Rasa bingung saya berubah jadi geli ketika melewati seruas jalan di daerah Bekasi. Pagi itu (kayaknya, lebih pantes dibilang SHUBUH itu dey), saya nangkring diboncengannya Papap. Kudu berangkat pagi, eh, subuh-subuh karena ada ultimatum dari kumendan bahwasanya saya kudu sampe di kantor sebelum ayam jago berkokok.
Padahal saya biasanya pergi ngantor pas ayam jago tidur siang, bo! Eniwei, hari itu, saya berangkat pagi, eh, subuh.
Demi menghindari kemacetan luar biasa serta rasa kantuk yang lebih luar biasa lagi, saya rela dibonceng Papap dengan Bebek odong-odongnya selama 1.5 jam perjalanan daripada nyupir kuda sendiri ke kantor. Lalu kami pun melewati jalan yang gak biasanya saya lewati. Jelas, motor kan gak bisa lewat jalan tol... at least not in Indonesia, and not his kind of motor deh.
Karena tidak merasa kenal dengan alam sekitar, mata saya pun jelalatan mencari papan iklan toko-toko disepanjang jalan itu. Saya mau baca alamatnya. Jalan apa sih ini?
Satu toko akhirnya memberikan alamatnya dengan jelas: Jalan Jatimekar. Oooh, pikir saya, disini tuh Jatimekar tho. Saya pun kembali meluruskan pandangan. Kembali menatap belakangnya batok helm si Papap.
Hanya beberapa meter kemudian, jalannya motor kembali tersendat. Saya menoleh dan tak sengaja membaca papan nama yang lain: Jalan Raya Bogor. HAH?! Jalan Raya Bogor? INI JALAN RAYA BOGOR??? Belum sempet kagetnya hilang, beberapa meter kemudian papan nama yang lain, di ruas jalan yang sama, bertuliskan: Jalan Pondok Gede.
"..........????"
Saya pun mencolek Papap, "Beh, ini dimana sih? Ini jalan apa?"
Yang dijawab Papap, "umengaelgno."
Oh, iya, lupa. Dia kan pake helm isi bantal plus penutup mulut dari gorden. Saya pun berusaha mencari sendiri informasi yang benar. Ternyata seruas jalan itu mempunya nama jalan yang berbeda-beda walau jaraknya hanya semeter-dua. Gak tau deh gimana caranya Pak Pos bisa menemukan si Who di Where. Kalo udah begini, saya nyanyiin aja lagu TK-nya Hikari jaman di Honjo dulu, "Yubingya-san, itsumo, arigatoooooo." (baca: Mr. Postman, thank you, always).
Cerita sepenggal jalan yang punya multi nama itu mengingatkan saya pada pengalaman saya dulu. Juga soal nama jalan, walau beda kasus.
Waktu itu saya sedang berada di salah satu bank besar di Jakarta. Saya lupa apa kepentingannya, tapi saat itu saya harus menyebutkan data diri saya ke seorang Mbak-Resepsionis-Cantik-Tapi-Tak-Pernah-Senyum. Dia sibuk menuliskan data diri saya di selembar kertas resmi.
Kenapa juga dia gak suruh saya tulis sendiri ya?"Nama?" tanyanya sambil terus menunduk.
"xxxxx," jawab saya.
"Alamat?" masih menunduk. "Jalan?"
"Mars," jawab saya kalem.
"JaLANNN?"
"Jalan? Mars."
Dia mengangkat muka. "Rumah EMBAK, JALAN apa?!"
"Jalan MAAARRRSSS." Gile, emang dia aja yang bisa pake nada sopran?
Eh, dia melotot. "Alamat yang benar, Mbak!"
"RUMAH SAYA di JALAN MARS!"
Setengah gak percaya dia menulis di kertas lagi. Sambil melototin saya tentunya.
"Lengkapnya?"
"Jalan Mars Komplek Angkasa."
Pada saat ini dia meletakkan pulpennya di meja. Sampai pulang saya tidak tahu kenapa dia bisa sesadis itu sama saya. Untungnya pada saat kejadian saya datang bersama seorang teman, yang diperjalanan pulang memberi pencerahan, "elu juga sih punya rumah di jalan begitu komplek begitu. Dia pikir elu kan becanda aja!"
Yah?!
Kebayang gak sih kalo orang-orang dari jalan berikut ini melamar pekerjaan, misalnya.
"Alamat?"
"Jalan Dogol."
".... Kamu baru ngelamar kerjaan aja udah berani ngebanyol ya...."
Nah lo!
catatan: Jalan Dogol benar ada di Jakarta Pusat, seperti juga Jalan Jendul di Jatiasih, Bekasi dan Jalan Haji Pitak di Bekasi (lupa, selatan timur barat utaranya). Punya nama jalan yang lebih ancur lagi?