Semenjak pulang kampung hampir setahun yang lalu, saya
menumpang tinggal di rumah orang tua saya. Rumah ortu saya ini berada di komplek pensiunan tentara.
Si Papi pernah menyuruh saya membeli rumah di komplek yang sama. Maksudnya tentu saja supaya beliau bisa setiap saat menculik Hikari. Sayanya yang ogah.
Komplek ini kan entah berada di propinsi mana di Indonesia ini!Melihat tampang ogah-ogahan saya, si Papi mulai melancarkan jurus penjual kecapnya. Kecapnya yang pertama: "Disini kan bisa ketemu sama tetangga yang di komplek lama." Maksud Papi saya, tetangga disini sama isinya dengan tetangga di rumah kami yang lama. Mendengar ini saya makin ogah. Gak siap mental aja kalau lagi jalan sore ada kakek-kakek atau nenek-nenek yang begitu ketemu saya berkomentar, "eeeh, kamu sudah besar ya. Dulu kan kamu yang kecilnya ingusan melulu tho?"
Lalu, kecapnya si Papi yang kedua adalah membeberkan segala kelebihan komplek ini dibanding komplek-komplek perumahan lain. Pertama: lebih murah, katanya. Ya iyalah, tukang pos aja bingung mau ngasih nomer kode pos berapa buat komplek di lokasi yang hanya bisa dideteksi oleh dukun dan supir ojek.
Pastinya si Papi hampir kehabisan jurus ketika beliau mengatakan komplek ini sangat
self-sufficient and stress-free. Segala ada. Kita gak perlu keluar komplek ini untuk belanja, rekreasi, olah-raga, nenangga, sampai berkebun. "Bahkan," tambah si Papi, "tanah untuk kuburan aja udah disediain disini!"
Beh... plis deh... Pensiunan sih pensiunan...Seorang teman saya pernah bercerita begini: suatu siang, dia naik bus TransJakarta dari Kp. Rambutan sampai Matraman. Di sebelahnya, duduk seorang kakek yang ternyata salah satu tetangga saya.
Si kakek itu bercerita, "setiap minggu saya sibuk, mbak."
Teman, "sibuk apa, Pak?"
Kakek, "melayat. Tiap minggu pasti ada aja nama yang diumumin di mesjid."
Sumpah, kalau terbayang wajah bapak-ibu saya, cerita ini gak lucu sama sekali. Tapi, kok ya lucu juga...Cerita teman saya tadi sama isinya dengan cerita si Papi. Waktu saya tanya kenapa sholat Jumat di mesjid dekat rumah itu lama sekali, si Papi menjawab enteng.
"Kan harus nungguin jemaahnya yang udah tua-tua. Ada yang pernah stroke, ada yang udah gak bisa berdiri, ada yang sholatnya harus senderan...."
Kebayang gak sih mereka harus jalan jam berapa ke mesjid yang hanya berjarak ratusan meter untuk bisa shalat Jumat tepat waktu?
Seperti juga si Papi yang pernah kena stroke ringan dan mengidap beberapa gejala penyakit lainnya, tetangga yang lain juga hampir sama. Penyakit umum disini adalah stroke, darah tinggi, dan jantung.
Ini cerita dua hari yang lalu: tetangga sebelah kiri saya menyuruh tukang untuk mengikat dahan-dahan pohon mangganya yang menjulur ke rumah kami. Dahan-dahan itu ditarik sedemikian rupa ke arah dalam (pekarangan rumah beliau). Melihat tukangnya yang ngos-ngosan, si Papi mendekati Kakek sebelah.
Papi: Pak, dipangkas aja atasnya. Daripada diikat-ikat begitu...
Kakek: Wah, instruksi nyonya harus begitu, Pak. Saya takut kalau gak sama dengan instruksinya.
Setelah saya tanya si Papi, ternyata istri si Kakek itu punya darah tinggi dan kalau kemauannya gak dituruti, bisa histeris sampai pingsan. Ternyata, kejadian ini pemandangan biasa di komplek.
Karena itu lah, saya gak heran lagi ketika malam tadi ketemu Pak RT (yang juga sudah sepuh) sedang naik motor keliling komplek. Ternyata Pak RT baru selesai menengahi dua kakek yang berhadapan rumah. Mereka bertengkar karena kakek A membuat pagar bambu mengelilingi 2 pohon mangganya. Berhubung pohon mangganya itu ditanam diluar pagarnya, otomatis pagar bambunya melebar sampai menghabiskan setengah badan jalan umum. Kakek B yang punya garasi persis di depan pagar bambu itu jelas blingsatan.
"Trus, Pak RT bilang apa ke Pak A?" tanya si Mami.
"Saya suruh minum obat dua-duanya," jawab Pak RT kalem. Ternyata kedua kakek itu penderita stroke dan darah tinggi.
Kejadian yang paling lucu sekaligus mengesalkan buat saya dan para penghuni berusia muda di komplek ini adalah saat menjalani rutinitas pagi. Para sepuh di komplek ini rata-rata menggunakan mobil-mobil Eropa keluaran tahun 70-80an. Jangan ditanya kondisinya. Masih bisa jalan aja udah prestasi tersendiri karena setelah diperhatikan keempat roda mobil-mobil ini sepertinya sudah tidak kompak lagi. Kalau kita sedang sial, kita bakal bertemu dengan mobil-mobil ini di jalanan desa yang hanya muat dua mobil. Bayangkan antrian yang terjadi di belakang mobil-mobil tua yang jalannya hanya 10 km/h itu! Gak bisa disalip pulak!
Yang lumayan mengenaskan di komplek ini adalah ketika menyaksikan seorang kakek dituntun berjalan oleh satpam. Waktu saya tanya si Mami, kakek itu ternyata salah satu kolega si Papi waktu masih dinas dulu. Si kakek ini seringkali pergi keluar rumah dengan niat berjalan-jalan. Tapi yang terjadi adalah begitu beliau belok ke jalan yang berbeda, beliau tidak pernah ingat lagi letak rumahnya dimana. Akhirnya, Satpam atau penghuni komplek yang lain sering menemukan si kakek sedang berjalan muter-muter kehilangan arah...
Agak miris buat saya membayangkan tetangga-tetangga sekomplek saya ini. Soalnya, saya tahu sekali bagaimana mereka sewaktu masih muda dan berdinas. Sekarang, ketika seragam dan pangkat itu sudah tidak terpakai lagi, yang bisa mereka lakukan ketika bertemu di jalan hanya saling memberi hormat dengan tangan kanan terangkat ke kening.
Kata Papi saya, "menghabiskan masa pensiun yang paling enak ya bertetangga dengan teman-teman lama.
Kalau kata Mami saya, "penghiburan para pensiunan ya ketika main sama cucu."
Maksudnya?!