Showing posts with label Kill me please?. Show all posts
Showing posts with label Kill me please?. Show all posts

Broken-hearted

Have you ever felt broken hearted?

Today I've learnt
it doesn't need love
to break my heart.

A whisper at the end of the phone.
A message on the phone.
A picture on facebook.
They are enough to break my heart.

Don't pity me, please.
Because this pain I've been feeling
is nothing
compared to the pain
they are feeling.

To them, I whisper strength.
To them, I whisper hope.
To myself, I wish I could keep this broken heart for myself.
And by the end of the day, I'd rather choose I didn't have to tell them
about strength and hope.

Ciiiiaaaaaaaaat!!!

Beberapa minggu belakangan menjadi momen-momen dimana saya harus belajar sabar. Sukses atau enggak, itu lain soal. Yang penting proses pembelajarannya. Setelah hati, jantung dan kepala diajak olah raga selama beberapa minggu, semingguan ini saya meniatkan diri untuk mengolah ragakan fisik. Biar semua bagian tubuh kebagian sama rata adil loh jinawi.

Setelah 10 tahun lebih vakum aerobik (satu olah raga lain yang mau saya jalani selain renang) dan 2 tahun vakum olah raga apapun (bersepeda ke pasar di Honjo dan jalan kaki mengelilingi Tokyo, Kyoto, Nara, Himeji, Kobe, Chiba, dan Hakone masuk kategori olah raga menurut saya), sore tadi saya mulai aerobik lagi.

Awalnya biasa saja. Maksup saya, saya masih sanggup lah goyang sana goyang sini, megol sana megol sini. Gini-gini, saya kan lulusan perguruan tari Jawa dan tari poco-poco. Pernah manggung nari dimana-dimana. Pernah juara nari poco-poco se-DKI (harapan 1 aja belagu). Kalo cuma goyang-goyang aja sih... keciiiillll.
Lalu, mas pelatih mulai menambah gerakan. Gerakannya jadi mirip-mirip samba campur cha-cha campur goyang dombret. Saya? Masih bisa goyaaaannnngg.... megol sana megol sini.
Mas pelatih mulai panas. Dia menambah dengan gerakan mirip Thai Boxing. Tendang, tinju, tendang, tinju, goyaaaannnggg...
Saya? Makin napsu.
TENDANG! TINJU! TENDANG LAGI! TINJUUUUUU!!! TENDAAAAANGGG!!!
Saya keluarkan seluruh tenaga. Setelah itu perasaan saya jadi enteng.

Sejam setelah megal-megol dan tentu saja tendang-tinju, latihan selesai. Si mas pelatih bercakap-cakap dengan peserta, termasuk saya.
"Mbak, gayanya yang paling bagus pas yang Thai Boxing deh. Kayaknya bener-bener dari hati yang paling dalam.

No Longer Secret

Sudah jamak memang kalau seorang penulis menggunakan nama alias pada setiap tulisannya. Alasannya macam-macam. Dari yang ingin bebas dari gangguan permintaan tanda tangan (atau kritik di depan mukanya) sampai yang punya double personalities.

Sewaktu saya pertama kali menghasilkan tulisan yang diterbitkan (waktu itu di majalah), saya ditanya oleh Chief Editor saya waktu itu. "Mau pake inisial apa?" Lalu, muncullah nama baru saya (yang sebenarnya cuma nambah-nambahin koleksi nama saya karena seringnya orang mengubah-ubah panggilan buat saya). Ada dua nama yang akhirnya terpakai: satu inisial DM yang saya gunakan setiap kali mengedit tulisan orang, dan satu lagi nama Mariskova yang saya pakai setiap kali saya menulis artikel sendiri. Dari pertama kali saya memakai nama Mariskova, tidak ada orang/pembaca yang percaya kalau itu nama memang asli nama saya sendiri.

