What's in the name

Jogja earthquake teaches me a lesson. It's a simple lesson, simpler than the one learned by the victims of the earthquake. The lesson is about the importance of remembering names and places. Exactly the thing I failed to do before.

It happened like this...
When I learned about the quake (quite late) from the local TV, I went panicky. I tried to call my parents in Jakarta but with no avail. The line seemed jammed. I was not that worried about my parents because they are in Jakarta, but I was worried about my grandparents and my extended family living in Jogja-Prambanan-Klaten. My grandparents live in Jakarta (together with their 10 children, 10 in-laws, 20-something grandchildren), but they have a house and a farm back there in a small village in Klaten. Also, their relatives -my distant cousins, uncles, aunts- live scatteredly in Jogja, Prambanan, and Klaten. When the telephone line didn't seem to work, I was even more worried. I kept thinking about my relatives, and what if my grandparents were in their house in Klaten?! The figure in the news kept raising: from hundreds to thousands...

While waiting for some news from Jakarta, I tried to find some information from some friends. And a very kind friend offered to get me some info about my family (thank you so much Pak!). He then asked me about the names and villages of my relatives. That hit me for more than a minute: I was not sure to give him the names or even the villages for I DON'T REMEMBER THEIR COMPLETE NAMES and the names of their villages! What a fool! So fool!!! Now, how am I supposed to know how they are?!
I am one of those people who call my family by nicknames, and I often don't bother to remember where they work or what their positition (posisition/rank is a very important thing to remember if your family is a group of Army, Navy, Air Force, Police Dept combined together!). I'm also used to calling the parents of my distant cousins as Pakde/Bude+name of the children. I don't even know the full names of most of my cousins! To make it worse in this case, I don't remember the name of my grandparents' village (My mom's and my village! Our hometown!!), neither do I remember the streets or areas where my relatives -Pakde, Bude, Sepupu- live! It's SO DUMB of me!!! What makes this even dumber is my mom always reminds me of this thing, but I just didn't seem to absorb the information. I thought if I knew where it was (because I went there several times), it was enough. And now, I realize, the hard way, it is not enough!
Guys, please don't do what I've done...

news coming later from my mom: Alhamdulillah, my family are fine. Of course houses and buildings are wreck, but it is nothing compared to the fact that they are okay. Alhamdulillah.

**My deep condolences to the victims and their families. May God bless you**

Jogjakarta Earthquake

My deep condolences
for the people

Powerful earthquake rocks Indonesia's Java island, killing at least 2,500
Indonesia struck by catastrophic quake
Indonesia quake toll passes 3,000

Kutukan untuk Pembaca Buku


Gara-gara nenek Fitri membeberkan kekecewaan jiwanya setelah menonton film Da Vinci Code (pake embel-embel 'seorang Tom Hanks pun tak mampu meyembuhkan rasa kecewanya'), paranoid saya terhadap film yang berasal dari buku pun kumat lagi. Dari sekian banyak film jenis ini, belum ada satupun yang mampu menyaingi ke-maksimal-an imajinasi penulis bukunya dan bahkan pembacanya.
Coba lihat, dua saja...
Harry Potter: Setelah menonton film pertamanya, saya langsung berpikir pemain Harry dan Hermione lebih cakep dari gambaran saya sebelumnya. Sebaliknya pemain Ron dan, terutama, Sirius Black jagowan saya itu jauh lebih jelek dari imajinasi saya. Tulung deh, JKR aja menulis bahwa si Sirius ini ganteng. Apakah selera JKR tentang kegantengan itu seperti Gary Oldman? Hmm... saya kecewa! Lalu, sosok Dumbledore pun kurang fantastik. Yang sedikit mengurangi penderitaan menonton film ini adalah indahnya penggambaran feature-feature lain (apa sih istilahnya?) seperti istananya, sapu terbangnya, dsb.

In Her Shoes: Weleh, filmnya bener-bener gak ada sepersekiannya si buku. Really not worth explaining.

Dan begitu juga film-film yang lain yang setelah lebih dulu membaca bukunya lalu filmnya terasa... hambar. Bahkan film-film adaptasi dari novel-novel Agatha Christie (yang saya cinta) juga terasa kurang, terutama pada sosok legendaris Miss Marple dan Poirot. Kalau sudah begini, rasa kecewa para pembaca buku yang menonton film saya sebut sebagai kutukan bagi para pembaca buku. Padahal, imajinasi kan milik pribadi, dan setiap pribadi unik adanya. Siapa yang bisa menyuruh si pembuat film mempunyai imajinasi sama dengan saya? *manyun*

Sementara itu, saya juga punya daftar film-film yang bukunya belum mampu saya baca sampai habis, seperti LOTR (seperempat buku dan belum nambah), Vanity Fair (setengah buku lalu kecapaian), the chronicles of Narnia (belum kepingin baca). Sejauh ini, saya tidak punya kekecewaan berlebih pada film-film yang bukunya belum saya baca itu. Mungkin karena di awal film saya tidak punya pengharapan akan kesamaan visi? *halahhh...*

Kemudian, ada juga buku-buku yang saya pikir sebaiknya tidak perlu ada filmnya, seperti The Alchemist dan the Rule of Four (Fit, udah baca? Bagusss!!!). Saya takut akan hasil filmnya. Bagaimana dengan Da Vinci Code? Saya belum nonton. Apakah sebaiknya tak perlu ditonton saja? *mikir* Saat ini pun saya sedang menimbang apakah lebih baik membaca atau menonton the Notebook?

