Kedutaan Amrik
Sunday, July 02, 2006 by Mariskova
Membaca berita tentang suatu kelompok yang 'jumrah' di kedutaan Amrik di Jakarta, saya berasa miris. Bukan soal demo-nya itu, tapi soal kata 'jumrah' yang dipake -entah oleh stasiun beritanya atau (memang) oleh si pendemo. Memang sih si pendemo memakai gaya demo melempar batu seperti pada jumrah, tapi ya gak gitu-gitu amat lah generalisasinya . Saya memang tidak simpati dengan cara demo yang pake bentuk-bentuk kekerasan, apalagi dinamakan sama dengan salah satu ritual ibadah itu. Tulung deh. Masa' siiihhh *pake suara Titiek Puspa* gak bisa berdemo dengan cara yang lebih elegan dan intelek? Kalo gak mempan juga diomongin, daripada rame-rame keroyokan maen sambit-sambitan kayak anak SD berantem begitu, mending perang sekalian ajah biar lebih gentleman. Haayaaahhh... ini kok jadi malah ngajakin perang???
Gak, gak, saya gak mau ngomongin soal perang. Kecuali kalaw saya yakin kita bakal menang... . Sekarang ini saya mau cerita tentang pengalaman saya berhubungan dengan kedutaan negara sebagaimana telah disebutkan namanya pada tulisan diatas. Pengalaman itu begitu berkesannya sehingga setelah sekian lama saya masih terkenang-kenang...
Beberapa tahun yang lalu saya bersama seorang kawan perempuan ditugaskan mengajar bahasa Inggris di kedutaan itu. Yang diajar orang-orang Indonesia yang bertugas sebagai satuan pengamanan kedutaan. Hampir sama seperti satpam, tapi satpam yang ini punya pangkat layaknya tentara. Usia mereka paling muda lulusan SMA, paling tua umur 50-an. Sebagian besar laki-laki, cuma ada 2 perempuan (waktu itu). Untuk orang-orang luar, satpam kedutaan ini terkenal guaalakknya! Bahkan, om saya yang marinir aja bilang kalau lebih galakan satpamnya daripada marinir Amriknya. Atas tugas ini, saya dan si kawan diledek abis oleh teman-teman sekantor. Kata mereka: butuh seorang 'satpam' untuk mengajar 'satpam'. Maklum, saya dan si kawan sama-sama berpotongan preman, berambut cepak, bergaya tengil, dan bertutur kata rahwana . Eits, tapi jangan salah. Ternyata petugas satpam kedutaan ini baiiikkk sekali, dan murah senyum. Setidaknya pada saya dan kawan saya . Mengajar mereka serasa menjadi guru silat pada film-film kungfu. Liat aja bagaimana mereka menyapa kami: "Good morning, Teacher" (pake nada anak SD berkata 'selamat pagi bu guruuuu') atau "Teacher, Teacher, ndis min wat?" (this mean what, pake logat Jawa) atau "Yes, teacher". Jangan tanya soal grammar -apalagi pronunciation- karena mereka jelas gak ngerti, tapi kalau disuruh ngomong asal nembak seperti senapan mesin, mereka jago-jago.
Mereka ini juga jahil banget. Mereka cerita kalau lagi sebel sama para marinir Amrik, mereka suka pura-pura bego gak ngerti apa yang diomongin si tentara-tentara itu. Para marinir sering nyerah aja karena gak tahan sama tampang 'pura-pura' begonya itu. Mereka juga cerita kalau tuan dan nyonya mereka (tau dong siapa maksud saya) sering nyumpah-nyumpahin mereka. Saya tanya kalau mereka kesal denger sumpah serapahnya. Mereka jawab, "kita yes-yes-in aja. Dia kan gak tau kalau kita ngerti. Kadang-kadang malah kita jawab pakai bahasa Jawa" . Tapi saking baiknya, mereka mau ngawal kita pulang sampai stasiun Gambir, tempat saya memarkir mobil disitu. Kalau hari hujan, mereka berjalan berpayungan bersama-sama kita dengan payung, pakaian dan jaket lengkap bertuliskan kedutaan Amrik gede-gede. Sukses lah kita diliatin orang sepanjang jalan...