Kenapa sih saya harus memakai nama yang bukan nama panggilan a.k.a nama ngetop saya?Jawabannya karena (waktu itu) saya tidak mau murid-murid saya tahu saya lah penulis artikel itu. Alasannya adalah karena kadang-kadang saya meminta mereka menjadi responden majalah saya. Lah, kalau mereka tahu saya yang menulis, jawaban mereka malah jadi aneh, sok jaim. Sejak itulah, Mariskova menjadi my signature name

Setelah itu, saya mulai coba-coba ikut menulis keroyokan untuk sebuah buku dan saya kembali menggunakan nama M itu. Ini bukan karena saya masih ingin ngumpet dari murid saya atau dari orang-orang yang kenal saya, tapi benar-benar karena nama itu sudah jadi trademark aja. Lagipula, bagaimana mungkin saya bisa berniat bersembunyi di balik nama itu karena toh saya punya blog ini yang semua orang bisa tahu?

Setelah 3 buku keroyokan dan 2 novel pribadi terbit, konsistensi saya menggunakan nama Mariskova makin teguh kukuh berlapis baja walau orang-orang masih berpikir itu hanya nama alias saja. Banyak juga orang yang berpikir saya sengaja bersembunyi di balik nama itu supaya orang tidak tahu siapa penulis sebenarnya. Alasan yang kurang tepat karena semua teman saya sejak SD sampai kuliah hapal benar nama itu (secara jarang ada orang punya nama belakang model begitu). Perkara saya gak pernah ngiklanin ke tetangga sebelah rumah atau ke orang tua temannya Hikari kalau saya ini penulis kan beda urusan. Ntar dibilang belagu lagi hehehe....

Nah, belakangan ini ternyata ada fenomena aneh di kantor saya.
99% manusia di kantor saya tadinya tidak tahu bahwa saya ini penulis dan sudah menerbitkan novel. Ini juga bukan karena saya sok ngumpet. Lah kan di kantor saya digaji jadi guru, masa' saya tiba-tiba beralih profesi jadi penulis?! (ngeles dot kom) Lagipula, novel saya (dengan nama saya dicetak gede-gede) itu dijual di toko buku terbesar di Asia Tenggara yang jaraknya cuma selemparan kolor dari kantor saya. Lagipula lagi, blog ini kan sudah ada dari 2005 dan saya selalu memberitahu para hadirin tentang kehadiran novel saya.

Lalu kenapa bisa, 99% manusia kantor saya tidak tahu?
Jawabannya sederhana: mereka memang pengunjung setia toko buku, tapi buku-buku yang mereka baca selalu yang tentang ngajar-mengajar. Daaaaaaan, mereka terlalu sibuk untuk ikutan virus ngeblog hahahahaha...
Jadi, ketika minggu lalu seorang teman saya terlihat atau disengajain terlihat membawa novel saya ke kantor, sontak terjadi kehebohan di beberapa cabang! Apalagi setelah ada sebuah foto terpampang di fesbuk! Lalu sebuah tuduhan mengarah kepada saya: "Ngapain lo rahasia-rahasia segala kalo elu udah nulis buku?!"

Lah?

Tapi setidaknya saya bersyukur. Bersyukur karena saya sempat punya lebih dari 2 tahun yang damai tanpa dikenali oleh orang-orang sekantor saya. Antusiasme mereka ternyata merusak mood.

Untuk Je, take it from me. DO NOT LET THEM KNOW YOU WRITE WHAT YOU WRITE! (I still link you here publicly though hahaha)

In the state of shock...

Have you ever been forced to face a condition where you feel like you are suddenly left in the dark, alone, suffocated, and disoriented? Your brain refuses to work, but deep down inside you know that you have to survive?

I've been there. Once, a long time ago. Almost 6 years ago.
Now, I'm experiencing it again for a different reason.

Right now, I'm feeling things. A lot of things. Feelings like I'm not sure if I'm right or wrong. Somehow I know I'm right but I don't know how I can make the wrongs to be right.
I am so shocked that I'm so disoriented. I don't know how to think or what to think.
But, the most hurtful thing of all is the feeling of being hurt.
I just wish...
God, I cannot even mention what I wish for...
God!
Damn!

What does not kill you...



What does not kill you, makes you stronger.


