Sepeda Onthel
Friday, August 04, 2006 by Mariskova
Tergelitik dengan pengakuan Pak Dhe Mbilung yang me-rumpon-kan sepeda onthel beliau di dasar sungai (ngomong-ngomong rumpon itu artinya apa sih?), saya jadi ingin bercerita ngalor ngidul tentang sepeda onthel di Jepang ini. Sekalian mengilik Pak Dhe yang namanya tersebut diatas untuk memberi info bagaimana caranya menceburkan sepeda ke sungai tanpa ketahuan pak Pulisi.
Seinget saya, begitu saya menjejakkan kaki di bumi Honjo, Papap langsung menjadwalkan saya untuk belanja sepeda. Hehe... mirip anak kecil ulang tahun yah. Belanja sepeda. Saya baru tahu kemudian, sepeda adalah alat transportasi utama di Jepang ini. Rasa-rasanya, hampir semua orang Jepang atau orang tinggal di Jepang punya sepeda, terutama yang berada di kota kecil. Habis mau gimana lagi? Mobil gak punya (kasus saya dan teman-teman perantau), motor juga gak ada, jalur bis-nya garing, jalur kereta hanya keluar kota sajah, rate taxi muahal sekali. Orang-orang yang punya mobil sekalipun juga masih mengandalkan sepeda. Mungkin karena bebas macet, bebas bahan bakar, dan bebas polusi (bukan pulisi). Selain itu nggenjot sepeda bisa membuat badan sehat, lebih kurus (tidak harus kurus, tapi bisa lebih lah), dan seksih. Anak-anak kecil dan anak-anak sekolah, terutama, menggunakan sepeda sebagai kendaraan mereka. Juga para ibu rumah tangga yang tiap hari kudu belanja. Bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek, dan para karyawan pun dengan pedenya bersepeda. Kagak ade tuh nyang namenye turun gengsi gara-gara ente naek sepedah. Padahal sepedanya juga model sepeda onthel, bukan sepeda balap yang kerenan dikit. Pemandangan seorang ibu bersepeda dengan barang belanjaan di belakang dan anak bayi duduk dibagian depan sepeda serta anak balita yang mengekor dengan sepeda kecilnya sendiri adalah jamak terlihat, terutama di kota kecil. Di kota-kota besar seperti Tokyo, sepeda masih terlihat dipakai tapi tak sebanyak di Honjo, misalnya. Mungkin karena di Tokyo terlalu banyak orang jadi kudu punya nyali besar untuk nyalip-nyalip naek sepeda karena jalur sepeda itu sama dengan jalur pejalan kaki. Lagipula, Tokyo punya jalur kereta dalam kota yang accessible, begitu juga dengan bisnya.
Sepeda-sepeda di Jepang semua punya plat registrasi yang berfungsi sebagai stnk. Kalau kita membeli sepeda, baik bekas maupun baru, kita akan diberi 'stnk' ini. Sepeda tanpa stnk harap siap dikejar-kejar pak Pulisi. Miss Mia-the-Ridho juga pernah menulis tentang Para Pulisi Jepun yang kekurangan kerjaan sehingga seringkali melakukan razia random terhadap sepeda. Papap pernah kena razia ini. Dengan model sepeda ala emak-emak alias mempunyai bangku anak dibelakangnya, jelas Pulisi curiga melihat laki-laki yang menggenjot. Di Jepang yang katanya aman ini, maling sepeda pun ada. Tapi, maling sepeda ala Jepang ini antik. Mereka nyolong sepeda bukan buat dijual lagi atau diloakkan (percuma juga, bisa digaruk Pak Pul). Biasanya sepeda dicolong karena si maling butuh transportasi darurat dari stasiun atau supermarket ke rumahnya. Setelah jarak ke rumah tinggal selemparan kolor, sepeda itu pun di tinggal begitu saja. Bisa dipinggir jalan, bisa di tempat parkir. Makanya Mia-the-Ridho menyarankan saya untuk membuang sepeda dengan cara menaruh sepeda itu di eki (stasiun). Umumnya, begitu deretan sepeda di eki sudah menumpuk, melumut, dan tak ada tanda-tanda bakal diambil yang punya, Pak Pulisi akan membawa semua sepeda itu pergi. Problem saya atas sepeda bekas yang tak bisa dibawa ke kampung pun hilang kan? *kok sayang ya?*
Nah, pertanyaannya... setelah itu akan diapakan tumpukan sepeda yang tak pernah menipis itu? Dibuang ke dasar laut seperti nasib becak-becak di Jakarta? Dijual ke Indonesia seperti nasib kereta bekas Jepang di Jakarta? Di daur ulang menjadi panci? Dibikin pesawat terbang?
Ada yang tau?
