Wajahnya cantik, keibuan, kemayu, halus bukan buatan. Badannya langsing tinggi semampai berkulit kuning langsat. Tutur katanya manis, suaranya lembut, bahasa Jawanya sopan tinggi sebanding lurus dengan IQnya.
Saya berkenalan dengannya pada suatu masa di jaman dulu dan sampai sekarang saya masih terkagum-kagum padanya, sahabat saya itu. Dia pantas dijuluki putri Solo walaupun dia bukan dari Solo tapi toh tidak ada sebutan putri Jogja... Dia membuat ibu saya menghela napas setiap memandang saya dan mengurut dada setiap kali saya mulai bertingkah layaknya Rahwana.
Selang beberapa lama bersahabat, saya dikenalkan dengan pacarnya. Jujur saja,
sayang, saya membayangkan sosok Keanu Reeves dalam Walk in the Clouds. Hanya sosok seperti itu yang pantas untukmu...
Tapi tidak, yang datang bukan Keanu. Yang datang laki-laki lain. Laki-laki yang biasa saja tapi kemudian menjadi tidak biasa karena kelakuannya: pemarah, tukang ngamuk, tukang menyumpah, pencemburu berat namun pleiboi kelas badak (walo ini gak ada hubungannya dengan tampangnya yang gak ganteng), dan parahnya ringan tangan (dan bukan untuk membantu) termasuk pada teman saya yang bersosok putri ini. Dan saya pun ternganga.
Kenapa dia? Tanya saya ketika sudah tak tahan lagi. Sang putri tersenyum lembut. Jawabannya membuat saya menjedotkan jidat ke dinding. Katanya, dia selalu terpesona dengan sosok kuat yang bisa menjadi dewa pelindung. Dia butuh laki-laki petentengan yang bak dewa mabok selalu menggeram pada setiap manusia lain berjender laki-laki yang berani melirik putri cantiknya. Sahabat saya itu butuh merasa dilindungi. Sayang, kau harusnya mencari Arjuna yang adiknya Bima itu sampai ke gunung Mahameru. Setidaknya Arjuna tak pernah memukulimu (dan kata orang dia ganteng banget).....
Kali lain, seorang teman lama lain. Sahabat saya pecicilan yang pernah nekat naik motor ke sekolah walopun umur belum lagi 15. Anak mami yang putih mulus, selalu wangi, pemalu nan baik hati namun jagoan naik gunung ini sudah lama tak pernah saya lihat. Ketika bertemu lagi dia sudah menggandeng perempuan cantik bak model kelas wahid. Seperti jaman dulu, saya terpekik gembira melihat dia. Sayangnya, sambutannya tak sama. Dan tangan mulus yang melingkar di lengannya pun terlihat makin erat. Perempuan disamping sahabat saya itu melirik judes dan memasang muka bosan. Maaf, teman, saya tak tahu kalau kau tak boleh menyapa perempuan lain (yang menggendong bocah kecil dengan kedua tangannya). Lain waktu teman-teman yang lain mengadu. Teman lama saya ini selalu apes. Pacarnya selalu -walopun cantik- galak, judes, cerewet bukan main. Kamu kok bisa sial begitu sih, Dung?
Telepon antar benua berdering. Adik sepupu kesayangan saya memberi kabar gembira. Perempuan belia secantik peri yang sedang mengejar titel 'Dosen' memberi tahu kalau ia akan menikah dengan pangeran gagah berseragam yang jaman sekarang tak lagi menunggang kuda. Tanya saya, "cowok berseragam yang mana?"
Dia tertawa lembut, "ah, mbak. Dari dulu hanya ada satu kok."
Saya tahu yang mana, sebenarnya. Tapi toh sejak dulu ada begitu banyak laki-laki, berseragam atau tidak, yang menyambangi mawar cantik ini. Padahal bapaknya galak setengah modar...
Saya memberikan restu. Pangerannya memang gagah, bertanggung jawab, pintar dan baik hati. Walaupun sering garing, jaim berat (goes with the uniform, I guess), dan... maaf, dik... tak secakep penggemarmu yang lain. Jauuuuhhhh tak secakep yang lain. Sampai-sampai adik sepupu yang lain pernah berkomentar, "kenapa sih kalo orang cakep selalu dapet pacar jelek."