Right now, more than anything, I really really want to believe that saying.

Imej

Mungkin memang bukan salah anak-anak ketika setiap kali ditanya cita-citanya selalu menjawab PD, "jadi dokter!"
Dokter.
Di mata mereka (dan kita?), dokter itu hebat, tau segala-gala, bisa bikin penyakitnya hilang, tempat papa-mama bertanya (kadang-kadang pakai nangis juga), kelihatannya pintar, penampilannya necis, bla bla bla...
Setidaknya saya harus setuju tentang penampilannya necis. Berjubah putih pulak! Semua dokter yang saya lihat/kenal setidaknya memang necis. Hampir semua.

Saat itu saya sedang duduk di ruang tunggu RS menunggu giliran untuk dipanggil. Dokter yang saya tunggu belum datang juga. Saya sendiri belum pernah lihat tampang si dokter. Lalu, seorang laki-laki setengah baya dengan wajah kuyu berkulit gelap rambut acak-acakan, berkemeja lecek warna coklat luntur dan celana abu-abu muncul. Sembari lewat di depan para pasien -termasuk saya- dia menatap orang-orang yang sedang menunggu satu persatu. Begitu giliran saya, wajah butek saya (akibat kelamaan menunggu) langsung berkerut-kerut sembari melotot memberi pesan singkat, "apa lu liat-liat?!"
Laki-laki itu kemudian masuk ke ruang praktek dokter di depan saya. Belum sempat saya bereaksi, si suster memanggil nama saya untuk masuk.
"Silahkan, bu."
"Memang dokternya sudah dateng, sus?"
"Sudah."
"Kapan?"
"Barusan."
"Hah? Yang mana?"
"Yang baru aja masuk!" kata si suster heran.
Mampus gue!

Pesan moral saya kali ini: dokter belum tentu memakai jubahnya kemana-mana...

Sekali Lancung...

Setelah 2 minggu tidak masuk kantor, seorang teman mengirimkan saya sms dengan nada prihatin. Tulisan singkatnya, "are you really seriously ill?"

Spontan saya meringis. Antara nahan meriang dan nahan harga diri yang jatuh ke kaki.
Bukannya gak menghargai pesan prihatin si teman. Tapi pilihan kata 'seriously ill' sungguh berkesan banget di hati...
Sebagai usaha untuk bercermin, saya pikir ini pasti gara-gara catatan medis saya yang merah melulu. Setelah sebulan sebelumnya masuk RS gara-gara usus buntu, bulan ini saya masuk RS lagi. Anyone wouldn't take your medical reason seriously after so many in-and-outs of the hospital. Sekali lancung ke ujian...

Sebenarnya, teman-teman di kantor sudah sering ngehina-hina saya.
Kalau orang-orang di kantor pada bergantian masuk RS karena demam berdarah, mereka berkomentar lain pada saya.
"Ah, kalo elu masuk RS, gue udah tau deh diagnosanya. Elu paling tipus lagi tipus lagi."
Sial! Tapi benar!
Mereka malah nambahin satu kalimat menakutkan buat saya.
"Kata orang, kalo udah 5 kali sakit tipus, elu bisa mati, tau!"

Yang membuat saya tambah tertohok adalah (dan ini gak ada hubungannya dengan sms si teman itu) dua hari sebelum saya balik dirawat di RS, Hikari baru saja pulang dari dirawat di RS juga selama seminggu!
Iya, dia juga sampai 2x dirawat.
Si Mami bilang saya kena bad karma. Ya, beliau memang sangat suportif.
Bad karma karena sewaktu si Mami nyuruh saya menunda pindahan rumah ke bulan Juni, saya ngeyel dan menolak mentah-mentah.
Akibatnya -kata si Mami- saya, Hikari, Papap, Hikari lagi, saya lagi, masuk RS lagi.
Saya bilang pada beliau.
"Ini bukan bad karma. Ini namanya disumpahin ibu sendiri."