Betapa indahnya dunia anak saya. Baik film maupun buku The Pooh tak pernah mengecewakannya.

To Perm or Not To Perm

If a hair grows one milimeter each day, why has my hair become this long already?
It's only been three months and I already need another hair cut.
On the other hand, I could just let it grow longer so then... I can straighten it. PERM, is the right word, right?

Okay, why would I want my hair permed?
Let's see...
1. My hair is not straight. It's wavy as in curly as in wavy-plus-curly.
2. Wavy means messy.
3. Wavy hair is irregular. It doesn't seem to know which way it wants to face. 'Inside or Outside?' 'Don't know. Which way is the wind blowing?"
4. Straight hair is easy to manage. It seems to know where it is going: down.
5. Wavy hair needs hairdrier so that it won't be so... wavy.
6. With straight hair, the hairdresser can cut it shaggy style, spiky, straight-but-curly-in-the-end, all kinds of hairstyle.
7. With wavy hair, you can only get one style: wavy.
8. Most hairstylists do fine with straight hair.
9. Hairstylists and wavy hair are not friends.
10. Most Japanese have straight hair.

... to perm or not to perm... that's the question...

Famous by Mistake

Apa yang akan kamu lakukan kalau tiba-tiba kamu di'seret' masuk ke studio TV yang siaran secara LIVE dan diwawancara secara LANGSUNG karena kamu DISANGKA sebagai narasumber?
-- Angkat tangan dan langsung menghentikan siaran dengan mengaku salah orang? (Eits, ini siaran langsung!)
-- Pura-pura jadi si narasumber? (Memang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan si pewawancara?)
-- Histeris dan nangis kejer? (Hmm.... *garuk-garuk kepala*)

Yang pasti, apapun yang terjadi kamu akan langsung ngetop! Seperti orang bernama Guy Goma ini.
Imigran asal Congo yang bekerja sebagai supir taksi di Inggris ini sedang berada di kantor BBC untuk wawancara pekerjaan. Pada saat yang sama, BBC News 24 sedang menunggu narasumber bernama Guy Kewney (kulit putih), editor Newswireless.net, yang akan diwawancara tentang kasus pengadilan Apple vs Apple, seperti yang dituliskan disini.
Sumpah, lucu banget tampang si Goma ini waktu dia sadar si pewawancaranya udah salah orang. Kalau mau lihat kejadiannya, klik ini ajah. Bagaimana kabar Guy Goma selanjutnya? Jelas dia langsung ngetop. Kalo kita nyari di Uncle Google aja ada 189,000 return! Tapi, apakah dia akan mendapatkan pekerjaan yang dia apply di BBC? Saya masih belum dapat kabarnya...

Buntelan Pembawa Jiwa

*updated*

Ngoprek isi tas orang memang mengasyikkan, apalagi kalo bisa dikomentarin.
"Gila lu, meja makan dibawa-bawa di tas?!"
"Yah, dari pada jajan dijalan..."

Juga akan lebih menyenangkan kalo bisa disindir.
"Tas lo gede amat. Bawa apaan sih?"
"Lemari baju."
"Gak sekalian tempat tidur?"
"Tempat tidur ada di kantong depan nih."

Terkadang, malah isi tas seseorang sering dibuat ngiri.
"Kecil banget sih tasnya. Bawa apa aja?"
"Dompet."
"Trus?"
"Duit. Di dalam dompet."
"Itu aja? Cukup cuma bawa dompet? Kalau laper gimana?"
"Beli makanan."
"Kalau keringetan?"
"Beli tissue."
"Kalau kehujanan?"
"Beli payung."
"Masa' beli ini itu melulu?"
"Iya lah. Beli aja. Jangan kayak orang susah."

Si Mia di Saitama (lah kok gue bawa-bawa Mia?) dan Si Bibip di Nagaoka adalah contoh orang-orang yang dikomentarin orang laen karena isi tasnya yang menggembung (ini menurut pengakuan keduanya yang dilegalkan di dalam blog masing-masing). Si Bibip malah ngasih gue PR buat mengoprek tas gue dan memamerkannya ke khalayak umum (jadi PR gue ada brapa sih?, Bip). So, begini lah isi tas gue. Silahkan dikomentari, atau malah disindir bila perlu. Tapi kayaknya sih, gak ada yang bisa dibuat ngiri...

Tas gue yang kecil warna coklat itu. Bisa diselempangin di pundak atau dilingkari di pinggang. Boleh beli di Odaiba karena ada bantingan harga dari tokonya. Kalo gak ada bantingan harga itu, gak bakal kebeli deh sama gue. Tinggal satu pula dan berada dipaling bawah tumpukan tas-tas lain. Itu juga gak sengaja gue iseng dengan gigih (iseng kok gigih?) mengoprek tumpukan tas-tas diskon yang lain sebelum menemukan harta terpendam aka tas coklat tadi. Lah, kok, jadi ngomongin itu???

