Si Bola
Monday, June 19, 2006 by Mariskova
Banyak orang ngeledek: orang Indonesia ada sekian juta, tapi gak ada yang bisa maen bola sehingga bisa bikin negara ini, eh, itu ikut maen di World Cup. Gak masuk akal, kata orang-orang lagi.
Wah, buat saya sih masuk akal. Alasannya, walopun saya berkenalan dengan bola sejak SD, saya sampai sekarang masih gak bisa main bola. Coba, ada berapa juta orang yang seperti saya di Indonesia? Hehehe...
Bukannya saya mau mencari pembenaran atas ketidak-bisaan saya main bola. Disini sih saya hanya ingin cerita pertemanan saya dengan bola. Sumpah, cerita ini sama sekali tidak inspiring.
Pertama kali saya main bola, benar-benar main bola, itu waktu SD. Lupa kelas berapa, tapi sepertinya sudah agak besar. Waktu itu tiba-tiba guru OR saya punya 'kebijakan' baru yaitu main bola. Padahal dulu-dulunya hanya anak laki-laki yang main bola. Itupun bukan di jam olah raga. Tapi kali ini kami semua -anak laki dan perempuan- diikutsertakan bermain bola. Ada tim bola anak perempuan dan tentu saja ada tim bola anak laki-laki. Waktu itu tiba-tiba saya disuruh jadi penjaganya gawang. Bukan, bukan goal-keeper. Tapi pemain yang tugasnya jaga di garis belakang. Apa sih namanya? Tanpa penjelasan mengenai hak dan kewajiban serta AD/ART penjaganya gawang, saya tahu-tahu sudah dipatok berdiri disitu. Lalu... prittt... permainan dimulai. Gak tau karena para anak perempuan ini gak ngerti gimana caranya main bola, atau karena insting rebutan anak perempuan yang gede, sejak bola digulirkan di tengah-tengah lapangan, si bola gak bergerak kemana-mana lagi. Sementara itu para pemain sibuk tendang-tendangan kaki. Oh ya, sambil jejeritan tentu saja. Sudah napsu tendang-tendangan begitu pun si bola tetap cuek. Nongkrong aja dia ditengah-tengah diantara kaki-kaki tanpa bergerak sedikitpun... Saat itu, berbekal logika saya bahwa titel saya adalah pemain penjaganya gawang, saya tidak ikut-ikutan main tendang-tendangan di tengah lapangan. Saya tetap setia berdiri di depan keeper. Ngapain? Ya, ngejaga gawang dong! Bagaimana nasib garis belakang tim saya dan juga gawang saya kalau saya ikut-ikutan lari ke tengah lapangan? Bagaimana kalau ada bola yang bergulir ke depan gawang tanpa saya ada disitu? Hayo?! Tapi, karena selama permainan, bola itu gak pernah beranjak dari tengah lapangan, otomatis selama permainan itu pula saya berdiri bete di depan gawang. Bersama si keeper, tentu saja. Selesai main bola, ada teman laki-laki yang bercerita kepada saya bahwa menurut kedua guru OR, yang selama permainan memantau dari pinggir lapangan, saya tidak bakat main bola. What a revelation! Sejak hari pertama saya main bola beneran itu, saya tidak pernah main bola lagi sampai…
…sampai kelas tiga SMP. Waktu itu guru OR saya pun tiba-tiba punya ide untuk bermain bola resmi pada jam OR. Pada minggu pertama, hari pertama, satu kelas saya dibagi dua tanpa memandang jender dan jumlah pemain. Alhasil selama permainan, hanya anak laki-laki yang aktif dan niat bermain bola, sementara yang perempuan hanya basi-basi lari-lari kecil sambil cengegesan. Boro-boro mau rebutan bola! Paling banter jejeritan ngasih semangat pada teman laki-laki satu tim. Hebat kan, seorang pemain bisa nyambi jadi supporter??? Hari pertama main bola itu saya disuruh jadi penjaga gawang beneran. Goal keeper. Mungkin karena tampang dan jidat saya yang seakan-akan bertuliskan ‘jangan harap gue mau kejar-kejar bola’ dan karena badan saya yang kurus kerempeng tanpa tenaga untuk bisa mengejar-ngejar bola keliling lapangan. Sebagai penjaga gawang, saya setia berdiri ditengah gawang. Tapi karena kasihan pada saya, beberapa teman laki-laki ditugaskan untuk menemani saya berdiri bersebelahan menjaga gawang. Hasilnya, gawang saya anti bocor...