Maaf beribu maaf. Ini bukan hinaan, saya yakin pasti. Adik muda itu hanya begitu heran dengan kenyataan.
Walaupun diam-diam saya yang selalu merasa percaya diri kalau saya cakep agak-agak tersindir juga. Ah, tapi si Papap toh cukup wangi...Ada juga seorang kolega yang terkenal jagoan imajinasi. Dengan penampilan terbungkus rapat, dia seringkali berkata sedih bahwa dia harus menolak begitu banyak laki-laki.
Kenapa juga ditolak? Lain waktu dia bercerita kalau sebenarnya dia sakit parah sehingga harus selalu didonor darah.
Terlalu banyak kah nyamuk di rumah mu? Dan ketika dia akhirnya menikah dengan teman kami juga kami tak bisa menahan heran. Laki-laki pilihannya ini manusia super diam, super cuek, super tak perduli, super tak tahan rengekan.
What an odd...Semalam, saya bercerita pada teman satu-klik-jauhnya. Saya bercerita bahwa sewaktu Papap berangkat lebih dahulu ke negeri antah berantah, saya seperti orang linglung. Saya tak punya nafsu untuk bergaul, untuk jalan-jalan, untuk bepergian, untuk bersosialisasi. Padahal, sumpah, saya tak kangen. Benar tak kangen, karena toh setiap hari walau jauh Papap selalu menelpon lebih dari 2 kali. Kadang-kadang hanya untuk bicara tak perlu seperti 'kulkas mau ditaruh dimana ya?' atau 'beli gorden bunga-bunga atau polos ya?'. Tapi saya sungguh linglung. Ini pasti karena kami terlalu lama bersama-sama. Terlalu sering bersama-sama. Terlalu bergantung satu sama lain. Mungkin juga. Karena saya pikir hubungan kami lebih seperti partnership. Entah baik atau tidak hal ini dalam pernikahan karena saya pernah dengar bahwa dalam pernikahan salah satu harus 'lebih tinggi' dari yang lain. Seperti komandan dan wakil komandan, katanya. Lalu kalau kami sama-sama prajurit petentengan yang seringkali sepak-sepakan, apakah diperbolehkan dalam kamus kehidupan pernikahan?
Ah, jadi ingat sahabat saya tersayang si Putri itu. Dia berkoar kalau di satu dunia ini hanya orang seperti pacar saya itu yang bisa menundukkan ke-Rahwana-an saya. Bahkan seorang
Ehem yang ganteng *
wink wink* dan pintar sekali itupun tak mampu membuat saya berkata, "he-eh" sambil menunduk malu. Ibu saya belakangan berkomentar senada. Mungkin si Putri benar. Pacar saya memang bukan manusia paling
ehem atau
uhuk-uhuk sedunia. But, yes, we deserve each other. Laki-laki lain pasti sudah gatel ingin
mentung kalau berpasangan dengan saya. Sementara, perempuan lain pasti sudah monyong-monyong tak keruan kalau berpasangan dengan pacar saya. Tapi kami bisa klop. Seperti pasangan-pasangan yang saya kenal, mereka bisa klop
no matter how odd. Seperti pasangan puzzle. Seperti yin-dan-yang. Seperti mortar dan pestle, seperti pagi dan malam, seperti terang dan gelap, seperti beauty-and-the-beast. Jadi, temanku yang baik, tak perlu lah kita iri pada pasangan orang, apalagi malah mengomentari pasangan orang. Tuhan sudah begitu bijak membuatkan puzzle khusus bagi setiap orang.
No man deserves other than what he ought to have.Sahabat saya tersayang akhirnya putus dengan pacar luar biasanya. Dia sekarang sudah menikah dengan jenis lelaki yang sama: si dewa pelindung. Untungnya yang sekarang tak pernah memukul, memaki, dan menyakiti... I miss you, dear... Terimakasih atas wejanganmu pada suatu waktu dulu...