Kalau para satpam ini ramah tamah, para marinirnya berkelakuan sebaliknya. Sepanjang tiga bulan kita disana, kita bawaannya pengen nabok tampang songong para tentara itu. Forgive my language . Para marinir ini juga ada jahilnya. Misalnya kalau kita mau masuk ke pekarangan dalam kedutaan, kita harus lewat pos penjagaan dalam dulu. Disitu, tas kita di 'X-ray' dan kita diberi name tag. Setelah itu kita baru boleh masuk ke pekarangan dalam melalui pintu yang hanya bisa dibuka tutup oleh penjaga dibalik jendela kaca. Beberapa kali, pintu itu gak dibuka-buka. Perlu pelototan dan hardikan Please yang galak supaya dibukain. Habis itu kadang terlihat cengiran samar di muka si marinir nyebelin. Orangnya ganti-ganti tapi kelakuannya sama. *Bleh!*
Hari pertama ngajar, si kawan saya berantem mulut dengan marinir bule segede beruang. Gara-garanya, name tag yang kita pakai ternyata hanya name tag visitor. Artinya kalau berada di compound kedutaan, kita gak boleh kemana-mana atau berada di satu tempat tanpa dikawal. Lah, sapa yang mau ngawal kita selama 6 jam -4 jam ngajar & 2 jam istirahat-? Lalu si marinir beruang ini dengan kasar menyuruh saya dan si kawan untuk menunggu di pos satpam yang dipantengin marinir asem lainnya. Mengamuk lah kawan saya ini menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar (toeflnya 1000!) dengan kecepatan mulut melebihi kecepatan mikrolet yang lagi rebutan setoran. Ujung-ujungnya, si marinir beruang itu menyerah kalah dan kita diijinkan untuk menunggu di dalam kelas. Besoknya, kita dapat tag berbeda.
Para marinir ini juga sering over-acting. Kalau ada demo sedikit aja, mereka keluar kandang dengan pakaian lengkap plus senjata lengkap, termasuk helm baja dan baju lorengnya. Padahal yang demo mah cuma berbekal toa. Padahal lagi, yang berada di garis depan dan ngadepin pendemo itu bukan mereka melainkan para satpam kedutaan. Tapi gayanya itu looohhh... ck ck ck... Hanya ada satu marinir yang baik dan ramah. Marinir African-American ini pernah sekali mengunjungi kita dikelas pas jam istirahat.
Dari jarak 3 meter dia menyapa, "awoudaklngoew?"
Kita, "Hah?"
Dia, "woahgkaownglaio?"
Kita, "HAH?"
Dari jarak sejengkal dia mengulang pertanyaannya sambil tersenyum ganteng, "what's your name?"