Isinya dompet (ini juga boleh beli banting-bantingan harga) yang belum tentu setiap hari ada duitnya, tergantung tanggal 'gajian'. Trus, tissue kering dan tissue basah. Pulpen. Buku planner kecil dan electronic dictionary. Gak ada kamera, karena kamera gue lebih gede dari tas gue. Dari jaman dulu, yang harus ada di tas gue adalah dompet -yang kalo hilang bakal bikin gue meratap 7 abad karena semua-mua ada disitu-, dan tissue. Gue gak bisa lepas dari tissue, selain karena mengidap alergi akut pada sekitar yang bikin gue sering bersin or pilek, gue juga paranoid sama kotoran. Kalo di Jakarta, electronic dictionary diganti oleh HP, yang bikin gue gak perlu bawa-bawa buku planner lagi :) Disini, gue gak perlu HP. Ngapain gitu looohhh, secara gue gak pernah terpisah jauh dari Papap...

Dari dulu juga, tas gue selalu kecil-kecil n berselempang. Gue paling males pake tas yang dijinjing-jinjing. Tapiii... kalo gue ngantor di kantor yang entu, walopun gue pake tas kecil, dua tangan gue ini pasti menjinjing tas lain yang besuuaaarrr supaya bisa memuat tempat pensil raksasa, buku, buku, buku, buku, buku, buku, kamus, kamus, dan peer murid-murid. Enaknya, di Jakarta sana, nenteng tas berat-berat itu cuma dari mobil ke ruangan gue dan sebaliknya.
Oh, iya, waktu Hikari umur 2 tahun kebawah, gue juga bawa gembolan besar lainnya, yang isinya perlengkapan bayi. Tas perlengkapan bayi ini kalau diuji coba pada keadaan darurat, bisa untuk melengkapi 50 orang bayi lain, atau untuk bertahan hidup di bawah tanah selama sebulan!

Sekarang ini, tas perlengkapan bayi udah gak dibawa. Lah, Hikari udah bukan bayi lagi dan susunya bisa beli di combini, vending machine, supa, dimana saja, selama gue berjalan-jalan di Jepang(!). Hanya saja, kalau kita bertiga sedang berjalan-jalan keluar kota Honjo, sebagai orang yang berprinsip apapun-bisa-terjadi-dimanapun-dan-kapanpun, gue selalu melengkapi Papap dengan tas ransel yang gue beli sesaat sebelum pindah ke Jepang. Jadilah Papap akan membawa ransel berisi tissue kering beberapa pak, tissue basah kemasan besar, sedotan beberapa biji, saos sambal sachet beberapa biji, baju ganti Hikari (lengkap, dalam dan luar), selimut Hikari, snack Hikari, minyak kayu putih, sajadah lipat kecil, kompas Shalat, dan kalau masih ada sisa tempat: kamera yang gak kecil itu. Gue sendiri, tetap dengan tas kecil gue.

Sekarang, gue kudu ngelempar ke siapa ya? Pengen tau isi tasnya cowok tapi kalo gue lempar tag ini ke Pak De Mbilung kok kayaknya kurang ajar banget ngerjain orang tua (*kabur*). Gue lempar ke Kenny aja lah. Katanya lagi kurang kerjaan, Ken...

*updated* Si Neng Kenny setelah menyelesaikan peernya, malah balik nanya isi DOMPET gue. Ta'elaaa.. kalo dompet gue disini sih isinya cuma duit (yang semakin menipis bila tanggal semakin tua), kartu makhluk luar angkasa (alien registration card), dan kartu-kartu diskon (supa, toko baju, toko mainan, toko elektronik, dll). Trus, ada kartu-kartu nama (disini penting banget bawa-bawa kartu nama) dan secarik kertas berisi nomer telpon orang-orang. Kertas ini penting karena kalo ada apa-apa yang memerlukan berbahasa Jepang yang baik dan benar, gue tinggal nelpon nomer telpon Sensei gue, ato si ini ato si itu :) Gak ada SIM karena peraturan fellowshipnya Papap melarang nyetir kendaraan. Gak ada ATM or kartu kredit karena duit gue cuma segitu-gitunya hehehe.... Oh, ada foto juga. Foto Hikari. Itu pasti! Beda isi dompet sekarang dan dompet di Jakarta dulu cuma SIM, KTP, dan ATM/Credit Card. Sisanya, hampir sama, walopun rasanya jumlah lembaran duit jaman dulu lebih banyak hehehe... Eh, lupa. Dulu di dompet ada kartu nama bokap gue yang berguna buat masuk ke dalam komplek perumahan gue. Soale, tiap mobil diperiksa PM bo! Kalo bukan penghuni atau tidak berkepentingan masuk, silahkan keluar lagi...

Bu, Met Hari Ibu, Je!