Karena kegagalan permainan bola hari pertama, guru OR saya mengubah taktik. Pada hari kedua, tim bolanya dibagi berdasarkan jender. Saya, walopun berambut cepak satu senti, tetap kebagian di tim perempuan. Berdasarkan kecemerlangan saya menjaga gawang pada hari sebelumnya, kali ini pun saya kembali ditugaskan menjadi keeper. Permainan kali ini lebih mendingan daripada permainan teman-teman perempuan saya waktu SD. Permainan kali ini lebih menyerupai permainan bola beneran. Bolanya pun berhasil dibuat menggelinding kesana kemari walau jerit-menjerit tetap terdengar. Saya sendiri paling anti menjerit. Nehi! Kalau teriak itu lain perkara.
Eniwei, walaupun sendirian menjaga gawang, saya tetap setia berdiri ditengah-tengah gawang. Beberapa kali si bola menggelinding menuju kearah gawang saya. Tapi karena para pemain tidak mengerti bagaimana caranya menendang bola sehingga MASUK ke gawang, gawang saya pun tetap aman. Sampai... sampai teman saya dari tim musuh, teman saya yang paling besar dan paling kekar secara dia itu karateka ban hitam andalan Jakarta Timur datang berlari menggiring bola ke arah gawang saya. Setelah sukses menyingkirkan kawan satu tim saya yang menghalangi larinya, dia pun berancang-ancang (secara profesional) hendak menendang bola ke gawang saya dari jarak beberapa meter! Apa yang saya lakukan? Tentu saja saya tidak mau mati konyol. Kalau ada orang sebesar dan sekuat dia ingin memasukkan bola ke gawang saya... ya silahkan. Saya ta’ minggir dulu ke tempat aman sebentar. Begitu saja kok repot.
Lulus SMP, saya tidak pernah nekat main bola lagi. Iseng ataupun serius. Saya juga tidak mau nekat jadi komentator bola. Lah, saya gak ngerti apapun tentang bola kok?! Saya sih masih bisa menikmati pertandingan bola antar negara -bukan antar klub- karena pertandingan antar negara masih ada faktor-faktor lain selain teknis. Lah, saya mana tahu tentang teknis perbolaan? Saya ogah disuruh komen ini itu baik iseng-iseng maupun sok-sokan soal bola. Apa jadinya dunia perbolaan kalau orang tak tahu ilmu bola macam saya ikut mangap koar-koar tentang bola??? Kan katanya having no knowledge is dangerous. But having little knowledge (but pretending to have much) is more dangerous.
Eh, itu sih bukan cuma soal bola doang ya? Ya sudahlah. Kalau tak tahu, lebih baik mingkem saja.
Wah, buat saya sih masuk akal. Alasannya, walopun saya berkenalan dengan bola sejak SD, saya sampai sekarang masih gak bisa main bola. Coba, ada berapa juta orang yang seperti saya di Indonesia? Hehehe...
Bukannya saya mau mencari pembenaran atas ketidak-bisaan saya main bola. Disini sih saya hanya ingin cerita pertemanan saya dengan bola. Sumpah, cerita ini sama sekali tidak inspiring.
Pertama kali saya main bola, benar-benar main bola, itu waktu SD. Lupa kelas berapa, tapi sepertinya sudah agak besar. Waktu itu tiba-tiba guru OR saya punya 'kebijakan' baru yaitu main bola. Padahal dulu-dulunya hanya anak laki-laki yang main bola. Itupun bukan di jam olah raga. Tapi kali ini kami semua -anak laki dan perempuan- diikutsertakan bermain bola. Ada tim bola anak perempuan dan tentu saja ada tim bola anak laki-laki. Waktu itu tiba-tiba saya disuruh jadi penjaganya gawang. Bukan, bukan goal-keeper. Tapi pemain yang tugasnya jaga di garis belakang. Apa sih namanya? Tanpa penjelasan mengenai hak dan kewajiban serta AD/ART penjaganya gawang, saya tahu-tahu sudah dipatok berdiri disitu. Lalu... prittt... permainan dimulai. Gak tau karena para anak perempuan ini gak ngerti gimana caranya main bola, atau karena insting rebutan anak perempuan yang gede, sejak bola digulirkan di tengah-tengah lapangan, si bola gak bergerak kemana-mana lagi. Sementara itu para pemain sibuk tendang-tendangan kaki. Oh ya, sambil jejeritan tentu saja. Sudah napsu tendang-tendangan begitu pun si bola tetap cuek. Nongkrong aja dia ditengah-tengah diantara kaki-kaki tanpa bergerak sedikitpun... Saat itu, berbekal logika saya bahwa titel saya adalah pemain penjaganya gawang, saya tidak ikut-ikutan main tendang-tendangan di tengah lapangan. Saya tetap setia berdiri