Baru seminggu ini saya masuk kembali ke kantor.
Hari pertama masuk saya langsung disalami oleh seluruh karyawan.
Tentu disertai kalimat, "ternyata lama gak ngeliat elu bikin kangen juga!"
Yang tentu saya jawab, "yang gak jenguk gue, bukan temen!"
Hari pertama itu diakhiri dengan kalimat penutup.
"Sori ya gak jenguk. We thought it was nothing serious."
"........"

Tua dan Dewasa

Ada hal yang berbeda dari diri saya sejak beberapa bulan yang lalu.
Saya tak lagi terobsesi mencukur rambut pendek-pendek.
Ini tidak ada hubungannya dengan perubahan hormon.
Ini ada hubungannya dengan tugas baru saya di kantor.

Sudah hampir 3 bulan, saya mendapat tugas baru: mengurusi kelas anak-anak.
Teman-teman langsung menyelamati saya.
Bukan karena tugas baru ini sangat prestigious, tapi karena otomatis mereka terbebas dari tugas paling mengerikan di kantor ini. Jadi, mereka menyelamati saya, karena saya sudah menyelamatkan mereka. Sompret!

Program kelas anak memang dianggap mengerikan oleh para kolega saya. Apalagi oleh para guru-guru. Karena itu, setiap kali guru-guru melihat muka saya -si koordinator anak yang baru- mereka langsung balik kanan bubar jalan menyelamatkan diri dari assignment dipaksa ngajar.

Yang membuat kelas anak mengerikan bukan karena sosok anaknya.
Well, ya, itu juga sih.
Untuk ngajar anak umur 6-12 itu butuh steroid 5x lebih banyak dari pelari marathon kelas dunia.
Selain itu, lesson plan, alat peraga, kesabaran ekstra, stamina tinggi (untuk ngejar-ngejar mereka), obat batuk (untuk menyembuhkan tenggorokan serak), kemampuan P3K, banyak berdoa adalah beberapa hal yang dibutuhkan untuk mengajar anak-anak.
Begitu pun bukan soal itu yang membuat program ini dianggap paling mengerikan.
Satu dan hanya satu hal yang menjadi momok program ini adalah ada siapa di belakang anak-anak yang kami ajar.
Jawabannya: ada mamanya, ada papanya, ada neneknya, ada kakeknya, ada tantenya, ada mbaknya, ada supirnya, ada teman mamanya, dan ada mama tetangganya.
Urusan sepele kecil yang berhubungan dengan satu siswa, bisa merembet panjang karena satu kompi pasukan di belakang anak itu.

Ribut-ribut dari hal yang remeh, seperti:
"Ibu, kenapa si A gak diusir dari kelas? Dia suka nyubitin anak saya!"
"Pak, kenapa sih surat untuk ortu dikasih ke anak saya? Kenapa saya gak di telepon aja?!"
"Bu, anak saya harus makan siang dulu sebelum masuk kelas disini. Jadi dia pasti akan terlambat masuk. Saya gak mau anak saya ditulis terlambat, ya!"
Sampai ke hal-hal yang... *&!@%#$*!^#, seperti:
"Saya gak terima anak saya harus ikut ujian susulan! Kesalahan dia kan hanya gak bayaran aja!"
"Saya bisa pecat situ, tau! Saya gak terima anak saya hanya dimasukin ke level ini!"
"Saya bisa beli gedung ini beserta isinya, tau!"
"Saya minta guru itu dipecat! Saya tidak suka sama muka dia!"

Saya memang patut untuk diselamati.

Saya lalu berencana untuk memanjangkan rambut supaya saya kelihatan lebih tua. Saya juga akhirnya mengikhlaskan diri memakai kacamata yang sudah beberapa tahun saya simpan di laci rumah demi kelihatan lebih dewasa. Dan Tua. Dewasa dan Tua.
Para guru memang meledek saya. Kata mereka, wajah dan penampilan saya kurang ibu-ibu untuk ngurusin para ibu dan bapak. Akibatnya, para ibu dan bapak ini seringkali melecehkan saya karena saya dianggap anak ingusan. Itu masih mending karena kadang saya juga dianggap resepsionis sehingga mereka selalu minta ketemu otoritas lain selain saya yang cuma resepsionis! Memangnya rambut pendek, muka imut-imut (*pletak!*), celana panjang dan sepatu boots tidak pantas punya pekerjaan seperti saya?
Kadang-kadang, saking mereka gak percayanya dengan jabatan saya, mereka sibuk bergerilya mencari kolega saya yang lain untuk minta dilayani. Para kolega saya pun dengan senang hati mengirim mereka kembali ke saya. Sompret!