Kita, "HUAHAHAHAHAAA...." *ngakunya guru bahasa Inggris*
Soal demo-demoan itu membawa kesan sendiri buat saya. Di kedutaan mereka punya beragam jenis suara sirene. Ada sirene kebakaran, sirene serbuan musuh, sirene bencana alam, dll. Tiap hari, beragam suara sirene ini diperdengarkan lengkap dengan drillnya harus ini itu. Saya sangsi apa ada yang inget dengan arti dari beragam jenis suara sirene itu saking banyaknya. Satu suara sirene yang paling sering terdengar adalah suara sirene yang menandakan ada demo. Bisa-bisa sehari lebih dari sekali. Apa gak budek itu para karyawannya? Kalau ada demo begini, kelas saya bisa bubar jalan. Semua langsung pada keluar untuk bertugas. Balik laginya tergantung berapa lama pendemo berdemo. Kalau lebih dari dua jam, ya, kelas dilanjutkan kapan-kapan . Karena gak ada murid yang diajar, saya dan si kawan sering nyuri-nyuri ngintip liat si pendemo secara kalau ada demo harusnya kita 'bersembunyi' dari penglihatan 'musuh'. Beberapa kali kita sukses ngintip. Sekali, kita ketauan ngintip dan langsung diteriakin oleh seorang marinir. *Hu, gitu aja ribut!*
Ada satu kejadian yang paling menggelikan soal ngajar-mengajar di kedutaan. Salah satu kelas yang kita pakai mengajar itu adalah ruang konferensi duta besar Amrik. Lokasinya di dalam gedung terdepan. Gedung itu sendiri gedung tua peninggalan Belanda. Nah, ruang kelas ini besar dengan sistem tata suara yang canggih. Tiap kali jam istirahat, saya dan si kawan sering ngerumpi ngalor ngidul. Yang dirumpiin ya seringnya sih kelakuan ngeselin para marinir itu. Ngerumpinya campur-campur pake 80% English dan 10% Indonesian dan 10% lagi Betawi. Teman saya itu, yang juga penyanyi choir selevel Bianca Castafiore, sering nyanyi-nyanyi gak jelas mengetes kekuatan akustik ruang kelas. Udah gitu, setiap usai kelas jam 5 sore (dimana pada saat itu para karyawan kedutaan sudah pulang jam 4) lokasi nyanyinya berpindah dari dalam kelas ke ruang tengah gedung tua itu. Mendingan kalau si kawan bernyanyi ala Josh Groban atau Andrea Bocelli. Ini sih cuma ngetes suara ha-ha-ha sopran, kadang alto, kadang malah bariton. Berhubung saya sudah mati rasa sama suara dan kelakuannya, saya biarkan saja si teman ini jungkir balik seenak jidatnya. Teman saya itu juga sudah mati rasa sama kelakuan saya yang sering joget-joget , atau menceracau gak jelas sambil nggambari whiteboard pake spidol warna-warni. Selama tiga bulan ngajar, acara rumpi, sumpah serapah, nyanyi-nyanyi, joget-joget, gambar-menggambar, dan ngafal isi skripsi (waktu itu saya sedang menunggu sidang) terus berlanjut. Pada akhir masa tiga bulan, usai kelas terakhir, saya dan si kawan baru mengetahui kalau... ruang kelas itu dan seluruh pelosok gedung dilengkapi dengan KAMERA PENGINTAI! Mampus gak lu?!
Ruang monitor keamanan kedutaan pada pergantian shift:
marinir 1: what's new today?
marinir 2: they called me gorilla.
marinir 1: well, they called me chimpanzee.
marinir 2: hmm, today... they called you crazy chimpanzee.
marinir 1 mikir: at least I'm not as dumb as you are. I turn off the volume when she starts singing...
Gak, gak, saya gak mau ngomongin soal perang. Kecuali kalaw saya yakin kita bakal menang... . Sekarang ini saya mau cerita tentang pengalaman saya berhubungan dengan kedutaan negara sebagaimana telah disebutkan namanya pada tulisan diatas. Pengalaman itu begitu berkesannya sehingga setelah sekian lama saya masih terkenang-kenang...
