Teatrikal, or whatever that means!
Thursday, May 03, 2007 by Mariskova
Guru-guru SD saya dulu itu sungguh kreatif. Kalau ada peringatan hari Pahlawan, kami -para murid- akan mempersembahkan drama kepahlawanan. Ceritanya? Yaaaa, standar lah. Indonesia kaya. Belanda datang. Indonesia dijajah. Indonesia bete. Indonesia perang. Belanda kalah. Tidak lupa para tokoh kemerdekaan pun dihadirkan kembali ke atas panggung. Ada yang jadi Pangeran Diponegoro, ada Cut Nyak Dien, ada Jendral Sudirman, dan tentu saja selebriti pentingnya: Soekarno dan Hatta. Entah kenapa, saya selalu kebagian jadi Jendral Sudirman. Kata teman saya, si Opik, itu pasti karena hanya saya yang cocok pake peci.
Satu-satunya hari peringatan nasional yang tidak pernah kami drama-kan adalah Hari Kesaktian Pancasila. Mungkin karena susah berakting jadi orang sakti. Hari-hari lainnya -termasuk hari raya keagamaan- pernah kami drama-kan. Kalau drama di hari raya keagamaan, saya gak jadi Jendral Sudirman lagi. Biasanya saya hanya jadi seksi sibuk alias pesuruh yang cape deh disuruh bantu-bantu. Si Opik bilang (lagi) ini karena muka saya kurang alim buat main di drama Maulid-an.
Beberapa hari yang lalu, beberapa stasiun tv menayangkan aksi teatrikal oleh sebuah SD di Bogor. Sayangnya nama SD itu gak pernah disebut. Tapi pastinya, SD itu ada di Bogor. Aksi teatrikal itu dilakukan dalam rangka aksi keprihatinan dan dalam rangka hari pendidikan nasional. Kata Aksi Teatrikal dan Aksi Keprihatinan itu berasal dari bahasa guru SD tersebut tentunya. Entah apakah para murid SD itu tahu apa artinya.
Ada apa di Aksi Teatrikal itu? Di layar tv ditampilkan adegan murid-murid SD berseragam rapi merah putih sedang berpura-pura menjadi praja IPDN. Mereka pura-pura menendang temannya, memukul, menonjok, menyiksa, dan akhirnya si pura-pura korban akan pura-pura terjatuh dan kesakitan. Sementara itu murid-murid yang lain bersorak-sorak ramai menyaksikan tayangan pura-pura itu.
Gggggrrrrrhhhhhhhhhhh!!! SAYA MURKA!
Satu. Apa anak SD -pemain dan penonton- mengerti apa artinya aksi teatrikal?
Dua. Apa mereka paham tujuan kegiatan mereka?
Tiga. Apa ada hasil positif yang bisa di dapat dengan BERPURA-PURA jadi praja IPDN yang memukuli juniornya?
Empat. Apa the-so-called aksi teatrikal semacam itu PANTAS untuk dimainkan dan disuguhkan untuk anak SD?
Lima. APA GAK ADA CARA LAEN GITU LOOH???
Seorang wartawan bertanya kepada beberapa murid SD itu apakah tujuan kegiatan mereka. Jawaban mereka? Standar hafalan skenario. Begitu sang wartawan bertanya di luar hafalan mereka, jawaban mereka standar: tersenyum simpul.
Sewaktu saya memerankan Jendral Sudirman dulu, saya mendapat pemahaman tentang sejarah perang negara saya. Dan memang itu tujuan drama-drama di sekolah saya itu. Daripada murid menghafal sejarah, guru-guru saya mengajak kami membuat naskah dari buku sejarah dan memerankannya. Sumpah, kami sendiri yang membuat naskahnya! Maka kadang-kadang kami bertengkar hanya gara-gara kami tak sepakat siapa yang menjahit bendera Pusaka, atau siapa yang menculik Soekarno-Hatta, atau jam berapa Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok.
Sekarang, bila tujuan pementasan drama SD saya dianalogikan dengan aksi teatrikal ala IPDN tadi, pemahaman apa yang akan ditelan oleh murid-murid SD itu?
Oooh, kalo masuk sekolah itu kita bisa maen tendang-tendangan loooh.
Oooh, kalo sudah besar kita bisa pukuli adek kelas kita loooh.
Oooh, sebelum memukul, kita harus menendang dulu loooh.
Goblok!
Mudah-mudahan surat protes saya ke satu surat kabar bisa dipasang di surat pembaca!
Satu-satunya hari peringatan nasional yang tidak pernah kami drama-kan adalah Hari Kesaktian Pancasila. Mungkin karena susah berakting jadi orang sakti. Hari-hari lainnya -termasuk hari raya keagamaan- pernah kami drama-kan. Kalau drama di hari raya keagamaan, saya gak jadi Jendral Sudirman lagi. Biasanya saya hanya jadi seksi sibuk alias pesuruh yang cape deh disuruh bantu-bantu. Si Opik bilang (lagi) ini karena muka saya kurang alim buat main di drama Maulid-an.