Saya tidak mengerti ada apa sih dengan para orang tua sekarang ini? Seringkali mereka justru lebih galak mempertahankan diri ketika tahu anaknya berbuat kesalahan.
Mudah-mudahan solusi menuakan diri saya bisa berhasil.
Karena kalau enggak...

Tanya Kenapa

Satu pertanyaan dadakan Hikari hari ini yang tidak bisa dijawab adalah...


"Mama," tanya Hikari. "Kenapa Mama tidak kaya?"

Tema Lebaran 2007

Seorang sepupu setiap tahunnya menghindari jam-jam setelah sholat Ied untuk datang ke acara sungkeman Lebaran di rumah Eyang kami. Dia pasti datang saat hari sudah sore dan keluarga besar kami sudah pergi dari rumah Eyang.

Saya maklum atas kelakuan sekaligus alasannya.
Saya juga pasti akan mules kalau tiap tahun ditanya: Kapan Kawin?

Bila diingat-ingat lagi, sepertinya tema obrolan lebaran tiap tahunnya gak banyak berubah.
Yang belum kawin, pasti ditanya 'Kapan Kawin?'
Yang belum punya pacar, pasti ditanya 'Pacarnya gak diajak?'
Yang belum punya kerja, pasti ditanya 'Kerja dimana tahun ini?'
Yang belum punya anak, pasti ditanya 'Masih KB?'
Yang anaknya belum disekolahkan, pasti ditanya 'Kapan si kecil sekolah?'
Pertanyaan seperti ini biasanya akan dijawab, "4 tahun lagi. Yaa... kira-kira pas dia umur 4 tahun, gitu..."

Katanya Idul Fitri adalah hari dimulainya lembaran baru....?

Pada Lebaran tahun ini, tema yang terhangat adalah:
"Kapan mamanya Hikari hamil lagi?"

Sungguh suatu kado ulang tahun perkawinan ke-enam yang mengesankan. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa Papap lupa tentang hari ini....

Bukan Karena

Bukan karena sebentar lagi mau Lebaran,
Bukan karena saya cinta bunga mawar bambu,
Bukan karena saya bosen dengan layout yang lama,
Bukan karena saya kebanyakan bengong di rumah,
Bukan karena saya hobi ngotak-ngatik html,

lalu saya ganti layout.

Ini gara-gara layout kesayangan saya yang lama yang berwarna biru berlatar laut menenangkan itu......... rusak.

Mbuh kenapanya. Tau-tau, pas saya buka blog, semua buyar menjadi putih. Tanpa diotak-atik, tanpa dipinteri...

Siapa tahu ada yang:
1. Berbaik hati mau membereskan layout kesayangan saya itu,
2. atau, membuatkan saya template baru,
pasti akan saya puja-puji di blog saya nanti....

Silahkan loh...

Mind Your Own

Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan cerita seorang penyiar (cewek) dari sebuah stasiun radio. Begini ceritanya:
Malam itu, si penyiar sedang mencari tempat parkir. Sambil mengantri, dia melihat seorang perempuan kenes berpakaian celana panjang dan kemeja rapi berjalan PD melintasi lapangan parkir mall yang besar itu. Di antara sorot lampu mobil yang menembus segala hal, si penyiar melihat kalau zipper celana si perempuan terbuka dengan bebas....
Oke, sampai sini, gak usah pake dibayangin! Tapi katanya sih, perempuan itu pake tali berhuruf G.
Perempuan ini berjalan mendekati mobil si penyiar. Penyiar kita ini deg-degan. Bilang, gak, bilang, gak? Akhirnya si penyiar memutuskan untuk membuka jendela mobil, menyapa si perempuan, memberitahu perihal zippernya, dan buru-buru menutup jendela mobil dan kabur demi melihat muka si korban berubah antara pengen nabok dan pengen pingsan.

