Friday, December 21, 2007
by Mariskova
Saya sedang memperhatikan Hikari yang sedang asyik bermain dengan temannya Z. Seru sekali permainan yang buat saya kelihatan sederhana itu: beberapa mobil dan beberapa mini dino disulap menjadi sebuah taman Jurassic lengkap dengan landscape terdiri dari bantal kursi dan sendal Eyang kakung.
Setelah beberapa lama mereka bermain, datang Y, anak gemuk menggemaskan yang tinggal di dekat rumah. Hikari tambah antusias karena itu berarti skenario Jurassic Park miliknya tambah ramai. Sayangnya, baru lima menit bermain, timbul masalah. Si Z membuat ulah. Dari beralasan bosan dengan main dino, mengajak Hikari main yang lain (sambil berbisik supaya si Y tidak perlu diajak), ngambek, sampai terang-terangan menyuruh si Y pulang.
Bocah kecil itu, si Z, merasa terancam dengan kehadiran Y. Dia lalu merusak suasana bermain, dan hari itu ada tiga anak kecil yang sorenya berubah menjadi kelabu.
Saya pernah menjadi si Z. Atau si Y,
bila dilihat dari sisi yang berbeda.
Saya bersahabat dengan A selama sekitar sepuluh tahun, ketika kami berkenalan dengan B. Tidak lama kemudian selalu ada B kemana pun kami pergi. Setelah itu hari-hari kami persis seperti deskripsi Lady Diana ketika berucap, "
there were three of us in this marriage, so it was a bit crowded."
Saya merasa terancam, terutama ketika saya tak lagi diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang biasanya saya dan A lakukan bersama. Pelan-pelan saya menyingkir, karena saya tak punya cukup hati untuk mempertahankan persahabatan kami. Sampai hari ini yang saya lakukan adalah memandangi B merajut persahabatan dengan A.
"People do foolish things when they feel threatened," ucap teman saya, si C, yang lulusan fakultas psikologi terkenal di Jakarta.
"You are even more foolish," tambahnya. "You didn't do anything!"
Saya hanya tertawa mendengarnya. Mungkin C benar. Mungkin dia salah. Tapi belakangan ini, ucapan C seperti mendapat pembenaran.
People do foolish things when they feel threatened.Sebut saja D, seorang perempuan karir dengan setumpuk tanggung jawab. Saking bertumpuk tanggung jawabnya, boss si D memberinya orang tambahan untuk membantunya. Si Junior kebetulan baru saja kembali dari bermukim selama beberapa tahun di luar negeri. Si Junior juga kebetulan punya pengalaman karir yang lumayan
impressive. Logikanya, D seharusnya merasa senang. Pekerjaannya akan berkurang dan ia akan dibantu oleh orang yang
sudah jadi. Setidaknya, logika Junior berkata begitu.
Dua bulan lewat. Si Junior dibiarkan meraba-raba dalam gelap. Tidak ada satupun pekerjaan yang dialihkan kepadanya. D menutup rapat akses ke pekerjaan yang harusnya dibantu Junior. Boss meminta Junior untuk bersabar.
"D perlu waktu," kata Boss.
"Mungkin dia merasa terancam dengan kualifikasi anda," kata Senior lainnya.
Junior bersabar. Dia tidak mengerti, tapi dia bersabar.
Dua bulan lewat. Si Junior yang baru menjejakkan kaki masuk ke ruangannya disapa oleh salah satu stafnya.
"D masuk rumah sakit."
"Hah?!"
"Dokter bilang dia depresi berat."
Ternyata kawan saya si C benar.
People do foolish things when they feel threatened.
Tapi satu hal yang pasti.
Semua orang merasakan hari yang kelabu.picture: from google image