Kata Ita, hari ini di belahan dunia yang sana sedang Hari Ibu. Di Jepang, Hari Ibu juga jatuh hari ini tanggal 14 May. Kok di Indonesia bisa beda gitu ya? Karena hari ini juga hari Minggu, jadwalnya kita belanja bahan makanan, kita pergi ke department store lokal yang selain punya supermarket juga punya section khusus untuk baju-baju dan aksesorisnya. Iiiiyyyy, satu depato itu sedang diskon menyambut hari Ibu. Hampir aja gelap mata, untungnya kebanyakan barang itu buat ibu-ibu yang diatas umur 40 :)

Mengenai ibu-ibu sendiri, ada satu hal tentang kaum ibu yang sering bikin gue ketawa-ketiwi. Sepemahaman gue, ibu-ibu selalu bangga sama anak-anaknya. Iya, bapak juga bangga lah sama anaknya, tapi ibu-ibu itu lebih ekspresif bangganya. Makanya ada 'pribahasa' yang mengatakan "Secakep-cakepnya anak orang, lebih cakep anak sendiri". Ini jelas berbeda dengan pribahasa yang dianut para suami yang berkata "Secakep-cakepnya istri orang, memang lebih cakep dari istri sendiri"...
Saking bangganya, para ibu akan selalu berbicara tentang anaknya dimanapun kapanpun dengan siapapun. Seringnya sih para ibu ini bukannya bermaksud pamer bahwa anaknya bisa ini itu, tapi lebih ke rasa suka cita bahwa anaknya udah bisa ini atau itu. Contohnya aja, gue pernah saking senengnya karena Hikari akhirnya bisa jalan, pada pembukaan meeting di kantor, gue nyeplos 'Eh, anakku kemarin jalan looohhhh' yang disambut dengan senyum pengertian nenek-nenek kolega gue.

Mengenai cara membanggakan anaknya, sepengamatan gue ada dua model ibu-ibu: Ibu-ibu yang bercerita tentang kehebatan anaknya, dan ibu-ibu yang bercerita tentang kekurangan anaknya. Eit, jangan salah, dengan nyeritain kekurangan anaknya si ibu ini bermaksud meninggikan mutu. Misal: Oalah, Jeng, kalau anak saya itu, gaaakkk pernah mau disuruh belajar. Malessssnya ampun-ampunan. Untuuuunggggg (sambil ngelus dada) aja, walaupun gak belajar nilainya tetap bagus dan juara kelas terus... -terinspirasi dari kisah nyata-

Yang paling asyik diamati adalah tingkah laku ibu-ibu baru, alias yang baru aja punya anak. Kalo ada dua aja ibu-ibu yang baru punya anak berkumpul, pasti yang diomongin itu bagaimana proses melahirkan. Apalagi kalo yang berkumpul lebih dari lima! Bisa jadi bahan satu novel itu! Semua bakal mengklaim kalo proses melahirkan dirinya lebih sakit dari yang lain hehehe.... Kalo anaknya udah berusia beberapa bulan, baru deh cerita ibu-ibu ini berganti menjadi yang hepi-hepi. Bisa-bisa semua mengklaim dirinya yang paling bahagia hahaha....

Gimana kalo gue? Untung gue udah kenal ngeblog! Jadi kalo gue mau cerita sebangga-bangganya gue sama anak gue di blog, gak ada yang ribut :)
Lalu apa sih kepengenan gue di Hari Ibu ini? Ah, walaupun seperti kata Fitri Mohan, jadi superwoman (or supermom) itu gak enak, I don't mind trying to. Gak perlu beneran jadi super, asal ada usaha mendekati sosok itu.
Kalo Papap, apa wish-nya? Paling-paling supaya gue gak berdandan-n-bergaya kayak ibu-ibu walopun gue udah ibu-ibu.
Pusing gak sih?!

Gelap Mata

Ceritanya, gue lagi ada perlu sama tempe. Masalahnya, tempe di rumah udah abis. Bukan cuma tempe sih, persediaan bumbu Indonesia juga menipis. Bawang merah, lengkuas, cabe ijo n merah, dll dsb. Karena kebutuhan tempe ini mendesak sekali, hari Sabtu ini kita rencanakan untuk bepergian ke Tokyo, kota dimana terdapat toko-toko Indonesia. Plusnya: Hikari udah sembuh. Kita sempet kuatir dia bakal muntah di jalan, tapi ternyata dia malah lebih semangat dibanding kita berdua yang masih teler berat akibat belum cukup tidur. Ini pasti gara-gara Hikari gak keluar-luar rumah selama 2 minggu, jadinya hari ini dia ceria banget walau masih pucet. Minusnya: prakiraan cuaca yang malamnya masih bertanda 'cloudy' ternyata pagi ini berganti 'raining'. Asli, hujan drizzling seharian-semalaman!

Berdasarkan petunjuk Pak De Mbilung dan berbekal 5x nelpon lewat HP ke temen plus beberapa sms, kita sampai juga ke Pasar Ameyoko, Okachimachi. Ternyata, Ameyoko Center-nya lebih deket kalo diakses lewat Ueno Eki loh Pak De. Disana, seperti pada penggambaran yang diberikan teman-teman tentang si pasar (Jalan terus sampai ke toko ikan, diseberang toko ikan ada gedung pasar, ada tangga kebawah, turun tangga, sampe deh. Si pasar persis pasar induk tapi lebih bersih, dll dll.), segala apa tentang Indonesia juga ada. Alhasil gue ngeborong kangkung, kacang panjang, pisang kepok, daun pandan, dan sebagainya dan sebagainya. Setelahnya, si Papap nanya, "Emang kamu mo masak apa sih?"
Hahahaha........ sumpah, gue gak tau mo diapain tuh kacang panjang n daun pandan. Secara gue gak pernah doyan juga kacang panjang, n gak pernah masak bubur ato kue yang memerlukan daun pandan. Hayaaaaaahhhhh....... ini namanya KALAP!