Kalau anda, apakah anda akan memberitahu perempuan itu?

Ada banyak peristiwa sejenis lainnya yang saya yakin pernah membuat para hadirin sekalian grogi. Kasih tau? Atau, gak usah?
Sewaktu dosen favorit di kampus dulu terkena musibah open-zipper begini saat sedang berkobar-kobar memberi kuliah di kelas, gak ada satu mahasiswa pun yang mau memberi tahu si dosen. Padahal, pose favorit si dosen adalah menangkringkan salah satu kakinya ke kursi paling depan.
Tolong, yang ini juga gak perlu dibayangkan!

Kebanyakan orang sepertinya memilih untuk diam saja. Termasuk saya. Terutama saya.
Saya lebih memilih untuk membuang muka, daripada menanggung derita setiap kali si korban bertemu saya dia akan berpikir 'duh, ni cewek pernah liat itu gue...'

Jadi siapa yang sebenarnya jadi korban?

Jiwa saya yang lebih rela menjadi korban ini pernah kena batunya ketika selama berbulan-bulan saya harus menghirup bau jempol seorang teman yang doyan melepas sepatunya. Segala cara -kecuali menegur- sudah saya coba: pindah kursi, kabur pas jadwal makan siang bareng, menolak duduk disebelahnya, sampai bangkrut karena membelikannya peralatan kaki anti bau untuk ulang tahunnya. Segala cara gagal, tentu saja. Walau saya tahu masalah akan lebih mudah dipecahkan bila saya mau menegurnya sekali saja, tetap saja saya tak punya hati untuk melakukannya. Kalau anda?

Mental saya ini berbeda jauh dengan mental berani mati seorang teman.
Saya dan Papap punya seorang teman yang sepertinya tidak tahan panas. Kena matahari sedikit, dia pasti bau. Baunya itu pun kadang gak hilang dari ruangan walau orangnya sudah pergi setengah jam yang lalu.
Saya dan Papap sempat dorong-dorong: siapa yang harus ngasih tau orang ini bahwa dia... bau! Setahun berlalu, si teman masih bau, kita juga masih dorong-dorongan. Ketika masalah bau ini semakin tidak tertahan berkaitan dengan intensitas pertemuan kita yang semakin sering, saya dan Papap terpikir untuk menghadiahinya deodorant.
Sebelum ide ini terealisasi (yang mungkin akan memakan waktu 5 tahun kemudian), kami kedatangan seorang teman baru. Si teman lama dan si teman baru pun bertemu. Tidak sampai sehari, si teman lama sudah mendapat pencerahan mengenai masalah baunya dari si teman baru. Problem's solved. Memang sih abis itu mereka berdua gak pernah ngobrol lagi...

Belakangan saya pikir, saya gak bisa terus-terusan bertingkah sok normal. Lagipula, saya kena karma karena gak mau berkorban untuk kesejahteraan umat.
Suatu hari saya yang sedang flu berat belanja bersama teman di sebuat mini market. Ketika sedang mengantri di kasir, si kasir tersenyum-senyum pada saya. Sebagai manusia ramah dan baik hati, tentu saya balas tersenyum. Maka, kami pun menghabiskan beberapa menit saling men-senyum-i satu sama lain. Tiba-tiba teman di belakang saya mencolek,
"Gila, bau banget. Sapa yang kentut sih? Elu kecium gak?"
"Bau kentut? Gak nyium tuh. Gue kan lagi pilek. Kesian deh lu..."

Begitu keluar dari mini market itu, si teman ketawa ngakak.
"Elu tau gak, De? Semua orang disitu mikirnya elu yang kentut, tau!"

FYI, sumpah, bukan saya yang kentut!

Chaos

Apa yang terjadi bila nenek-nenek bertemu kakek-kakek?