Beberapa tahun yang lalu saya bersama seorang kawan perempuan ditugaskan mengajar bahasa Inggris di kedutaan itu. Yang diajar orang-orang Indonesia yang bertugas sebagai satuan pengamanan kedutaan. Hampir sama seperti satpam, tapi satpam yang ini punya pangkat layaknya tentara. Usia mereka paling muda lulusan SMA, paling tua umur 50-an. Sebagian besar laki-laki, cuma ada 2 perempuan (waktu itu). Untuk orang-orang luar, satpam kedutaan ini terkenal guaalakknya! Bahkan, om saya yang marinir aja bilang kalau lebih galakan satpamnya daripada marinir Amriknya. Atas tugas ini, saya dan si kawan diledek abis oleh teman-teman sekantor. Kata mereka: butuh seorang 'satpam' untuk mengajar 'satpam'. Maklum, saya dan si kawan sama-sama berpotongan preman, berambut cepak, bergaya tengil, dan bertutur kata rahwana . Eits, tapi jangan salah. Ternyata petugas satpam kedutaan ini baiiikkk sekali, dan murah senyum. Setidaknya pada saya dan kawan saya . Mengajar mereka serasa menjadi guru silat pada film-film kungfu. Liat aja bagaimana mereka menyapa kami: "Good morning, Teacher" (pake nada anak SD berkata 'selamat pagi bu guruuuu') atau "Teacher, Teacher, ndis min wat?" (this mean what, pake logat Jawa) atau "Yes, teacher". Jangan tanya soal grammar -apalagi pronunciation- karena mereka jelas gak ngerti, tapi kalau disuruh ngomong asal nembak seperti senapan mesin, mereka jago-jago.
Mereka ini juga jahil banget. Mereka cerita kalau lagi sebel sama para marinir Amrik, mereka suka pura-pura bego gak ngerti apa yang diomongin si tentara-tentara itu. Para marinir sering nyerah aja karena gak tahan sama tampang 'pura-pura' begonya itu. Mereka juga cerita kalau tuan dan nyonya mereka (tau dong siapa maksud saya) sering nyumpah-nyumpahin mereka. Saya tanya kalau mereka kesal denger sumpah serapahnya. Mereka jawab, "kita yes-yes-in aja. Dia kan gak tau kalau kita ngerti. Kadang-kadang malah kita jawab pakai bahasa Jawa" . Tapi saking baiknya, mereka mau ngawal kita pulang sampai stasiun Gambir, tempat saya memarkir mobil disitu. Kalau hari hujan, mereka berjalan berpayungan bersama-sama kita dengan payung, pakaian dan jaket lengkap bertuliskan kedutaan Amrik gede-gede. Sukses lah kita diliatin orang sepanjang jalan...
Kalau para satpam ini ramah tamah, para marinirnya berkelakuan sebaliknya. Sepanjang tiga bulan kita disana, kita bawaannya pengen nabok tampang songong para tentara itu. Forgive my language . Para marinir ini juga ada jahilnya. Misalnya kalau kita mau masuk ke pekarangan dalam kedutaan, kita harus lewat pos penjagaan dalam dulu. Disitu, tas kita di 'X-ray' dan kita diberi name tag. Setelah itu kita baru boleh masuk ke pekarangan dalam melalui pintu yang hanya bisa dibuka tutup oleh penjaga dibalik jendela kaca. Beberapa kali, pintu itu gak dibuka-buka. Perlu pelototan dan hardikan Please yang galak supaya dibukain. Habis itu kadang terlihat cengiran samar di muka si marinir nyebelin. Orangnya ganti-ganti tapi kelakuannya sama. *Bleh!*
Hari pertama ngajar, si kawan saya berantem mulut dengan marinir bule segede beruang. Gara-garanya, name tag yang kita pakai ternyata hanya name tag visitor. Artinya kalau berada di compound kedutaan, kita gak boleh kemana-mana atau berada di satu tempat tanpa dikawal. Lah, sapa yang mau ngawal kita selama 6 jam -4 jam ngajar & 2 jam istirahat-? Lalu si marinir beruang ini dengan kasar menyuruh saya dan si kawan untuk menunggu di pos satpam yang dipantengin marinir asem lainnya. Mengamuk lah kawan saya ini menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar (toeflnya 1000!) dengan kecepatan mulut melebihi kecepatan mikrolet yang lagi rebutan setoran. Ujung-ujungnya, si marinir beruang itu menyerah kalah dan kita diijinkan untuk menunggu di dalam kelas. Besoknya, kita dapat tag berbeda.
