Debt Diet
Wednesday, February 07, 2007 by Mariskova
Terinspirasi oleh tayangan Oprah tentang Debt Diet, saya memutuskan untuk melewati tanpa melirik apalagi menoleh tukang martabak keju kesukaan saya. Padahal saya sempat melihat longokan heran si tukang dari kaca spion mobil. Maaf, bang. Saya lagi diet.
Tidak seperti prinsip hidup saya yang dengan lantang berteriak “Life is too short for a diet” (yang membuat saya disemprot seorang teman/psikolog terkenal dengan balikan kalimatnya “Life will be a lot shorter if I don’t!”), diet yang macam ini benar-benar saya butuhkan.
Bukan, bukan karena saya punya debt alias hutang. Justru hutang saya NOL. Saya gak punya credit card dan sumber hutangan saya yang lain –si Mami- memberi resiko terlalu tinggi bila dihutangi (misal: mengubah saya menjadi supir pribadi, atau menjadi tukang suruhan ini itu dalam waktu tak terbatas tanpa boleh protes). Masalah justru timbul bukan dari hutang saya yang nol. Masalah justru datang karena jumlah duit saya sialnya berbanding lurus dengan hutang saya. Jadi, hutang nol, pemasukan duit juga nol. Lah, kalo masuk kosong tapi keluar deras, bisa jatuh miskin saya ini. Hmm… koreksi. Saya sudah jatuh miskin.
Debt Diet di Oprah menggugah rasa kemiskinan saya. Kalau para pasien Oprah yang berhutang ribuan dollar dari puluhan kartu kredit mereka aja bisa sembuh, masa’ saya yang tak berhutang tak bisa sembuh dari pengeluaran-pengeluaran tak perlu?! Maka, tukang martabak, tukang mie ayam, tukang teh botol, dan para tukang makanan yang lain pun menjadi korbannya. Ternyata, penyakit pengeluaran saya memang di jajan makanan-makanan enak.
Jalan seminggu-dua diet saya ini cobaan mulai berdatangan. Tentu saja cobaan pertama datang dari tukang sate padang yang kemunculannya bak bis transjakarta itu; setahun sekali tapi gak janji. Cobaan yang lain datang dari Hikari yang menganggap supermarket mini di dekat rumah sudah seperti rumah sendiri. Cobaan yang paling berat tentu tidak mengkonsumsi teh botol yang sudah menjadi bagian dari darah saya (tiap hari gitu nenggaknya). Tapi, ada cobaan lain yang ternyata lebih berat lagi: undangan pesta ulang tahun! Secara saya itu berasal dari keluarga super besar, tiap bulan bisa ada dua atau tiga pesta ulang tahun. Dan, tiap tamu kudu bawa kado, bo!
Apa yang terjadi kalau saya tidak bawa kado barang secuil pun? Kalau yang ulang tahun anak kecil, saya bisa di demo tangisan tak berkesudahan. Kalau yang ulang tahun sudah bangkotan, saya bisa didera celaan tak berkesudahan juga. Dan celaan yang paling menyebalkan adalah “ya, udah. Kalo gak bawa kado, kasih Yen juga boleh kok.”
Untung sodara, kalo bukan sodara udah saya anggap bukan sodara deh!
Sesuai dengan salah satu metode Debt Diet-nya Oprah, si pasien harus come clean dengan orang-orang disekitarnya kalau dia sedang berusaha mengurangi hutangnya. Ini dimaksudkan supaya orang-orang disekitarnya mengerti kalau mereka menolak ajakan makan diluar dan acara senang-senang lainnya. Buat saya, metode ini bukan masalah. Lah, saya pan biasanya memang nyablak aja kalo ngomong. Kalo lagi gak punya duit, ya bilang gak punya duit. Gitu aja kok susah amat? Sayangnya, dengan kondisi kami yang baru pulang dari ‘luar negeri’ orang menjadi susah untuk percaya. Pikir mereka, kita kaya aja. Mereka mana perduli kalau kita justru ngirit ini itu di luar negeri biar gak jadi gelandangan. Di negeri ini semua yang dari luar negeri tercium bau dollar dihidung orang-orang...