Seinget saya, begitu saya menjejakkan kaki di bumi Honjo, Papap langsung menjadwalkan saya untuk belanja sepeda. Hehe... mirip anak kecil ulang tahun yah. Belanja sepeda. Saya baru tahu kemudian, sepeda adalah alat transportasi utama di Jepang ini. Rasa-rasanya, hampir semua orang Jepang atau orang tinggal di Jepang punya sepeda, terutama yang berada di kota kecil. Habis mau gimana lagi? Mobil gak punya (kasus saya dan teman-teman perantau), motor juga gak ada, jalur bis-nya garing, jalur kereta hanya keluar kota sajah, rate taxi muahal sekali. Orang-orang yang punya mobil sekalipun juga masih mengandalkan sepeda. Mungkin karena bebas macet, bebas bahan bakar, dan bebas polusi (bukan pulisi). Selain itu nggenjot sepeda bisa membuat badan sehat, lebih kurus (tidak harus kurus, tapi bisa lebih lah), dan seksih. Anak-anak kecil dan anak-anak sekolah, terutama, menggunakan sepeda sebagai kendaraan mereka. Juga para ibu rumah tangga yang tiap hari kudu belanja. Bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek, dan para karyawan pun dengan pedenya bersepeda. Kagak ade tuh nyang namenye turun gengsi gara-gara ente naek sepedah. Padahal sepedanya juga model sepeda onthel, bukan sepeda balap yang kerenan dikit. Pemandangan seorang ibu bersepeda dengan barang belanjaan di belakang dan anak bayi duduk dibagian depan sepeda serta anak balita yang mengekor dengan sepeda kecilnya sendiri adalah jamak terlihat, terutama di kota kecil. Di kota-kota besar seperti Tokyo, sepeda masih terlihat dipakai tapi tak sebanyak di Honjo, misalnya. Mungkin karena di Tokyo terlalu banyak orang jadi kudu punya nyali besar untuk nyalip-nyalip naek sepeda karena jalur sepeda itu sama dengan jalur pejalan kaki. Lagipula, Tokyo punya jalur kereta dalam kota yang accessible, begitu juga dengan bisnya.
Sepeda-sepeda di Jepang semua punya plat registrasi yang berfungsi sebagai stnk. Kalau kita membeli sepeda, baik bekas maupun baru, kita akan diberi 'stnk' ini. Sepeda tanpa stnk harap siap dikejar-kejar pak Pulisi. Miss Mia-the-Ridho juga pernah menulis tentang Para Pulisi Jepun yang kekurangan kerjaan sehingga seringkali melakukan razia random terhadap sepeda. Papap pernah kena razia ini. Dengan model sepeda ala emak-emak alias mempunyai bangku anak dibelakangnya, jelas Pulisi curiga melihat laki-laki yang menggenjot. Di Jepang yang katanya aman ini, maling sepeda pun ada. Tapi, maling sepeda ala Jepang ini antik. Mereka nyolong sepeda bukan buat dijual lagi atau diloakkan (percuma juga, bisa digaruk Pak Pul). Biasanya sepeda dicolong karena si maling butuh transportasi darurat dari stasiun atau supermarket ke rumahnya. Setelah jarak ke rumah tinggal selemparan kolor, sepeda itu pun di tinggal begitu saja. Bisa dipinggir jalan, bisa di tempat parkir. Makanya Mia-the-Ridho menyarankan saya untuk membuang sepeda dengan cara menaruh sepeda itu di eki (stasiun). Umumnya, begitu deretan sepeda di eki sudah menumpuk, melumut, dan tak ada tanda-tanda bakal diambil yang punya, Pak Pulisi akan membawa semua sepeda itu pergi. Problem saya atas sepeda bekas yang tak bisa dibawa ke kampung pun hilang kan? *kok sayang ya?*
Nah, pertanyaannya... setelah itu akan diapakan tumpukan sepeda yang tak pernah menipis itu? Dibuang ke dasar laut seperti nasib becak-becak di Jakarta? Dijual ke Indonesia seperti nasib kereta bekas Jepang di Jakarta? Di daur ulang menjadi panci? Dibikin pesawat terbang?
Ada yang tau?
rumpon kui omahe iwak jeng..:D
mata gila ama yang namanya sepeda..
pokoknya hidup SHIMANO mbak
wakakaka..
yuk genjot...
hidup kereta angin!
beberapa teman lagi demen berburu sepeda bekas dari jepun, mencarinya hingga ke priok...
STNK sepeda tu mang berguna bgt kok. ak dl pernah parkir sembarangan (ga tau sbenernya, ikut2an orang ajah), trus sepeda diangkut. ak ga tau kan kl itu salah tempat, jadi kupikir sepedaku dicuri. 3 bulan kmdn datang surat di lab, nyuruh ambil sepeda. lha... aneh bgt inih, dulu ak registrasi alamat ryou kok suratnya nyampe di lab. mengerikan.
boleh tuh sepedanya dikirimin kesini mba' tapi saya terima beres yah, sualnya kantor-kosan jaraknya lumayan jg neh kalo jalan kaki pegel jg, naek ojek cukup mahal, cuman di jkt parkir sepeda gemana yah?
ayo genjot ... :)