Jawabannya: saya diisukan hamil!

Ceritanya sungguh konyol.

Uwaknya si Papap yang sudah nenek-nenek kebetulan bertemu dengan Eyang Kakung saya (yang pastinya sudah kakek-kakek). Kebetulan rumah mereka itu satu kelurahan dan keduanya termasuk jenis lansia pecicilan: masih doyan arisan, senam, dan field trip.

Cerita berlanjut ketika pada suatu acara si Uwak bertegur sapa dengan si Eyang. Untung gak ada Eyang Uti saya. Apa jadinya isu itu kalau ditambahi satu nenek-nenek lagi??!

Entah bagaimana ceritanya, si Uwak mendapat kesimpulan kalau:
1. Saya sedang hamil dua bulanan.
2. Saya ngidam berat dan muntah-muntah parah.
3. Saya masuk rumah sakit.

Padahal kenyataannya adalah... saya lagi training.



Si Uwak lalu menelpon Mama Mertua. Mama Mertua kaget bukan kepalang. Masalahnya, si Papap saat itu sedang di luar kota sehingga Mama Mertua berpikir kalau saya sengaja tidak memberita tahu si Papap karena takut Papap menjadi panik. Akhirnya, Mama Mertua dan ipar-ipar menelpon Papap. Mendengar berita saya hamil dan masuk rumah sakit, Papap langsung menganga. Memang responnya agak-agak menyebalkan saat itu. Papap pun langsung menelpon saya.

"Kamu dimana?"
"Dirumah. Baru mau berangkat."
"Kemana?"
"Ke kantor lah."
"Tadi mama telpon."
"Oh."
"Katanya kamu masuk rumah sakit."
"Oh."
"Katanya kamu hamil..."
"Oh." Lalu, "APA?!"

Urusan bertambah runyam ketika Mama Mertua bertemu Eyang Uti saya. Rumah mereka sekali lagi masih satu kelurahan. Begitu bertemu Eyang Uti, si Mama malah mengajak si Eyang menjenguk saya yang katanya hamil, ngidam berat, dan harus masuk rumah sakit. Eyang Uti kaget! Let me tell you something: mengagetkan orang tua berumur hampir 80 tahun adalah tindakan yang tidak dianjurkan.

Kejadian berikutnya sungguh chaotic.
1. Eyang Uti menelpon Mami saya sembari mengomel panjang lebar memberi nasihat karena tidak diberi tahu si Mami kalau saya hamil, ngidam, dan masuk rumah sakit.
2. Si Mami yang lagi ngantor lalu menelpon saya yang juga lagi ngantor sembari ngamuk-ngamuk panjang lebar. Si Mami ngamuk bukan karena merasa tidak diberi tahu saya, tapi lebih karena habis diomeli si Eyang. Baru belakangan si Mami mengkonfirmasi isu.
3. Si Mami ngomel pada Papi saya karena Papi saya malah ketawa-tiwi begitu dikabari.
4. Saya ngomel-ngomel juga panjang lebar sama si Papap karena saya habis diamuki si Mami.
5. Eyang Uti dan si Mami ngomel-ngomel riuh rendah ke Eyang Kakung yang dianggap sebagai sumber isu.
6. Saya diomeli Eyang Kakung karena beliau merasa tidak menyebarkan isu semacam itu.
7. Saya juga diomeli Mama Mertua. Yang ini karena beliau kebingungan mau ngomel sama siapa.
8. Saya diketawain habis oleh para ipar.
9. Saya ngomel lagi sama Papap.
10. Penjahatnya tetap tak tersentuh hukum.

Siapa bilang kumpul-kumpul lansia itu selalu positif?!

picture: from email

Sudahlah...