Tapi, gue gak jadi beli tempe disitu yang satunya 400 Yen seukuran postcard. Ternyata, Pak De, di Toko Indonesia yang di Okubo lebih murah: 3 tempe 1000! Barang-barang yang laen juga relatif lebih murah, walau gak jual sayur mayur. Kita juga bisa telpon tokonya dulu untuk ngecek barangnya ada ato gak. Bisa dikirim ke rumah, pula. Naah, kalau mau ke toko ini juga gampang. Turun di ShinOkubo Eki, keluar eki langsung belok kiri, jalan teruuuussss (gak tau berapa meter kan I don't do numbers), jangan nyebrang-nyebarang lah. Pas sampe di stasiun Okubo, persis di ujung belokan stasiun itu, beloklah kiri, trus segera belok kanan lagi ke jalan kecil. Ikuti jalan kecil itu sebentar, gak jauh ada gedung apato mungil. Toko itu dilantai satu. Ada tulisannya: Toko Indonesia. Moga-moga gak nyasar.

Knapa juga gue sampe nulis detil jalan kesitu? Kali aja ada orang Indonesia laen yang butuh kesituuu...

Oh iya, kelebihannya toko-toko Indonesia disini adalah tiap barang diberi nama. Jadi orang yang buta bumbu kayak gue gak bakal salah beli kunyit padahal mo beli lengkuas...

Belum Selesai...

Setelah sempat berhenti muntah, diare, dan demam selama 4 hari, Selasa ini Hikari sakit lagi. Muntah-muntah dan diare lagi. Untungnya (halahh... masih pake untung), gak ada demam. Dua hari dia muntah, diare, sakit perut, nausea, dan lemas lunglai. Pada hari kedua kejadian itu, gue curiga dengan susunya. Kok isi muntahnya susu semua? Hmmm... *mikir*
Mulai hari Rabu malam, susunya diberhentikan. Madu terus dicekokin karena gak tau harus ngasih apa lagi. Itu pun setelah nyari-nyari artikel tentang madu dan ketemu ini, yang katanya madu mampu menyembuhkan 'upset stomach'. Trus, gue balik duduk di kompie untuk mencari info lebih lanjut tentang si Kaze (Japanese) alias Stomach Flu (Bule-nese) alias Gastroenteritis (Medical-nese). Berdasarkan hasil browsing kesini, kita menunda ke dokter dengan alasan: Obat dokter hanya untuk demamnya. Lah, si Hikari kan gak demam. Lagipula, muntahnya ini mungkin disebabkan oleh susu (yang ternyata tidak boleh diberikan pada anak sakit Gastroenteritis ini).

Sudah 2 hari ini, Hikari sudah tidak muntah dan diare. Hanya beberapa kali mengeluh sakit perut aja. Madu masih dikasih, susu berhenti. Kayaknya efeknya lumayan sih. Cumaaaa... gue dan babenya sudah 4 hari gak tidur. Lagi!

Oke, buat ibu-bapak-tante-om, yang punya anak kecil terkena stomach flu ini, berikut beberapa hasil pengamatan kita:
1) Obat minum (oral) gak bekerja dengan baik pada kondisi anak demam diatas 38.5C. Termasuk obat penurun panas! Untuk itu, obat penurun panas harus diberikan lewat anus. Sumber: apoteker sini.
2) Muntah, diare, dan demam (dibawah 38.5C) itu sebenernya suatu proteksi yang digunakan badan anak untuk melawan penyakitnya. Ada standarnya muntah, diare, dan demam itu dianggap tidak normal lagi. Sumber: internet.
3) Muntah dan diare pada stomach flu akan berlangsung selama seminggu. Jadi, kalo si anak gak demam tinggi n gak dehidrasi, yaa... sabar-sabar aja menunggu seminggu (yeah, right). Kalo si anak dehidrasi dan demam tinggi baru ada tindakan dokter (dokter sini loh ya). Sumber: dokter sini.
4) Karena ini penyakit akibat virus, Antibiotik gak akan berguna!
5) Jangan minum susu. Makan sedikit aja dulu. Kalo banyak-banyak (walopun anaknya pengen), bakal bikin perutnya berontak lagi. Kalopun cuma mau minum, gak masalah (ternyata! kita baru tau disini setelah nyoba maksa Hikari makan). Asal gak dehidrasi aja! Sumber: gue dan papap. Percaya deh.

Kalo mau tau lebih jauh, silahkan dilirik kesini.

