Generasi Hikari
Friday, February 01, 2008 by Mariskova
Bapak itu berseru-seru lantang. Marah. Menunjuk-nunjuk muka si Supervisor. Dia merasa terhina karena anaknya (kelas 4 SD di sekolah mahal di Jakarta) diberi surat pemberitahuan Belum Membayar Biaya Kursus selama 1 bulan sehingga harus Kehilangan Tempat Kursus kepada Peserta yang Sudah lebih dulu Membayar.
Si Supervisor, walau kelihatan menahan emosi, melayani dengan sabar dan santun. Satu jam penuh!
Didengarkannya semua emosi si Bapak, dari yang sedikit masuk akal sampai yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi, si Bapak tidak mau tahu! Anaknya harus tetap kursus di jam yang dia mau!
"Saya sanggup bayar dua kali lipat!"
"Saya hanya salah sedikit kenapa diberi peringatan seperti ini?!"
"Anda mendapat suap dari orang tua yang lain ya?!"
"Saya ini wartawan!"
Kali lain, seorang Ibu juga memaki-maki petugas lain. Persoalannya kurang lebih sama: si Ibu bertanya kenapa nama anaknya tidak ada di papan pengumuman kenaikan kelas. Ketika dijawab bahwa si anak belum ikut ujian, si Ibu marah dan tidak percaya. Menuduh si petugas berbohong.
Bukti diberikan. Bukannya menerima bukti, si Ibu malah lebih marah lagi. Menuduh si petugas lalai tidak memberi tahu jadwal ujian (yang diberikan ke ortu melalui surat) kepada anaknya. Dia lalu menuntut anaknya diuji hari itu juga! Dan hasil tesnya keluar hari itu juga!
Iming-iming uang, rayuan kencang, sampai memuntahkan emosi yang tidak pada tempatnya.
Bila satu tahun ada 365 hari, kejadian seperti tadi bisa berjumlah setengahnya.
Seorang pengajar melintas di depan saya sambil bergumam pelan, "hal begini ini yang membuat guru malas mengajar. Orang tua yang model mereka!"
Saya tidak menjawab. Saya hanya mengelus dada.
Kami, para guru, berusaha mati-matian mendidik anak-anak ini. Menjaga moral dan manner mereka. Sayangnya anak-anak ini mendapat contoh yang paling dekat dengan mereka. Moral dan Manner orang tua mereka sendiri.
Dan, produk dari orang tua model begini adalah generasinya Hikari...
Si Supervisor, walau kelihatan menahan emosi, melayani dengan sabar dan santun. Satu jam penuh!
Didengarkannya semua emosi si Bapak, dari yang sedikit masuk akal sampai yang tidak masuk akal sama sekali. Tapi, si Bapak tidak mau tahu! Anaknya harus tetap kursus di jam yang dia mau!
"Saya sanggup bayar dua kali lipat!"
"Saya hanya salah sedikit kenapa diberi peringatan seperti ini?!"
"Anda mendapat suap dari orang tua yang lain ya?!"
"Saya ini wartawan!"
Kali lain, seorang Ibu juga memaki-maki petugas lain. Persoalannya kurang lebih sama: si Ibu bertanya kenapa nama anaknya tidak ada di papan pengumuman kenaikan kelas. Ketika dijawab bahwa si anak belum ikut ujian, si Ibu marah dan tidak percaya. Menuduh si petugas berbohong.
Bukti diberikan. Bukannya menerima bukti, si Ibu malah lebih marah lagi. Menuduh si petugas lalai tidak memberi tahu jadwal ujian (yang diberikan ke ortu melalui surat) kepada anaknya. Dia lalu menuntut anaknya diuji hari itu juga! Dan hasil tesnya keluar hari itu juga!
Iming-iming uang, rayuan kencang, sampai memuntahkan emosi yang tidak pada tempatnya.
Bila satu tahun ada 365 hari, kejadian seperti tadi bisa berjumlah setengahnya.
Seorang pengajar melintas di depan saya sambil bergumam pelan, "hal begini ini yang membuat guru malas mengajar. Orang tua yang model mereka!"
Saya tidak menjawab. Saya hanya mengelus dada.
Kami, para guru, berusaha mati-matian mendidik anak-anak ini. Menjaga moral dan manner mereka. Sayangnya anak-anak ini mendapat contoh yang paling dekat dengan mereka. Moral dan Manner orang tua mereka sendiri.
Dan, produk dari orang tua model begini adalah generasinya Hikari...
pengumuman yang sebaiknya dipasang :
PENERIMAAN MURID BARU
UJIAN KELAKUAN ORANG TUA CALON MURID BARU AKAN DIADAKAN PADA :
bagaimana?
@Pak Dhe Mbilung: Good idea! Sekalian psikotes kali ya.