Semua upaya dilakukan untuk menyaring bahasa-bahasa yang tak diinginkan untuk didengar Hikari. Menonton bersama dilakukan supaya bisa menjelaskan bahwa kata 'bodoh' dan/atau 'pecundang' tidak sama artinya dengan kata 'pintar' dan/atau 'hebat'. Mengoreksi ucapan-ucapan tidak manis yang didapat dari teman-teman sepermainannya. Memberi pengertian bahwa nama-nama binatang hanya pantas untuk binatang. Mengangguk setuju pada cerita Hikari bahwa menurut ibu guru, anak sholeh tidak boleh mengata-ngatai temannya. Memelototi para Eyang dan Om yang sering keceplosan, dan berkata pada Hikari, "Nak, itu bukan contoh anak sholeh..."

Usaha yang lumayan berhasil.

Malam ini kesebelasan Indonesia bermain melawan Arab Saudi. Semua orang menonton dengan khidmat di ruang keluarga.
Seorang pemain Indonesia mengoper bola ke daerah kosong.
Eyang Kung, "pada ngapain sih pemain yang laen?!"
Saya, "pada main bola, kayaknya."
Eyang Kung, "kambing!"
Saya, "ehem!"

Seorang pemain Indonesia terkena kartu kuning.
Adik pertama, "ngapain lagi dia begitu? Gob.."
Saya, "heh!"
Adik, "nggg.... gak pinter."

Seorang pemain Indonesia membuang bola ke luar lapangan.
Adik bungsu, "tol...!"
Pletak!

Tiba-tiba, seorang pemain Indonesia menendang bola ke gawang lawan daaann hampiiirrr masuuukkk!
"Goblok!"
"Aaarrrrgghhhhh."
"Kambing jengggott!"

Sedetik kemudian seorang pemain Arab Saudi gantian menendang bola ke gawang Indonesia. Dan masuk!
"Hhhhhhhaaaaaaahhhhh!"
"Bodooooooo!"
"Kambinggg!"
"Guooobloookkkk!"
"Tooloooooollll banget!"

Ah, sudahlah....

One Pill for All

Hikari berlarian kesana-kemari.
"Aaaaa..... aku terbang seperti superman!"
"Woooooo.... Burung Dino, Pterodon, terjun dari gunung!"
"Auuuummm.... T-Rex datanggg!"
Seseorang berkomentar, "dia kebanyakan mengkhayal karena gak punya adik tuh."

Hikari sedang main Lego sendirian. Dia sibuk membuat sebuah bangunan ultra-modern yang tak terdefinisikan oleh kata-kata.
Seseorang mengganggu permainannya. Hikari menjerit.
"Dia gak biasa kompetisi tuh. Gak punya adik sih."

Hari pembagian school report.
"Hikari lebih senang bermain sendiri. Dia maunya memilih permainannya sendiri."
"Hm."
"Mungkin karena gak punya adik, ya?"

Mata Hikari berkaca-kaca karena seseorang berkata, "warnai gambarnya yang bagus dong. Kalau begitu kan belum pintar, namanya."
"Mama, aku sedih."
"Ih, kamu kok sensitif banget sih," kata orang itu.
"Udah tau sensitif, masih diganggu," kata saya.
"Itu karena gak punya adik!"

Hikari sedang kelebihan energi. Dia berlari, meloncat-loncat, berguling-guling di kasur, teriak-teriak, kemudian nyemplung ke kolam ikan.
"Anak ini hiperaktif banget."
"Aktif. Gak pake hiper."
"Kalau punya adik, dia gak akan begitu."

"Kata psikolog, dia right-brained."
"Ada hubungannya dengan keadaan bahwa dia anak tunggal yang gak punya adik?"

"Kok belum bisa baca ya?"
"Itu nulisnya kok terbalik-balik ya?"
"Betah banget ya main balok berjam-jam?!"
"Jangan-jangan autis?"
"Jangan-jangan ADD?"
"Jangan-jangan disleksia?"
"Makanya dikasih adik!"


catatan: saya membuat satu blog baru untuk mendiskusikan berbagai hal tentang perkembangan dan pendidikan anak. Terutama tentang anak berdominan otak kanan. Bisa dilihat disini. Blog ini belum lengkap dan akan segera dilengkapi secepatnya. Semoga bisa bermanfaat. Kontribusi anda sekalian, sangat dinantikan.

Blogger Templates by Blog Forum