Pertanyaan selanjutnya: apakah seorang anak bisa terjangkit penyakit ini lebih dari sekali dalam hidupnya? IYA (memang nyebelin)! Apakah jangka waktu terjangkitnya bisa dalam waktu berdekatan? NAH, itu juga yang jadi pertanyaan kita sekarang...
*iihh...... gue teler berat*

Si Papap

Kawin dengan Papap itu enak (iya lah, kalo gak, mana gue mau?!). Papap itu gak cerewet dan jarang komentar. Kalo Papap lagi laper pengen makan mie instan, dia mau masak sendiri. Kalo masakan gue rada-rada gagal, gosong, keasinan, kemanisan, dsb, dia gak ribut n ngambek. Biasanya Papap cuma bilang, "no problemo, dipakein sambel juga beres" begitu. Papap juga mau turun tangan ngurusin Hikari dari lahirnya. Papap malah lebih dulu berani mandiin bayi Hikari dibanding gue. Papap pun kompak selalu dengan gue dalam mendidik Hikari. Misalnya gue bilang 'Gak Boleh' sama Hikari, Papap juga akan bilang hal yang sama. Walopun setelahnya, diam-diam, dia bakal nanya 'emang kenapa tadi gak boleh?'. Si Papap juga rela kalo dia pergi kerja tanpa disertai makan pagi n teh manis karena gue masih tidur pules, walopun hal ini bikin emak gue kebakaran jenggot. Yah, mo gimana lagi, mak. Jam kerja gue kan sama dengan kalong. Papap juga ringan tangan sama orang. Dia bawaannya kesian melulu sama orang lain. Semua maunya dibantuin, sampai kata bokap gue, bisa-bisa dia teler sendiri. Kalo tidur, Papap selalu rela bantal ato gulingnya diambil sama gue ato Hikari. Dia pasrah aja jadi objek penderitaan kita. Trus, Papap juga mau turun tangan ngebengkel betulin ini itu, walopun seperti kata Mama Mertua, Papap cuma bisa ngebongkar tapi belom tentu bisa ngebalikin lagi bendanya:(

Pernikahan dengan Papap juga tanpa hirarki: bahwa istri harus begini dan suami harus begitu. Gue disuruh mikir n sadar sendiri, katanya. Soalnya dia tau kalo gue ini tambeng, kalo dibilangin malah gak mo denger... Untuk soal rumah tangga begini, Papap mah enteng sajah. Yang penting khalayak ramai semua senang dan sejahtera. Paling-paling Eyang Uti gue yang sering nyepak gue karena gak manggil Papap dengan Mas, atau gak ngeladenin makan-minumnya.

Hidup dengan si Papap juga ceria terus walopun duit dikantong tipis selalu. Semua hal di hidup ini bisa dijadiin bahan ketawa sama Papap. Sepertinya Papap gak mau segala kesedihan dan kotoran di dunia mempengaruhi hidupnya sendiri. Tiap waktu Papap bisa ditemuin tengah ketawa-tawa n bercanda, kecuali kalo abis ketemu Profesornya. Ceria tapi gak cerewet, begitu lah Papap. Eh, Papap bisa cerewet kalo lagi nonton film deng. Setali dengan nyokap gue, kalo lagi nonton film Papap suka nanya mulu: Loh, kok dia mati? Matinya kenapa? Ditembak sama siapa? Ngapain juga dia berdiri disitu? Aaarrrggghhhh... Kebayang kan kalo lagi nonton film India yang 4 jam-an itu. Kalo Papap baru nonton pas tengah-tengahnya, bisa-bisa gue disuruh nyeritain adegan 2 jam pertama si film!!! Makanya kemarenan gue paksa Papap nonton Janji Joni yang ada adegan penonton telmi. Papap ketawa terkekeh-kekeh abis itu. Katanya, "mirip aku ya?"

Kenapa sih tiba-tiba gue nulis tentang Papap? Bukan karena baru sekarang gue sadar Papap itu ya begitu itu, tapi karena malam buta begini gue kepengen makan mie rebus dan gue jadi inget si Papap yang sering bangun malam-malam karena kelaparan trus bikin mie sendiri (mie bikinan Papap enak loh). Hmmm.... have I told you that I love you?

Oh, iya, si Papap juga gak minum kopi, minum alkohol, ngerokok, dan soda. Cuma sedikit teh dan banyak air putih. Suatu hari, selagi kita ngumpul-ngumpul dengan om-om gue yang peminum kopi, tehbotol, dan soda, serta merokok, om-om gue ini nawarin minuman dan rokoknya pada Papap.
Om 1: Kopi Ja?
Papap: Gak usah. Makasih.
Om 2: Teh? Cola?
Papap: Gak.
Om 3: Rokok?
Papap: Gak. Air putih aja.
Om 1+2+3 menatap Papap dalam-dalam lalu: Gue doain elu masuk surga, Ja. Soalnya kesian kalo gak. Nggak ngopi, enggak ngeteh, nggak ngerokok. Kesian kan kalo elu gak masuk surga?!

Mencari Kekuatan

Untuk Tante-tante dan Om-om serta teman-teman Hikari, terima kasih atas doa kesembuhannya Hikari. Hikari masih dikarantina dirumah sampai minggu depan. Masih sedikit kuyu dan pucat, serta nafsu makannya belum kembali, tapi secara keseluruhan ia sudah lebih sehat. Terima kasih banyak semuanya...

