with security system (meaning the customers have to pay). Instead of parking in the parking lot, these people parked their bikes outside it. Right in front of the No Parking sign. Hmmm... this reminds me of something, though...
Made in... Made by...
Some relatives ask for a 'local' souvenir. We granted their wish. I just don't know how they would take the real truth...
Photobucket - Video and Image Hosting
Photobucket - Video and Image Hosting
But, perhaps, it is better than the ones that write 'made by YOUR OWN COUNTRYMEN in YOUR OWN COUNTRY '...

Siapa Tahu Waktu?

Inong, baru tanggal 22 Agustus 2006 kemarin kita sahut-sahutan soal rantangan. Sekarang Inong sudah tiada......

.........................................................

Selamat jalan...

Pertanyaan Tak Tahu Judulnya

Mbakyu pemilik Jalanan yang penuh Kenangan itu meninggalkan jejak di Kotak Menjerit (baca: shoutbox). "Ada peer, sayang," katanya. Eh, gak pake sayang ya kemaren itu, Jeng Yan?
Berhubung saya gak tau judul aslinya si peer ini, saya tulis saja judulnya seperti di atas itu. Ada yang tau aslinya judul tag ini? Selain itu, saya juga harus copy paste dulu pertanyaannya. Soale pertanyaannya buanyak tenan le'. Akhirnya peer ini dikerjakan seperti biasa... telat:D

Begini ini yang ditanyakan, tapi jawabannya boleh berapa sih, Jeng? Seenak udel? Oke lah...

FAVOURITES
Colour: biru, biru, biru, dan coklat (segala shade). Hanya saja, berhubung kulit saya juga coklat, saya gak bisa pake segala shade coklat.
Food: Kopi. Teh botol S****o. Segala keju. Coklat. Rendang padang atau kare.
Song: Segala jenis asal enak dikuping. Terutama, Sting, Queen, dan the Beatles. Sisanya: Josh Groban, Andrea Bocelli. Dangdutnya Evie Tamala juga enak.
Movie: Segala film Tom Hanks dan Keanu Reeves. Teteup!
Sport: Tidur, Renang dan Tidur. Kalau gue ditemukan sedang berolah raga (jogging, cycling, hiking) itu pasti karena terpaksa.
Day of the Week: Jumat karena habis itu ada dua hari libur. Sugesti banget gak sih?;))
Ice Cream: coklat.

CURRENTS
Mood: panic.
Taste: hmm... bau bantal.
Clothes: kaos belel n celana pendek.
Desktop: foto hasil jepret sendiri. Liat di bawah:
Toenail Colour: … malah baru tau saya ini kalau saya punya toenail…
Time: lewat mitnait.
Annoyance: satu hari ternyata gak bisa lebih dari 24 jam.
Thoughts: besok tidur aja atau ikut ke Tokyo ya...???

Photobucket - Video and Image Hosting

FIRST
First Best Friend: Dindin, tante gue.
First Crush: Naksir senior waktu saya kelas 4 SD :. Cowok paling cakep satu SD. Namanya sama dengan nama anaknya Arjuna, jadi kalo cakep… ya, emang gennya kali… :
First Movie: Superman di Ratu Plaza kalo gak salah (gak salah tempatnya, maksupnya). Superman ke berapa juga lupa.
First Lie: bilang sama ortu kalo kelas gue (kelas 4 SD) juga harus ikut kemping, padahal yang kemping cuma anak kelas 6.
First Music: the Beatles, punya bokap.

LAST
Cigarette: Rokok kretek punya bokap. Abis itu bengek b-(.
Drink: kopi
Car Ride: Sepeda jengki. Eh, mobil ya? Timor ijo yang pada jamannya pernah dikejar-kejar mahasiswa demo. Kalian sebenernya mau nimpuk yang punya Timor atau mau ngikut nebeng yak?
Crush: Keanu Reeves sih. Teteup.
Phone Call: Emak gue, cuma buat nanya Hikari kapan pulang :-w.
CD played: I started a blog nobody read kiriman tetangga yang lagi plesiran.

HAVE YOU EVER..
Dated one of your best friends: Yes, and I married him.
Broken the law: nnnggg…
Been arrested: ditilang dan disuruh turun dari mobil trus dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan: mobil Carry (cowok) gue isinya banyak cewek cowok, dan kita disangka mau maen ke hotel….X(X(X( Hanya sekali ini dalam hidup gue, gue ngeluarin kartu sakti.
Skinny dipped: di kamar mandi?
Kissed someone you don’t know: hah? Emang eike cewek apaan?!

NEXT VICTIMS
Teman: ... nah lo...
Si Rymnzs aja deh!
Yang laen silahkan juga loh!

Blogger Templates by Blog Forum