di depan keeper. Ngapain? Ya, ngejaga gawang dong! Bagaimana nasib garis belakang tim saya dan juga gawang saya kalau saya ikut-ikutan lari ke tengah lapangan? Bagaimana kalau ada bola yang bergulir ke depan gawang tanpa saya ada disitu? Hayo?! Tapi, karena selama permainan, bola itu gak pernah beranjak dari tengah lapangan, otomatis selama permainan itu pula saya berdiri bete di depan gawang. Bersama si keeper, tentu saja. Selesai main bola, ada teman laki-laki yang bercerita kepada saya bahwa menurut kedua guru OR, yang selama permainan memantau dari pinggir lapangan, saya tidak bakat main bola. What a revelation! Sejak hari pertama saya main bola beneran itu, saya tidak pernah main bola lagi sampai…
…sampai kelas tiga SMP. Waktu itu guru OR saya pun tiba-tiba punya ide untuk bermain bola resmi pada jam OR. Pada minggu pertama, hari pertama, satu kelas saya dibagi dua tanpa memandang jender dan jumlah pemain. Alhasil selama permainan, hanya anak laki-laki yang aktif dan niat bermain bola, sementara yang perempuan hanya basi-basi lari-lari kecil sambil cengegesan. Boro-boro mau rebutan bola! Paling banter jejeritan ngasih semangat pada teman laki-laki satu tim. Hebat kan, seorang pemain bisa nyambi jadi supporter??? Hari pertama main bola itu saya disuruh jadi penjaga gawang beneran. Goal keeper. Mungkin karena tampang dan jidat saya yang seakan-akan bertuliskan ‘jangan harap gue mau kejar-kejar bola’ dan karena badan saya yang kurus kerempeng tanpa tenaga untuk bisa mengejar-ngejar bola keliling lapangan. Sebagai penjaga gawang, saya setia berdiri ditengah gawang. Tapi karena kasihan pada saya, beberapa teman laki-laki ditugaskan untuk menemani saya berdiri bersebelahan menjaga gawang. Hasilnya, gawang saya anti bocor...
Karena kegagalan permainan bola hari pertama, guru OR saya mengubah taktik. Pada hari kedua, tim bolanya dibagi berdasarkan jender. Saya, walopun berambut cepak satu senti, tetap kebagian di tim perempuan. Berdasarkan kecemerlangan saya menjaga gawang pada hari sebelumnya, kali ini pun saya kembali ditugaskan menjadi keeper. Permainan kali ini lebih mendingan daripada permainan teman-teman perempuan saya waktu SD. Permainan kali ini lebih menyerupai permainan bola beneran. Bolanya pun berhasil dibuat menggelinding kesana kemari walau jerit-menjerit tetap terdengar. Saya sendiri paling anti menjerit. Nehi! Kalau teriak itu lain perkara.
Eniwei, walaupun sendirian menjaga gawang, saya tetap setia berdiri ditengah-tengah gawang. Beberapa kali si bola menggelinding menuju kearah gawang saya. Tapi karena para pemain tidak mengerti bagaimana caranya menendang bola sehingga MASUK ke gawang, gawang saya pun tetap aman. Sampai... sampai teman saya dari tim musuh, teman saya yang paling besar dan paling kekar secara dia itu karateka ban hitam andalan Jakarta Timur datang berlari menggiring bola ke arah gawang saya. Setelah sukses menyingkirkan kawan satu tim saya yang menghalangi larinya, dia pun berancang-ancang (secara profesional) hendak menendang bola ke gawang saya dari jarak beberapa meter! Apa yang saya lakukan? Tentu saja saya tidak mau mati konyol. Kalau ada orang sebesar dan sekuat dia ingin memasukkan bola ke gawang saya... ya silahkan. Saya ta’ minggir dulu ke tempat aman sebentar. Begitu saja kok repot.
Lulus SMP, saya tidak pernah nekat main bola lagi. Iseng ataupun serius. Saya juga tidak mau nekat jadi komentator bola. Lah, saya gak ngerti apapun tentang bola kok?! Saya sih masih bisa menikmati pertandingan bola antar negara -bukan antar klub- karena pertandingan antar negara masih ada faktor-faktor lain selain teknis. Lah, saya mana tahu tentang teknis perbolaan? Saya ogah disuruh komen ini itu baik iseng-iseng maupun sok-sokan soal bola. Apa jadinya dunia perbolaan kalau orang tak tahu ilmu bola macam saya ikut mangap koar-koar tentang bola??? Kan katanya having no knowledge is dangerous. But having little knowledge (but pretending to have much) is more dangerous.
Eh, itu sih bukan cuma soal bola doang ya? Ya sudahlah. Kalau tak tahu, lebih baik mingkem saja.