Saat Hikari sakit kemarin, sekali lagi terasa butuhnya 'kekuatan' tambahan dari luar diri sendiri. Tentu saja karena kekuatan dari diri sendiri sedang menipis. Sebagai perempuan biasa *hiyaaah*, bukan kali itu saja saya merasa membutuhkan suntikan kekuatan dari luar. Dan saya biasanya mendapatkan kekuatan itu dari orang-orang sekitar saya yang saya tahu, tidak harus yang saya kenal. Mengingat mereka, orang-orang ini, dan mengingat kondisi mereka serta bagaimana mereka meng-handle sesuatu selalu sukses mem-boost semangat juang saya, memberikan saya kekuatan menghadapi masalah saya sendiri.

Misalnya, saat-saat saya hampir gila karena mengerjakan pekerjaan rumah yang gak ada habisnya (oke, ini termasuk dramatisasi) sambil mendengarkan rengekan Hikari yang selalu always tidak pernah never, saya langsung melakukan refleksi. Gak jauh-jauh refleksinya, gak sampai harus pergi ke spa dan berpijat diri sampai sore, walaupun kalau bisa sih kenapa enggak?! Cara saya cukup duduk bersandar dan melayangkan pikiran sambil membatin, 'Si mpok-samurai-dapur ajah dengan anak batita dua (dua!), bisa selamat lahir batin tanpa cacat hanya karena ngepel, nyapu, ngurus rumah, dan bergumul dengan teriakan dua anak. Masa saya gak bisa? Anak cuma satu, rumah cuma secuil begini.' Biasanya setelah itu akal sehat saya datang kembali, beban terasa lebih ringan, gigi geligi dan geraham tak lagi menggerutukkan perasaan kesyal. Saya tak perlu curhat saat itu juga. Hanya dengan membayangkan bahwa saya lebih beruntung, biasanya kekuatan itu datang sendiri.

Ada kalanya juga saya hampir menyembur murka pada kulkas, wajan dan kompor karena merasa putus asa: wong gak bisa masak kok disuruh nyiapin menu makanan sebulan?! Belum lagi kalau ide memasak mentok, masakan gagal, makanan gak menyelerakan. Rasanya pengen lari ke restoran dan membajak koki disana. Pada saat-saat seperti ini saya mengingat cerita tante subur yang cuma bisa masakin mie instan untuk anak-anaknya selama beberapa tahun di negeri seberang. Saya mungkin hanya bisa masak 4 menu masakan, tapi toh lebih sehat dari mie instan. Detik itu juga saya merasa lebih waras sedikit.

Kemarin pun sewaktu saya sedang menangis bombay disebelah Hikari yang tertidur menggigil dan mengigau, saya teringat mami di kampung. Bagaimana si mami jungkir balik mengurus 3 anak balita yang umurnya berdekatan. Anak pertamanya (saya) penyakitan dari bayi, anak keduanya punya paru-paru basah, dan anak ketiganya punya alergi ini itu. Ah, si mami aja bisa, masa gue enggak? Begitu kira-kira hati kecil saya berbicara. Hmmm... sebenernya, begini ini hati kecil saya bicara...
Si Malaikat: Emak lu aja dulu bisa. Masa elu begini aja pake nangis kejer? Lah, elu cuma ngurusin anak satu begini. Emak dulu anaknya 3 bo!
Si Setan: Iya, emak lu emang anaknya tiga. Tapi asistennya juga 3!
Si Malaikat: Jangan dengerin tuh si setan. Bikin rusuh ajah. Mo gue bantuin tampol gak?
Kira-kira begitu dan akhirnya si Malaikat lah yang menang. Maka diantara tangis dan pergulatan batin, saya mendapatkan kekuatan untuk melalui cobaan itu.

Kalau kalian, darimana datangnya kekuatan itu? (Kalau dari Yang Di Atas, itu sudah pasti la yaw!)

When Hikari Gets Sick

Very early sunday morning, Papap told me that Hikari was a little feverish. I touched his forehead and told Papap that may be it was the runny nose and cough he had been suffering for a week, but they were not so serious. That morning, I still went to my Japanese class, but that day Papap and Hikari didn't pick me up after my class like what they usually did every Sunday. Papap didn't want Hikari to go outdoor. Three hours later when I returned home, Hikari's temperature was slightly higher but he was still cheerful. He ate a lot during lunch and then played with his things. Then we all took our nap.

We woke up around 4 PM to find that his temperature was really really high! We gave him some medicine for his fever, runny nose, and cough. Nothing seemed to work, though. He was getting weak and the temperature was getting higher. We were concerned a lot because Hikari has a nasty history of illnesses. He was born with immune system deficiency resulted from having a high level of sensitivity (of substances around) and allergies. A slight-common cold for normal children make him suffer 10x worse, let alone fever. So, we were thinking of taking him to the emergency unit for his temperature was rising more and more.