Para marinir ini juga sering over-acting. Kalau ada demo sedikit aja, mereka keluar kandang dengan pakaian lengkap plus senjata lengkap, termasuk helm baja dan baju lorengnya. Padahal yang demo mah cuma berbekal toa. Padahal lagi, yang berada di garis depan dan ngadepin pendemo itu bukan mereka melainkan para satpam kedutaan. Tapi gayanya itu looohhh... ck ck ck... Hanya ada satu marinir yang baik dan ramah. Marinir African-American ini pernah sekali mengunjungi kita dikelas pas jam istirahat.
Dari jarak 3 meter dia menyapa, "awoudaklngoew?"
Kita, "Hah?"
Dia, "woahgkaownglaio?"
Kita, "HAH?"
Dari jarak sejengkal dia mengulang pertanyaannya sambil tersenyum ganteng, "what's your name?"
Kita, "HUAHAHAHAHAAA...." *ngakunya guru bahasa Inggris*
Soal demo-demoan itu membawa kesan sendiri buat saya. Di kedutaan mereka punya beragam jenis suara sirene. Ada sirene kebakaran, sirene serbuan musuh, sirene bencana alam, dll. Tiap hari, beragam suara sirene ini diperdengarkan lengkap dengan drillnya harus ini itu. Saya sangsi apa ada yang inget dengan arti dari beragam jenis suara sirene itu saking banyaknya. Satu suara sirene yang paling sering terdengar adalah suara sirene yang menandakan ada demo. Bisa-bisa sehari lebih dari sekali. Apa gak budek itu para karyawannya? Kalau ada demo begini, kelas saya bisa bubar jalan. Semua langsung pada keluar untuk bertugas. Balik laginya tergantung berapa lama pendemo berdemo. Kalau lebih dari dua jam, ya, kelas dilanjutkan kapan-kapan . Karena gak ada murid yang diajar, saya dan si kawan sering nyuri-nyuri ngintip liat si pendemo secara kalau ada demo harusnya kita 'bersembunyi' dari penglihatan 'musuh'. Beberapa kali kita sukses ngintip. Sekali, kita ketauan ngintip dan langsung diteriakin oleh seorang marinir. *Hu, gitu aja ribut!*
Ada satu kejadian yang paling menggelikan soal ngajar-mengajar di kedutaan. Salah satu kelas yang kita pakai mengajar itu adalah ruang konferensi duta besar Amrik. Lokasinya di dalam gedung terdepan. Gedung itu sendiri gedung tua peninggalan Belanda. Nah, ruang kelas ini besar dengan sistem tata suara yang canggih. Tiap kali jam istirahat, saya dan si kawan sering ngerumpi ngalor ngidul. Yang dirumpiin ya seringnya sih kelakuan ngeselin para marinir itu. Ngerumpinya campur-campur pake 80% English dan 10% Indonesian dan 10% lagi Betawi. Teman saya itu, yang juga penyanyi choir selevel Bianca Castafiore, sering nyanyi-nyanyi gak jelas mengetes kekuatan akustik ruang kelas. Udah gitu, setiap usai kelas jam 5 sore (dimana pada saat itu para karyawan kedutaan sudah pulang jam 4) lokasi nyanyinya berpindah dari dalam kelas ke ruang tengah gedung tua itu. Mendingan kalau si kawan bernyanyi ala Josh Groban atau Andrea Bocelli. Ini sih cuma ngetes suara ha-ha-ha sopran, kadang alto, kadang malah bariton. Berhubung saya sudah mati rasa sama suara dan kelakuannya, saya biarkan saja si teman ini jungkir balik seenak jidatnya. Teman saya itu juga sudah mati rasa sama kelakuan saya yang sering joget-joget , atau menceracau gak jelas sambil nggambari whiteboard pake spidol warna-warni. Selama tiga bulan ngajar, acara rumpi, sumpah serapah, nyanyi-nyanyi, joget-joget, gambar-menggambar, dan ngafal isi skripsi (waktu itu saya sedang menunggu sidang) terus berlanjut. Pada akhir masa tiga bulan, usai kelas terakhir, saya dan si kawan baru mengetahui kalau... ruang kelas itu dan seluruh pelosok gedung dilengkapi dengan KAMERA PENGINTAI! Mampus gak lu?!
