Gelap Bukan Berarti Gelap
Sunday, February 24, 2008 by Mariskova
Hari Kamis itu, seperti biasa, saya selesai nguli jam 7 malam. Di kantor, kolega-kolega saya sedang ribut menelpon. Isi pembicaraan mereka hanya satu: Di rumah mati lampu gak?
Ternyata hari itu memang hari mati lampu sedunia. Eh, nggak deh, se-Jawa Bali, katanya. Saya sih gak ikut-ikutan menelpon. Bukan karena tidak kuatir tentang padamnya lampu di rumah, tapi karena saya gak punya sisa pulsa di HP.
Perjalanan pulang saya memang agak-agak 'menantang' secara lampu lalu lintas yang saya lalui mati semua. Sepanjang jalan saya menandai daerah yang saya lalui. 80% memang benar-benar mati lampu walau ada beberapa daerah yang beruntung tidak kena pemadaman. Ini mungkin ada urusannya dengan besar kecilnya amalan seseorang...
Sampai di pintu keluar tol Jatiasih, hati saya mulai ikut padam bersamaan dengan gelap gulitanya desa Jatiasih. Saya masih harus nyupir di jalan desa sejauh 7 kilometer lagi untuk bisa sampai di rumah. Namanya juga jalan desa yang punya moto 'lampu jalan itu gak penting', begitu lampu rumah-rumah di sepanjang jalan padam, dunia jadi gelap gulita. Yang saya bayangkan adalah kesepian dalam kegelapan. Setidaknya, itu yang terjadi pada jaman dulu saya masih tinggal di Halim. Begitu lampu mati, mati juga denyut kehidupan manusia satu komplek. Lah, gak ada mati lampu aja, denyut manusia di Halim jarang bisa dirasa begitu bulan sudah menggantikan matahari.
Sambil menyupir saya bernostalgia mengingat kehidupan saya di periode Halim. Kalau gelap kan, realitas sekitar sudah gak keliatan lagi. Belum lagi jalan satu kilometer, saya harus menginjak rem hingga berdecit-decit.
Dodol surodol!!!
Dari depan, belakang, kanan, dan kiri mobil saya, motor-motor berhamburan memenuhi jalanan. Dan, 50% dari motor-motor ini tidak menyalakan lampu!
Ternyata bukan hanya saya yang sakit jantung melihat laler-laler ijo itu bertebaran di jalan. Mobil-mobil lain yang senasib dengan saya juga berjalan pelan, membunyikan klakson tiap 2 meter, dan menyalakan lampu jauh berulang kali. Yang lebih mengerikan lagi, motor-motor itu juga dinaiki satu keluarga dengan anak kecil! Rupanya saat-saat lampu padam seperti itu mereka malah memanfaatkannya untuk jalan-jalan malam!!!
Sampai di rumah, saya merepet panjang lebar tentang kelakuan para pemilik motor itu.
"Bukannya duduk diam di rumah, malah bawa anak jalan-jalan pas lampu mati. Gak tau bahaya apa?!" omel saya.
Pembantu saya tiba-tiba nyeletuk sambil mesem-mesem. "Kan lampu mati, Mbak. Jadi gak bisa nonton TV. Mendingan jalan-jalan naik motor... hehehehe..."
Kalau bukan karena celetukan pembantu, saya sampai sekarang pasti tidak mengerti logika dibalik peristiwa fantastis hari Kamis malam itu.
Ternyata hari itu memang hari mati lampu sedunia. Eh, nggak deh, se-Jawa Bali, katanya. Saya sih gak ikut-ikutan menelpon. Bukan karena tidak kuatir tentang padamnya lampu di rumah, tapi karena saya gak punya sisa pulsa di HP.
Perjalanan pulang saya memang agak-agak 'menantang' secara lampu lalu lintas yang saya lalui mati semua. Sepanjang jalan saya menandai daerah yang saya lalui. 80% memang benar-benar mati lampu walau ada beberapa daerah yang beruntung tidak kena pemadaman. Ini mungkin ada urusannya dengan besar kecilnya amalan seseorang...
Sampai di pintu keluar tol Jatiasih, hati saya mulai ikut padam bersamaan dengan gelap gulitanya desa Jatiasih. Saya masih harus nyupir di jalan desa sejauh 7 kilometer lagi untuk bisa sampai di rumah. Namanya juga jalan desa yang punya moto 'lampu jalan itu gak penting', begitu lampu rumah-rumah di sepanjang jalan padam, dunia jadi gelap gulita. Yang saya bayangkan adalah kesepian dalam kegelapan. Setidaknya, itu yang terjadi pada jaman dulu saya masih tinggal di Halim. Begitu lampu mati, mati juga denyut kehidupan manusia satu komplek. Lah, gak ada mati lampu aja, denyut manusia di Halim jarang bisa dirasa begitu bulan sudah menggantikan matahari.
Sambil menyupir saya bernostalgia mengingat kehidupan saya di periode Halim. Kalau gelap kan, realitas sekitar sudah gak keliatan lagi. Belum lagi jalan satu kilometer, saya harus menginjak rem hingga berdecit-decit.
Dodol surodol!!!
Dari depan, belakang, kanan, dan kiri mobil saya, motor-motor berhamburan memenuhi jalanan. Dan, 50% dari motor-motor ini tidak menyalakan lampu!
Ternyata bukan hanya saya yang sakit jantung melihat laler-laler ijo itu bertebaran di jalan. Mobil-mobil lain yang senasib dengan saya juga berjalan pelan, membunyikan klakson tiap 2 meter, dan menyalakan lampu jauh berulang kali. Yang lebih mengerikan lagi, motor-motor itu juga dinaiki satu keluarga dengan anak kecil! Rupanya saat-saat lampu padam seperti itu mereka malah memanfaatkannya untuk jalan-jalan malam!!!
Sampai di rumah, saya merepet panjang lebar tentang kelakuan para pemilik motor itu.
"Bukannya duduk diam di rumah, malah bawa anak jalan-jalan pas lampu mati. Gak tau bahaya apa?!" omel saya.
Pembantu saya tiba-tiba nyeletuk sambil mesem-mesem. "Kan lampu mati, Mbak. Jadi gak bisa nonton TV. Mendingan jalan-jalan naik motor... hehehehe..."
Kalau bukan karena celetukan pembantu, saya sampai sekarang pasti tidak mengerti logika dibalik peristiwa fantastis hari Kamis malam itu.
Gw bingung deh ya dgn nagri tercinta ... makin tahun ngga ada perbaikan itu ya di bidang listrik. Dan aduh iya, paling deg2an kalau mobil deket2 dgn motor yang isinya sekeluarga gitu.
Mati lampu emang paling sering di Indonesia kayaknya hehe.. Saya senyum2 sendiri baca ceritanya. Salam kenal ya..
iya mbak, dikiranya kita ini superman semua gitu, punya mata infra red
ga pake lampu, ga pake helm, suara knalpotnya kayak traktor, mo nimpuk eh bawa anak kecil :(
@Iway: hahahaha... komen terakhir itu emang dalem banget. "mau nimpuk, eh, bawa anak kecil!"
hahahahaha... you did sound my feeling, Mas'e!