Walau sering didera ledekan sodara-sodara, saya masih bisa super cuek tak sakit hati. Sudah terlatih seumur hidup bergaul dengan Rahwana-Rahwana itu karena. Lagipula, yang namanya sodara, jahil diluar baik hati di dalam. Paling banter senjata pamungkas mereka adalah “ya deh, tahun ini gak kasih kado, tapi tahun depan gue minta BMW seri terbaru ya.”
Namun ketika ada seorang teman-tak-dekat berkomentar begini, saya pun meradang.
“Rumah lo dimana sekarang?”
“Masih nebeng sama emak babe?”
“Loooh kok gak beli sendiri?”
“Gak punya duit. Mau beliin?”
“Halaahh… alasan lo gak punya duit padahal tabungan Yen lo berjuta-juta di bawah bantal. Basi lo.”
“Kalo besok mayat lo ditemukan di kali termutilasi, itu gue pelakunya...”
Sayang, metode Debt Dietnya Oprah gak membahas soal unsuccessful attempt to be honest.
Tidak seperti prinsip hidup saya yang dengan lantang berteriak “Life is too short for a diet” (yang membuat saya disemprot seorang teman/psikolog terkenal dengan balikan kalimatnya “Life will be a lot shorter if I don’t!”), diet yang macam ini benar-benar saya butuhkan.
Bukan, bukan karena saya punya debt alias hutang. Justru hutang saya NOL. Saya gak punya credit card dan sumber hutangan saya yang lain –si Mami- memberi resiko terlalu tinggi bila dihutangi (misal: mengubah saya menjadi supir pribadi, atau menjadi tukang suruhan ini itu dalam waktu tak terbatas tanpa boleh protes). Masalah justru timbul bukan dari hutang saya yang nol. Masalah justru datang karena jumlah duit saya sialnya berbanding lurus dengan hutang saya. Jadi, hutang nol, pemasukan duit juga nol. Lah, kalo masuk kosong tapi keluar deras, bisa jatuh miskin saya ini. Hmm… koreksi. Saya sudah jatuh miskin.
Debt Diet di Oprah menggugah rasa kemiskinan saya. Kalau para pasien Oprah yang berhutang ribuan dollar dari puluhan kartu kredit mereka aja bisa sembuh, masa’ saya yang tak berhutang tak bisa sembuh dari pengeluaran-pengeluaran tak perlu?! Maka, tukang martabak, tukang mie ayam, tukang teh botol, dan para tukang makanan yang lain pun menjadi korbannya. Ternyata, penyakit pengeluaran saya memang di jajan makanan-makanan enak.
Jalan seminggu-dua diet saya ini cobaan mulai berdatangan. Tentu saja cobaan pertama datang dari tukang sate padang yang kemunculannya bak bis transjakarta itu; setahun sekali tapi gak janji. Cobaan yang lain datang dari Hikari yang menganggap supermarket mini di dekat rumah sudah seperti rumah sendiri. Cobaan yang paling berat tentu tidak mengkonsumsi teh botol yang sudah menjadi bagian dari darah saya (tiap hari gitu nenggaknya). Tapi, ada cobaan lain yang ternyata lebih berat lagi: undangan pesta ulang tahun! Secara saya itu berasal dari keluarga super besar, tiap bulan bisa ada dua atau tiga pesta ulang tahun. Dan, tiap tamu kudu bawa kado, bo!
Apa yang terjadi kalau saya tidak bawa kado barang secuil pun? Kalau yang ulang tahun anak kecil, saya bisa di demo tangisan tak berkesudahan. Kalau yang ulang tahun sudah bangkotan, saya bisa didera celaan tak berkesudahan juga. Dan celaan yang paling menyebalkan adalah “ya, udah. Kalo gak bawa kado, kasih Yen juga boleh kok.”
Untung sodara, kalo bukan sodara udah saya anggap bukan sodara deh!