The problem in Honjo is although there are some big hospitals and a lot of clinics, during weekends and public holidays there is only one ER operating. And that ER is not always in the same hospital! They take turn in providing the service for ER. So, if last-week ER is in Honjo Public Hospital, this-week ER will be in another. If we want to go to ER during holidays, we need to call the ER hotline service to ask which hospital is open. OR, we call Honjo ambulance. Both the hotline service and the ambulance are easily accessed, for Japanese speakers, that is!
We didn't want to call the ambulance because that would 'alert' the whole dorm-occupants, but we couldn't call the hotline service because our Japanese was not sufficient. Then, I called my Japanese teacher to ask him to find an open hospital.

Shoda sensei came 15 minutes later. When he came Hikari's temperature was 39 something and he had been vomitted several times. He complained a lot about the pain his stomach. Sensei told us that we needed to go to a child hospital in Fukaya, Honjo's neighboring town, because there was no pediatrician available in Honjo! He made phone calls to Fukaya. The pediatrician there told us to wait several hours while we gave Hikari first-aid treatment which she instructed us. The doctor thought Hikari's condition was not alarming at that time for several reasons: no diarrhea, the fever was still in the 'normal' range, Hikari still had apppetite, he didn't lose consciousness, etc. So we waited. My Sensei left home 2 hours later, but told us to call him anytime if Hikari got worse, or he would return the next morning to take us to Honjo hospital.

That night, neither of us slept. Hikari was getting restless and there was no indication that his temperature was going down. He had interrupted sleep and occassionally talked in his sleep, which was rather scary. We were afraid that he would lose his consciousness or even would have seizures. Those were the longest hours in my life. I wished 8 AM came faster but it didn't.
Early in Monday morning, Shoda Sensei came to pick us up to Honjo Public Hospital. He made arrangements in the hospital before so that when we arrived everything was ready for us. The doctor examined Hikari and asked his condition: fever 38-39, cramps and pain in the stomach, nausea and vomitting, no appetite, a runny nose and cough, a headache. She gave us her diagnosis. Kaze, she said, in the stomach. Another name is stomach flu. She gave us prescription and told us that Hikari was not in serious condition. She didn't give us any medicine for fever, though, because she thought it wouldn't be necessary.

Papap, especially, was not convinced. Hikari's condition was worse than just a stomach flu. But we went home and hoped that the drugs worked. Later that evening, we were forced to call my Sensei again to tell him that Hikari was not getting better. Shoda Sensei and his wife came to our room. They brought water pillow for Hikari and stayed for a while. At that time, Hikari's fever was 39.7C. Sensei ran back to the hospital to meet the doctor but the hospital was already closed. He returned to our room and later took Papap to buy some medicine for fever. In the drugstore, the pharmacist told Papap the reason why the prescribed drugs didn't work: most oral drugs wouldn't work in the fever higher than 38.5C! So, the pharmacist gave Papap an anal medicine for fever... It hurt just looking at the medicine! Again that night we didn't sleep. Morning was very far away.

Tuesday morning, we went again to the same doctor. She took Hikari's urine sample, installed an IV for him, took his blood sample, and ran a 3D USG for his stomach, chest, neck, and back. Papap bet on typhoid, I bet on food poisoning, bacterial or viral infection. We bet on everything. I couldn't stop blaming myself for this because I thought this illness came from food, rotten food, bad food, bad-hygienic food. And if it did, I was the one to blame!
3 hours later, when the IV was finished, the doctor told us the test result: she found no bacteria nor virus, and nothing was wrong with Hikari's stomach! She stick to the first diagnosis: stomach flu. Only this time, it got worst... because it was IN Hikari.

Until today, Hikari was still pale and weak. His fever is still around 37-38, but more stable. He doesn't complain about stomachache anymore and although he still feels nausea he doesn't vomit anymore. Shoda Sensei and his wife still checks on him every now and then, and we still struggles during the nights. But Hikari is getting better and I had stopped crying. Alhamdulillah.

Right now we still struggle a lot. Not with the sickness, but with the drugs. Giving medicine to a 3-year-old is close to fighting the WWII alone. He asks one thousand annoying Whys (why do I have to take that med? why is the taste bitter? why oh why). And if we give him 2 thousand because-ofs, he will ask another 3 thousand whys... Even saying 'Because I Told You So' doesn't work at all!
The funny thing of all of this is when the doctor wanted to inject the IV to him. He cried and screamed told her to stop because it hurt, but he did it all in Japanese, making both the doctor and the nurse laughed. And then when it was time to pull his IV, Hikari refused and told the doctor that he wanted to to bring the IV home because (he thought) the IV was the one that made his sickness go away. At the end of the day, the doctor let Hikari brought the IV bag home :) Papap and I stood there amused for Hikari was able to communicate with the doctor and hospital staff in Japanese effortless, while we couldn't even say 'Itai' (it hurts) in a natural tone...

Having a sick child (or being sick) in a foreign country where the language is the biggest problem is terrifying. We were lucky and thankful that we have kind friends. My 70-year-old Sensei and his wife made us feel like we have our parents nearby. We were also lucky that this hospital thing didn't cost us a Yen because the government takes care of the children health issues. This wouldn't be the case back home. From our experience in Jakarta, everytime Hikari's illness forced us to deal with the doctor/ER/hospital, by the end of it, it took all of our one-month paycheck...

Blogger Templates by Blog Forum