Ruang monitor keamanan kedutaan pada pergantian shift:
marinir 1: what's new today?
marinir 2: they called me gorilla.
marinir 1: well, they called me chimpanzee.
marinir 2: hmm, today... they called you crazy chimpanzee.
marinir 1 mikir: at least I'm not as dumb as you are. I turn off the volume when she starts singing...
Hahahaha.... marinirnya dapet hiburan gratis liat loe-loe nyanyi dan joget :D
Hi hi hi ... dulu waktu mau minta visa ke Australia saya diusir karena pas dikasih formulir buat HIV test sayanya nyolot, "mestinya saya diperiksa kalo pulang dari tempatmu".
hehe.. lucu jg mbak.. salam kenal dr tokyo.
saya dulu pernah berantem sama satpam US Embassy di jkt juga, gara2 janjian meeting sama orang USAID jam 4.30. Susah bener mau masuknya, disuruh nelfon extension si org tsb, lha.. mana gw apal, extension boss dikantor aja gw gak apal... sampe kita telfon HP si Elena ini dan dia tergesa2 keluar jemput, barulah sisatpam asem itu let us in...
gw bilang sama dia: next time no meeting in your office...
weh.. di jepun ya..
anyeonghaseyo!!
*eh ini bahasa korea, ding!*
heheh..
wah seru tuh bisa mengetahui "kehidupan lain" di balik tembok keduataan besar.. kan selama ini kesannya mereka tertutup banget gitu..
heheh..
wakakakaka.... gue kebayaaaaaanngg... ekspresinya para marinir yg kalo in duty sepa'2 bgt itu :P
huaahahahahhaahaaahaahahahaaaaaaa...
cuman dikauw dan si temen itu yang ngerti banget kegembiraan di balik benteng itu ya :) [barb]
hmmm lo mesti cerita dunk gmn sih aslinya pendapat marinir kl ngadepin demo2 gitu hehe...palagi kl lg tugas pan tampangnya asem bgt yayaya...cerita dunk.
serruuuu...
ceritanya selalu ajah ada bikin kita ketawaa..
hihihi....kocak abizz, harusnya dirimu minta copy rekaman kamera selama tiga bulan itu..hahaha...tapi di us embassy bukan satpamnya doang yang bisa galak, yg di loket juga galak2 bener. huh!!
huahahahaha...
bisa minta rekaman jogetannya gak ama mereka??
*gagal menahan tawa*
wawwahwhahwahwhahwahwhwhawhahwahwhawhahwahwhawhahwhwhawhahwahwhahwahw....lucu bgt...wahwhahwahwa... sumpah deh... lucu...
anyway.. gw pernah punya 'pengalaman buruk' sama brimop yang nongkrong di depan embassy. pas jalan malem2 kita digoda2in gitu. dikira kita takut.. huuu.. langsung aja jurus galak gw dikeluarin. suskes bo!
salam kenal yaa...
Hah! Seribu?! Bukannya maksimal 800-an gitu yak? :p
Jumrah pake tisu? Hmmm...
what a funny story... btw aku juga ada pengalaman bout USA embassy... sebel banget kalo liat... waktu itu visaku ditolak mereka hanya gara-gara foto di pasporku aku make baju koko dan berjanggut... emangnya kalo gitu aku teroris..?? he he he... but sejak aku kerja di JKT... hampir tiap minggu aku calling2an ama orang embassy sana... he he he