Sesuai dengan salah satu metode Debt Diet-nya Oprah, si pasien harus come clean dengan orang-orang disekitarnya kalau dia sedang berusaha mengurangi hutangnya. Ini dimaksudkan supaya orang-orang disekitarnya mengerti kalau mereka menolak ajakan makan diluar dan acara senang-senang lainnya. Buat saya, metode ini bukan masalah. Lah, saya pan biasanya memang nyablak aja kalo ngomong. Kalo lagi gak punya duit, ya bilang gak punya duit. Gitu aja kok susah amat? Sayangnya, dengan kondisi kami yang baru pulang dari ‘luar negeri’ orang menjadi susah untuk percaya. Pikir mereka, kita kaya aja. Mereka mana perduli kalau kita justru ngirit ini itu di luar negeri biar gak jadi gelandangan. Di negeri ini semua yang dari luar negeri tercium bau dollar dihidung orang-orang...
Walau sering didera ledekan sodara-sodara, saya masih bisa super cuek tak sakit hati. Sudah terlatih seumur hidup bergaul dengan Rahwana-Rahwana itu karena. Lagipula, yang namanya sodara, jahil diluar baik hati di dalam. Paling banter senjata pamungkas mereka adalah “ya deh, tahun ini gak kasih kado, tapi tahun depan gue minta BMW seri terbaru ya.”
Namun ketika ada seorang teman-tak-dekat berkomentar begini, saya pun meradang.
“Rumah lo dimana sekarang?”
“Masih nebeng sama emak babe?”
“Loooh kok gak beli sendiri?”
“Gak punya duit. Mau beliin?”
“Halaahh… alasan lo gak punya duit padahal tabungan Yen lo berjuta-juta di bawah bantal. Basi lo.”
“Kalo besok mayat lo ditemukan di kali termutilasi, itu gue pelakunya...”
Sayang, metode Debt Dietnya Oprah gak membahas soal unsuccessful attempt to be honest.
Untung sodara, kalo bukan sodara udah saya anggap bukan sodara deh!
--
=))
pembunuhan terencana,sodara2....demi membela diet dan sakit hati...hehehhehehe
Biasa itu, neng.. kalau melihat orang yagn baru balik merantau, mesti dipikirnya itu kita mungutin duit di jalanan.. nggak tau kalau kita di negeri ornag itu bekerja keras [dan di hargai lebih baik].
Memang para mantan expat seperti dirimu dan mereka lainya, adalah benar orang kaya --> kaya pengalaman, kaya akan kapabilitas dan enhanced mindset, lebih ketimbang kaya dari segi duit..
As to debt diet, it is really important to keep it on its low, kecuali a productive debts [buat usaha], masih sah2 aja kok..
Wishing you a productive days ahead and stay enthusiastic on your current quest!
Salam kangen dari Afrika Barat, update dari Liberia dan tulisan kawan-kawan lainya ada di Warung Kopi ini, kalau longgar, silaken mampir - atuh! :p
Dev.. hari sabtu dateng ya.. Raul ulang tahun.. *awas ngga bawa BMW eh, kado* hi,hi,
Gue sebel kalo lagi pulang kampung, udah bawain oleh2 buat tante2 om2 dan teman2nya nyokap.
- Kalo dibawain tas kulit katanya kurang suka modelnya. Yg lebih parah lagi kalo bilang: Yaaah kl model beginian sih di Medan juga banyak....
- Kalo di bawain korma.
Ngomongnya "ngapain jauh2 dibawain korma, beli di carefour aja.
- Dibawain gantungan kunci.
Ngomongnya : Ini doaang????
Dia kagak tau berapa yg gue keluarin buat ngasih oleh2 ke seluruh penjuru Medan. Yg tadinya ikhlas, jadi gak ikhlas deh.
Aku sih nggak pernah sampe menyengajakan diri nggak jajan. Susah soalnya kalau dihentikan. Intinya kalo gue sih, everything is in moderation. Termasuk soal kado dan pengeluaran-pengeluaran lain.
Jajan yuk Mak. *kabuuuuuuurrrrr*