Beberapa hari yang lalu, beberapa stasiun tv menayangkan aksi teatrikal oleh sebuah SD di Bogor. Sayangnya nama SD itu gak pernah disebut. Tapi pastinya, SD itu ada di Bogor. Aksi teatrikal itu dilakukan dalam rangka aksi keprihatinan dan dalam rangka hari pendidikan nasional. Kata Aksi Teatrikal dan Aksi Keprihatinan itu berasal dari bahasa guru SD tersebut tentunya. Entah apakah para murid SD itu tahu apa artinya.
Ada apa di Aksi Teatrikal itu? Di layar tv ditampilkan adegan murid-murid SD berseragam rapi merah putih sedang berpura-pura menjadi praja IPDN. Mereka pura-pura menendang temannya, memukul, menonjok, menyiksa, dan akhirnya si pura-pura korban akan pura-pura terjatuh dan kesakitan. Sementara itu murid-murid yang lain bersorak-sorak ramai menyaksikan tayangan pura-pura itu.
Gggggrrrrrhhhhhhhhhhh!!! SAYA MURKA!
Satu. Apa anak SD -pemain dan penonton- mengerti apa artinya aksi teatrikal?
Dua. Apa mereka paham tujuan kegiatan mereka?
Tiga. Apa ada hasil positif yang bisa di dapat dengan BERPURA-PURA jadi praja IPDN yang memukuli juniornya?
Empat. Apa the-so-called aksi teatrikal semacam itu PANTAS untuk dimainkan dan disuguhkan untuk anak SD?
Lima. APA GAK ADA CARA LAEN GITU LOOH???
Seorang wartawan bertanya kepada beberapa murid SD itu apakah tujuan kegiatan mereka. Jawaban mereka? Standar hafalan skenario. Begitu sang wartawan bertanya di luar hafalan mereka, jawaban mereka standar: tersenyum simpul.
Sewaktu saya memerankan Jendral Sudirman dulu, saya mendapat pemahaman tentang sejarah perang negara saya. Dan memang itu tujuan drama-drama di sekolah saya itu. Daripada murid menghafal sejarah, guru-guru saya mengajak kami membuat naskah dari buku sejarah dan memerankannya. Sumpah, kami sendiri yang membuat naskahnya! Maka kadang-kadang kami bertengkar hanya gara-gara kami tak sepakat siapa yang menjahit bendera Pusaka, atau siapa yang menculik Soekarno-Hatta, atau jam berapa Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok.
Sekarang, bila tujuan pementasan drama SD saya dianalogikan dengan aksi teatrikal ala IPDN tadi, pemahaman apa yang akan ditelan oleh murid-murid SD itu?
Oooh, kalo masuk sekolah itu kita bisa maen tendang-tendangan loooh.
Oooh, kalo sudah besar kita bisa pukuli adek kelas kita loooh.
Oooh, sebelum memukul, kita harus menendang dulu loooh.
Goblok!
Mudah-mudahan surat protes saya ke satu surat kabar bisa dipasang di surat pembaca!
saya setuju sekali jenderal!..
sudah dimuat kah?..
Tanggepan atas posting gw:
Tulis surat ke koran gak akan nyelesain masalah. Kamtib2 itu disuruh org kelurahan/kecamatan, dgn alasan bangunan kami gak ada Numpang tanya, rumahnya tu para kamtib pada punya imb gak? Trus rmh org2 sekitar rmh gw, yakin gak jg wong empet2an gitu. Alesan aja, supaya dapet duit sogokan. Sebenernya udah dikasih, tp mungkin ada yg gak kebagian, jadi panas gak dapet duit haram. Endonesiaah... Endonesiah.
kok kyk gt buat konsumsi anak2 SD.. ga bener bgt! udh dimuat blm tulisan pembacanya? Bener2 jd ikutan ggrrghhhh.... geram bgt. Coba knp ga mentasin cerita daerah or kepahlawanan yg nyata aja sih? Dev, lama2 jd ortu kok susah yaa...
kalo gurunya aja goblok, trus gimana hasil cetakannya bisa gak goblok? bubarin ajah sekolahnya...lho?
gue kebetulan nonton juga tayangan itu. dan gue inget yang gue pikir saat itu adalah WTF? gue juga ga abis pikir tujuannya apa mentasin drama model kaya gitu.
mbok ya kalo mo bikin drama untuk anak sd, temanya jangan kekerasan. ato kalo mo ngajarin tentang anti kekerasan ke murid sd, banyak cara lain yang lebih baik, daripada nyuruh mereka akting pukul2an. heran..betul-betul heran gue. capek deeh...
"Kata teman saya, si Opik, itu pasti karena hanya saya yang cocok pake peci."
ini compliment mestinya. lha kalo cocok pake topi baja? muka ketutup. muka kagak layak pajang.